Zelfeni Wimra
padangekspres.co.id
Penyair Muda Versus Penyair Tua
Pada kisaran tahun 2005, sekumpulan penyair muda dari Jawa Barat dan Bali berembuk soal bagaimana menciptakan wadah berhimpun dan berdialektika dalam proses kreatif kepenyairan di Indonesia. Latar pemberangkatan mereka adalah kondisi ruang komunikasi dan kreasi penyair “muda” tidak memiliki ruang yang menggembirakan. Para penyair “tua” dipandang masih memerankan hegemoni, cenderung sentralistik dan memainkan standarisasi yang mengekang ruang ekspresi bagi yang muda.
Kemudian, di tahun 2007, forum pertemuan ini melebarkan sayap ke Jogjakarta, sekaligus dihadiri penyair muda Padang, Sumatera Barat yang juga mengalami dan mengusung kegelisahan yang sama. Sehingga, di Jogkakarta terbentuk forum Temu Penyair Muda Empat Kota (Bali, Bandung, Jogjakarta, dan Padang). Dari pertemuan ini, terbit buku kumpulan Puisi Herbarium, memuat karya penyair muda keempat kota tersebut dengan merekomendasikan Padang, Sumatera Barat sebagai penyelenggara pertemuan berikutnya.
Salah satu spirit yang dikukuhkan sebagai “jiwa” pertemuan penyair muda ini adalah menciptakan wadah bagi penyair muda melalui komunitas-komunitas. Isu pendukungnya: pemerintah tidak begitu memberi “perhatian” yang wajar. Ditambah lagi dengan penyair “tua” yang mengekslusifkan diri di menara gading. Realitas inilah yang mesti diretas penyair muda. Bagaimana tanpa pemerintah dan para orang “tua”, komunitas penyair muda bisa berbuat. Bahkan, efeknya lebih murni dan bersemangat terhadap gagasan-gagasan baru. Sekalipun tetap dihadang oleh pertanyaan, yang pada kesempatan tersebut dilontarkan Afrizal Malna yang diundang sebagai pembicara: apa sesungguhnya yang kalian perjuangkan, wahai, Penyair Muda? Jika forum seperti pertemuan dan pendokumentasian karya puisi bisa memobilisasi perjuangan tersebut, buktikanlah!
Catatan dari Temu Penyair Lima Kota, Payakumbuh
Penyair “muda” Padang, seterusnya (2008) mencoba mewujudkan forum pertemuan tersebut seperti yang diinginkan forum pertemuan sebelumnya, di Jogjakarta. Akan tetapi, ada beberapa konsekuensi teknis yang dialami penyair muda Padang, membuat mereka bersinergi dengan “pemerintah”, yakni Pemerintahan Kota Payakumbuh sebab acara diadakan di Kota Payakumbuh, 27-29 April 2008 dengan tajuk: Temu penyair Lima Kota, ditambah Lampung. Dinas Parwisata Seni dan Budaya dan Dewan Kesenian setempat bahkan, Pemerintahan Kota Kabupaten Siak, Provinsi Riau, ikut mensponsori.
Konsep kerja dan tata laksana semacam ini menuai protes, dipandang tidak sesuai dengan spirit yang dicita-citakan para penggagasnya. Suara protes bergaung dari penyair muda Bandung, seperti Afnaldi Syaiful. Widzar A Gifari, Fina Sato, dan kawan-kawan. Mereka mengeluarkan surat penyataan sikap yang menolak, bahwa sesungguhnya Pertemuan Penyair Lima Kota di Payakumbuh, bukan merupakan kelanjutan dari Pertemuan Penyair Empat Kota di Jogjakarta. Alasan utamanya, karena panitia pelaksana telah menghilangkan kata “muda” dalam tajuknya. Kemudian, kepanitian justru diketuai oleh penyair “tua”, yaitu Iyut Fitra.
Iyut Fitra dan Gus tf, bila dipandang dari perspektif penggagas acara pertemuan penyair muda adalah sebagai penyair yang terkategori “tua”, tidak mampu menyembunyikan keheranan. Dalam proses kreatif, mereka tidak kenal dengan istilah “tua” dan “muda” ini. Prakarsa mereka untuk kesuksesan pertemuan tersebut lebih banyak didasari oleh sikap kesenian, dimana setiap penyair mendapat ruang yang “wajar”. Tua dan muda cukup masuk kotak etika saja, jangan mengeruhi wilayah kekaryaan. Apalagi Gus tf sendiri, yang begitu kukuh dengan prinsip sastra itu sastra. Jangan bebani ia dengan sesuatu di luar dirinya, apakah itu sosiologi, politik, bahkan agama.
Yang Tersisa dari Perseteruan
Apa yang tersisa dari perjalanan puisi Indonesia, setidaknya, melihat yang terjadi dalam rentang lima tahun terakhir? Selain geliat puisi-puisi koran dan beberapa jurnal, muncul penerbitan karya-karya puisi di sejumlah daerah. Selebihnya, perpuisian Indonesia ternyata terjebak dalam polemik “tua” dan “muda”. Kekisruhan yang berangkat dari kemiskinan cara memahami keluhuran puisi ini, bermuara pada persaingan, alias perebutan pengaruh di tengah keriuhan pasar. Sejumlah anugerah seperti Khatulistiwa Literary Awards (KLA) dan Anugerah Pena Kencana menjadi sisi lain dari kehidupan perpuisian Indonesia.
Dari rentetan peristiwa puisi dan geliat kerja kepenyairan dalam tulisan ini, terdapat keganjilan yang sesunggunya sudah berada di luar tubuh puisi itu sendiri. Lihat misalnya, kenapa penyair muda memandang kerjasama dengan pemerintahan merupakan suatu yang tidak dianjurkan, kalau dapat diharamkan? Kenapa peran aktif penyair yang “tertuduh” tua tersebut diasumsikan sebagai kegagalan penyair muda merebut wilayah kreatif yang lebih merdeka? Selain itu, penempatan beberapa kota di belakang penyair menyiratkan kesan, bahwa puisi sudah dikeruhi oleh format kedaerahan. Kepenyairan tampak tidak berbeda dengan Negara, dimana di dalamnya terdapat batasan-bataasn tertorial yang jelas. Terdapat pula para penguasa dan aparatur yang bekerja sesuai sistem yang disepakati dan diakui.
Jika konsep semacam ini merupakan konsekuensi pasar yang disesaki aspek-aspek manejerial, barangkali terlalu jauh mengatakannya “tidak boleh”. Akan tetapi, dari sisi yang lain, cara pikir dan tata laksananya masuk ke dalam pendangkalan. Tidak saja makna puisi, tetapi kecerdasan sosial penyair selaku manusia Indonesia tampil dalam wajah skeptis. Seolah-olah, bangsa ini tidak pernah dijajah saja.
Memang, ada pembenaran dari sejumlah kalangan, tentunya kalangan muda yang kurang sabar melewati proses dirinya sebagai penyair, bahwa forum atau iven puisi tidak memberi ruang bagi penyair muda yang baru muncul di ranah sastra yang msiteirus dan angker tersebut. Tidak pula dipungkiri, kenyataan ini semestinya pula menjadi catatan kritik sastra Indonesia. Cuma saja, seperti disakat Zen Hae, pembicara pada Pertemuan Penyair Lima Kota di Payakumbuh dengan mempresentasikan makalah berjudul Sajak Sahaya Sengaja Sahaja. Menurutnya, membicarakan kepenyairan dengan titik fokus pada penulis puisi sama saja dengan menggosip. Wacana yang beredar pastilah seputar (how to) bagaimana supaya puisi dimuat di media massa; bagaimana supaya penyair “tua” sedikit menyingkir, memberi jalan bagi penyair “muda” yang mau lewat; bagaimana supaya Negara punya perhatian pada penulis sastra khususnya puisi, selayak perhatian yang diberikan, misalnya, pada atlit-atlit olahraga?
Bagi Zen Hae, lebih baik bila pembicaraan langsung menuju titik syaraf puisi. Memeriksa eksplorasi atau eksperimentasi sintaksis, kepadatan, atau temuan baru dalam puisi. Hilangkan wacana teritorial, kedaerahan, dan tentu saja isu tua dan muda. Pikiran yang sama juga dilontarkan Rusli Marzuki Saria. Baginya, sulit memberi batasan, siapa yang muda dan tua dalam kepenyairan. Jika pun ada, batasan tersebut akan terbentuk dari pemahaman yang tidak menghormati universitalitas sastra dalam sajak/puisi. Diskusi ini belum lagi membincang dan menyertakan cita-cita yang terkandung dalam humanisme sastra dalam puisi.
Apa yang terjadi dari Pertemuan Penyair Lima Kota, secara konsep memang tidak lagi mengusung spirit “muda” yang dipahami para penggagasnya. Pertemuan ini merupakan forum yang pertama kali berlangsung dengan Kabupaten Siak, Provinsi Riau sebagai tuan rumah berikutnya. Tetapi, tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan mendasar dari evalusai yang terjadi. Di antaranya, apakah tidak ada untungnya bila penyair berhasil duduk bersisian dengan pemerintah dalam proses sosialisasi puisi? Suatu keniscayaankah, bahwa penyair selalu marjinal, lusuh, dan kumuh; ada penguasa dan yang dikuasai, terjebak dalam batasan teritorial, tua dan muda?
Sementara itu, realitas pasar sastra (prosa dan puisi) belum juga mampu menyentuh dan memeluk realitas. Kalaupun ada, hanya penampakan sekilas, lalu lenyap, karena yang membangkitkannya adalah energi kapitalisme. Yang paling beruntung justru kalangan yang mengerti konsekuensi pasar. Akhirnya, dalam proses penciptaan karya, pencipta sastra -khusus penyair dalam kasus pertemuan penyeair muda ini- terkurung dan membusuk dalam kotak kecil, memperseterukan sesuatu yang tidak memberi hormat pada kemanusiaan, mendewakan isme dan proposisi yang miskin makna. Sungguh, jika ini terus berlangsung, jelas menyimpan potensi pengkhianatan pada humanisme.
Akibatnya, yang paling utama itu adalah keberadaan sebagai penyair-lawan dari tesis yang dimakalahkan Romi Zarman: segala jadi tiada demi puisi. Keberadaan puisi itu sekarang entah di mana. Mungkin di rumah-rumah kere yang digusur banjir, di tenda pengungsi, atau sedang bertandang ke rumah Wali Kota; ke rumah Tuhan; rumah setan; atau justru melepuh bersama daun ubi di usus duabelas jari dan sedang jadi tinja, lalu dimakan ikan-ikan.
***