Damhuri Muhammad
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
SEORANG kawan pekerja cerpen mengeluh sembari mengurut dada setelah membaca formulasi judul sinema elektronik (sinetron) yang muncul di layar TV. “Sepertinya judul itu tidak asing di telinga saya.” Semula, komentar sinis itu saya maklumi sebagai sentimen terhadap kecenderungan para penggarap ide cerita sinetron yang tidak kreatif dalam memilih redaksi judul. “Sama saja dengan cerpen, bikin judul itu sulit,” ketus saya. “O, jadi karena bikin judul sukar, lalu seenaknya mereka mencomot judul cerpenku, begitu?” sela kawan itu, kesal. Saya mulai paham, rupanya ia sedang jengkel, karena merasa salah satu judul cerpennya telah dibajak. Tak sekali dua, kawan-kawan cerpenis dibikin jengkel karena ulah penjiplakan macam ini. Lebih jauh, setelah mengamati alur cerita, nama-nama tokoh dan perwatakan dalam sebuah sinetron, memang ada bagian-bagian yang persis sama dengan kisah dalam cerpen. Artinya, yang dibajak dan dijiplak bukan sekadar judul, tapi sering pula ide cerita.
Cerpen koran memang nyaris tak berjejak. Kalaupun ada, paling banter hanya bisa bertahan satu hari. Selepas itu, lembaran rubrik seni yang memajang cerpen akan berubah fungsi menjadi pembungkus pisang goreng atau kacang rebus. Selanjutnya, dibuang ke kotak sampah. Sementara, jejak sinetron begitu melekat di benak pemirsa, padahal ide ceritanya (diam-diam) “dicuri” dari cerpen koran. Penjiplakan dan pembajakan itu amat terasa, tapi sukar dibuktikan. Inilah yang memicu semangat cerpenis Teguh Winarsho A.S. hendak melanggengkan jejak cerpen koran agar tak gampang dibajak, tak buru-buru jadi sampah. Caranya bukan lagi membukukan cerpen-cerpennya, bukan pula menggelar pementasan baca cerpen, tapi mengangkat cerita pendek menjadi film pendek. Sebuah terobosan baru di jagat cerpen Indonesia yang pantas beroleh apresiasi. Anak-anak muda pekerja film yang tergabung di komunitas Ladang Gambar (Depok) telah berhasil menggarap film pendek berjudul “Ayah; Hantu yang Menjerat Kakiku”, diangkat dari cerpen Mayat Hidup (Teguh Winarsho A.S.) yang pernah dimuat di koran (2001). Ini bagian pertama dari tiga film pendek bertajuk “Trilogi Bangsat”, yang hingga saat ini penggarapannya masih berjalan.
Persoalannya, membuat film tentu tidak segampang membalikkan telapak tangan, tak semudah menulis cerpen. Tantangan pertama tentulah soal biaya produksi. Tetapi, mereka tidak segan-segan menggunting “uang dapur” untuk menjalankan “projek idealis” itu. Jangan dibayangkan ada artis beken sekelas Dian Sastro atau Tora Sudiro saat pengambilan gambar dilakukan. Sebab, para pemainnya adalah teman-teman sendiri (Asrizal Nur, Edwin Bibir, Rindi, Shella). Tentunya, (untuk sementara waktu) harus rela tidak dibayar. Apa pun spesifikasi keahlian dalam penggarapan film itu, tidak ada imbalannya. “Projek tenkiyu” –pekerjaan yang imbalannya hanya ucapan “terima kasih”– begitu mereka menyebutnya. Alih-alih beroleh honor, masing-masing malah harus merogoh kantong, berpatungan demi sebuah karya bersama. “Di kantor kita kerja, Bung. Di sini kita berkarya,” demikian Dionys Dhewanindra (director & editor) menyemangati.
Hasilnya tidak mengecewakan, meski mereka mengaku belum puas. Pemutaran perdana yang diselenggarakan di Universitas Juanda, Bogor, beberapa waktu lalu memperoleh apresiasi positif. “Gue kaget banget pas opening-nya. Suspensinya kena banget! Kirain film horor. Kirain film pembunuhan. Ternyata bukan. Beda banget deh! Asyik. Tegang. Lucu. Penuh teka-teki,” begitu salah seorang penonton berkomentar.
Memang, dilakukan sejumlah improvisasi dalam memindahkan adegan cerpen ke adegan film, misalnya adegan persetubuhan dengan seekor angsa yang sengaja dihilangkan. Tetapi film ini masih terlalu bersetia pada muatan cerpen, dari alur, setting, hingga karakterisasi. Akibatnya, dialog antara tokoh ayah dan anak laki-lakinya (dua tokoh penting dalam film itu) terasa sangat teatrikal. Bagian tertentu terasa seperti adegan teater, sementara bagian lain terkesan serupa pentas baca cerpen. Imaji kekerasan, pemerkosaan, sadomasokis yang diusung cerpen Mayat Hidup itu hendak dipaksakan harus terwadahi dalam semua adegan film yang hanya berdurasi 30 menit itu. “Memang sukar mengangkat cerpen koran ke dalam bentuk visual. Apalagi, untuk sebuah eksperimen yang tidak bermodal, hanya mengedepankan semangat. Tetapi, kami tak bakal kapok!” kata Dionys menjawab pertanyaan salah seorang peserta diskusi setelah pemutaran perdana.
Film pendek yang diangkat dari cerita pendek memang bukan produk yang gampang dijual. Maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara memperkenalkan film itu pada khalayak. Sejauh ini, strategi yang mereka jalankan adalah menggelar pemutaran-pemutaran di kampus-kampus, lembaga-lembaga kesenian, dan komunitas-komunitas penyuka film. Selain itu, tentu saja akan mengikutsertakan karya bersama itu pada festival-festival film.
Mengharapkan keuntungan finansial dari “kerja bareng” antara pekerja cerpen dan pekerja film barangkali masih terlalu muluk, tapi kolaborasi itu terlihat sebagai simbiosis mutualisme yang patut dipertahankan. Kegelisahan para cerpenis terhadap jejak cerpen koran yang seamsal “Daun di Atas Keladi Itu” dapat terobati oleh idealisme kekaryaan anak-anak muda pekerja film yang juga gelisah bila tidak mampu mendedahkan karya sesuai idealisme dengan kecenderungan estetik mereka sendiri. Terlepas dari keterbatasan dan ketertatihan karena tingginya biaya produksi pembuatan film, mengangkat cerita pendek menjadi film pendek adalah panggung baru bagi para cerpenis Indonesia. Selain membukukan cerpen-cerpen yang berhamburan di koran-koran, menggelar diskusi dan pentas baca cerpen, kini telah terbuka jalan baru, mengangkat cerpen jadi film. Selain dapat menancapkan jejak cerpen koran pada pijakan yang lebih kokoh, posisi tawar cerpen akan lebih kuat. Tak gampang dijiplak, apalagi dibajak?.***
*) Cerpenis, bergiat di Balesastra Kecapi, Jakarta.