Dari Pasar Senen ke Kaliurang

Bambang Sulistiyo
http://komunitasbambu.com/

BAHWA pria lanjut usia itu sudah mempersiapkan diri, tidak banyak yang menduga. Kenyataan itu baru terlihat ketika moderator mendaulatnya untuk membaca sajak. Dengan kesigapan seorang lelaki tua, dikeluarkannya beberapa lembar kertas dari dalam tas.

Mata itu sempat juga memindai satu per satu sajak yang ada. Sitor Situmorang. Pada banyak perhelatan yang melibatkan namanya, ia selalu diminta membacakan sajak-sajak gubahannya. Sore itu, di MP Book Point, kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan, digelar diskusi buku Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-2005 hasil kerja JJ Rizal terbitan Komunitas Bambu. Acara bertajuk ?Menimbang Sajak-sajak Lengkap Sitor Situmorang?.

Sitor, 81 tahun, hadir dalam acara yang dimulai dengan pemutaran film dokumenter tentang dirinya berjudul Tongkat di Atas Batu. Dalam durasi sekitar 18 menit, penyair Afrizal Malna, yang membuat film itu, menghadirkan sosok Sitor dengan potongan-potongan gambar cukup kaya.

Begitulah, sejak mula acara sampai kurang dari separuh durasi diskusi berlalu, Sitor menyimak rangkaian pembicaraan dengan santai dan diam. Kesempatan bicara belum tersedia, dan ia menunggu cukup lama. Ketika akhirnya datang, penyair berjuluk ?Si Anak Hilang? itu membuka ritual baca sajaknya dengan kelakar, ?Saya menduga akan ada (pembacaan puisi), tetapi tidak berharap.?

Posisi penyair kelahiran Harianbaho, Samosir, Sumatera Utara, 2 Oktober 1924, ini dalam perjalanan sastra Indonesia sudah banyak diperbincangkan. Ruang-ruang diskusi sastra di Tanah Air menyebut namanya diiringi kata sifat, seperti ?penyair Angkatan ?45 terkemuka?, ?penyair Indonesia terkuat?, atau ?penyair kaya warna?.

Membicarakan Sitor dan sajaknya seperti mengurai hubungan waktu dan kejadian. Profesinya semula sebagai wartawan berhubungan erat dengan kehadiran puisi-puisi seumpama catatan harian itu. Sajak-sajak awal Sitor diumumkan pada 1948. Saat itu umurnya sekitar 24 tahun. Usia yang kalah muda dibandingkan dengan kiprah rekan-rekan seangkatannya.

Chairil Anwar dan Asrul Sani memulainya pada usia 20-an tahun. Rivai Apin malah memulainya pada usia 17 tahun. Namun, di antara semua nama itu, cuma Sitor yang dibekali usia hingga lebih dari 80 tahun, dan masih menulis sajak. Last in, last out.

Ada temuan menarik seputar kenyataan kreatif-estetik Sitor dalam menulis sajak. Rizal, 30 tahun, penyunting buku dua jilid tebal itu mencoba meluruskan kepercayaan dalam sejarah sastra Indonesia yang menyebutkan sajak Kaliurang sebagai karya pertama yang ditulis ayah tujuh anak itu.

Seri Kaliurang, yang terdiri dari dua sajak, itu diterima dalam kesusastraan Indonesia sebagai sebuah sudut pandang sejarah tentang Sitor. Dengan itu dinyatakan bahwa pada awal kepenyairannya, yang kemudian dijadikan preseden ?homogen? atas karya-karya berikutnya. Sitor telah memilih sebagai penyair liris pendedah kesepian dan keterasingan, atau penyair yang lebih banyak merisaukan nasibnya sendiri sebagai individu.

Namun, dalam kumpulan sajak yang terdiri dari dua buku tebal, berisi lebih dari 600 sajak dan disusun secara kronologis itu, Rizal menemukan bahwa puisi Sitor yang pertama dipublikasikan adalah Pasar Senen yang dimuat di majalah Siasat, 22 Agustus 1948. Sebetulnya ada tiga karya Sitor lainnya, Terdengar, Di Gang Sepi, Kini Diam Segala Mahluk, yang menghiasi halaman yang sama di tanggal yang sama.

?Pasar Senen dipampang paling atas,? ungkap Rizal. Tahun 2002, Rizal menunjukkan temuan itu kepada Sitor. Ketika itu, wajah si empunya sajak mengeras, menunjukkan kesangsiannya atas hasil penelusuran peneliti muda itu. Lantas Sitor berkilah, ?Sajak pertama saya dimuat di majalah Dunia Wanita, Medan, pada awal 1947.?

Penasaran, Rizal mencoba menelusuri kembali bantahan Sitor. Hasilnya, ia mendapat informasi bahwa majalah itu terbit perdana pada Agustus 1947. ?Akhirnya Sitor menerima bahwa kali pertama ia menjadi penyair adalah lewat Pasar Senen itu,? kata Rizal, sembari tersenyum mengenang perdebatannya dengan Sitor kala itu.

Empat sajak awal itu menunjukkan juga persinggungan Sitor dengan persoalan-persoalan sosio-antropologis. Dengan begitu, ia bukanlah semata petualang kuper yang hanya asyik mendeklarasikan kesepian dan keterasingannya dari lingkungan sekitar. ?Ia juga mewakili suasana umum pada zamannya,? ujar Rizal.

Belakangan, dalam banyak kesempatan, Sitor membacakan sajak Pasar Senen sebagai persetujuannya atas koreksi sejarah kepenyairannya. Tapi bukan Sitor kalau ?mengalah? begitu saja. Dalam diskusi yang berlangsung santai di MP Book Point itu, ia sempatkan juga melontarkan kritik-kritik jenaka terhadap buku yang diterbitkan Komunitas Bambu itu.

?Masih banyak salah cetak! Tapi lumayanlah?,? kelakar penyair yang kini mulai menuliskan sajaknya dengan komputer itu. Ia juga mengkritik atribut ?lengkap? yang disebutkan sementara kalangan terhadap buku hasil penelusuran Rizal itu.

Terlepas dari penilaian publik terhadap layak atau tidaknya ekspresi bahasa Sitor sebagai sebuah sajak, dalam taksirannya, jika dihubungkan dengan usianya sekarang, mestinya ada 1.000 sampai 2.000 sajak yang sudah ditulisnya. ?Saya tidak yakin jumlahnya hanya 600-an,? tambah Sitor, antara meledek dan sungguh-sungguh.

Lantas Sitor mengilustrasikan bahwa dalam banyak kesempatan atau acara, seperti ulang tahun dan pernikahan, orang-orang sering memintanya menuliskan kalimat-kalimat yang mengartikulasikan kesan atau gambaran suasana yang relevan. ?Saya ini penyair yang bisa dipesan,? kata Sitor. Banyak di antaranya yang lantas dianggap berhasil sebagai sebuah puisi.

Produktivitas Sitor dalam menulis sajak sungguh mengagumkan. Puluhan buku kumpulan puisi, cerita pendek, dan esainya sudah diterbitkan di berbagai negara. J.J. Rizal menyebutkan, setidaknya ada dua sajak baru yang digubah Sitor ketika bukunya dalam proses penerbitan.

Belakangan, penggubah sajak Surat Kertas Hijau dan Malam Lebaran yang kesohor itu mengaku sedang mempersiapkan sebuah novel sejarah dengan latar perjuangan Sisingamangaraja XII melawan Belanda pada akhir abad ke-19.

Setelah rampung diskusi, Sitor mengaku ada dua sajak lagi yang sudah selesai ditulisnya. Tak mengherankan bila sastrawan Ajip Rosidi menilai Sitor sebagai, ?Penyair yang paling banyak menghasilkan sajak di Indonesia.? Duh, Ompung, di antara keriangan menanggapi lupa, penamu masih saja perkasa.

*) Gatra Nomor 30, Beredar Kamis, 8 Juni 2006.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *