Suara Serak di Seberang Radio

Zelfeni Wimra*
http://www.jawapos.co.id/

Menjelang tengah malam di pondok perebus air nira, udara dingin akan mengalah pada nyala api di tungku. Selain rungut sekawanan kera mempergelutkan cabang tempat tidur, gelegak air nira dalam kancah berebut dendang dengan suara yang ditimbulkan getar sayap belalang di rimbun belukar. Bagi Yarman, pada saat-saat begini, menyeruput tengguli bercampur santan dan menyantap sepotong ketela yang matang dalam rebusan air nira belum terasa lengkap bila tanpa menghidupkan radio National dua band yang sengaja ia gantungkan di paku yang tertancap pada tiang pondok itu. Continue reading “Suara Serak di Seberang Radio”

Keturunan Cindaku

Zelfeni Wimra
http://jurnalnasional.com/

Periksalah keadaan keluarga kita dengan lebih sabar, Bang Yas. Memang tidak bagus bila terus-menerus tersinggung ketika kita dikatakan berasal dari keluarga Cindaku. Dan sungguh tak perlu lagi marah mendengar tudingan bahwa kita lahir dari kakek-nenek yang pengecut. Tidak berani memeluk kebenaran. Takut berperang melawan kejahatan. Continue reading “Keturunan Cindaku”

Di Atas Dipan Penantian

Zelfeni Wimra
http://www.jawapos.com/

Datanglah bermalam sesekali. Di sebelah tempat tidurku, bersisian dengan jendela, ada dipan bambu. Kau boleh tidur di situ. Maafkan, kapas kasurnya sudah tipis dan dingin. Biasanya, bapak yang tidur di sana. Tapi sejak tiga hari yang lalu bapak tidak lagi di sini. Ia kuminta pergi mencarikan obat untukku.

Kau juga boleh mengeping kayu dan membakarnya di tungku. Memasak nasi atau merebus air. Bikinlah kopi, baca buku, atau mendengarkan radio. Kalau tengah malam, ketika uir-uir berhenti bernyanyi dan udara seperti letih menggendong cuaca, jangan tercengang, kau mungkin akan dikejutkan oleh gaduh suara dari tengah rimba. Continue reading “Di Atas Dipan Penantian”

Blok-Blok Dalam Kepenyairan: Pengkhianatan Terhadap Humanisme

Zelfeni Wimra
padangekspres.co.id

Penyair Muda Versus Penyair Tua

Pada kisaran tahun 2005, sekumpulan penyair muda dari Jawa Barat dan Bali berembuk soal bagaimana menciptakan wadah berhimpun dan berdialektika dalam proses kreatif kepenyairan di Indonesia. Latar pemberangkatan mereka adalah kondisi ruang komunikasi dan kreasi penyair “muda” tidak memiliki ruang yang menggembirakan. Para penyair “tua” dipandang masih memerankan hegemoni, cenderung sentralistik dan memainkan standarisasi yang mengekang ruang ekspresi bagi yang muda. Continue reading “Blok-Blok Dalam Kepenyairan: Pengkhianatan Terhadap Humanisme”