Ribut Wijoto
sinarharapan.co.id
Pada dasa warsa akhir abad XX dan hingga kini, kiranya terjadi perubahan konsepsi dalam perwujudan puisi-puisi Indonesia. Kekangan spirit eksistensial yang mengambil bentuk Simbolis bukan lagi menjadi pilihan yang menarik. Model-model semacam puisi Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Taufik Ismail serasa ketinggalan zaman. Maka muncullah nama-nama penyair seperti Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Sitok Srengenge, HU Mardi Luhung, Arief B. Prasetyo, W. Haryanto, Adi Wicaksono, Oka Rusmini. Puisi-puisi merekalah yang menciptakan masa silam bagi kepenyairan terdahulu.
Puisi ?Mahasukha? dari Arief B. Prasetyo, misalnya: Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kungang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar menggapai-gapai akar darah? Pilihan kata dan pola perakitan kata pada puisi Arief serasa chaos. Struktur puitik yang mecah-memecah, pendar-memendar, saling menyingkir, dan saling berpusaran. Model puisi ini mengingatkan pada gaya puisi Barok. Sebuah gaya puisi yang bersifat painterly atau lukisan. Di sana, di puisi Barok, ada terjadi percampuran antara kehidupan duniawi dengan kehidupan surga-neraka, atau kehidupan gaib. Tema digarap dan dijelaskan dengan detail, rumit, berpasang-pasangan, dan aneh.
Memang, saat berakhirnya Abad Pertengahan dan menjelang Renaissance, di Eropa timbul gaya bersastra yang disebut gaya Barok. Gaya yang menandai berakhirnya masa mitologi-religius, ke masa rasionalitas. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, gaya atau alam pikiran Barok meliputi suatu alam semesta yang terdiri atas berbagai dunia, segala macam dunia, yang saling berkaitan dengan cara yang tidak terduga. Gaya ini menandai masa transisi kebudayaan Eropa.
Apakah gaya Barok telah mempengaruhi gaya penulisan puisi di Indonesia? Apakah gaya ini hadir dalam bentuk atau semangat zaman? Dan, apakah manfaat yang dapat ditarik untuk perkembangan kebudayaan di tanah air?
***
Abad Pertengahan Eropa dikenal sebagai abad kegelapan kebudayaan. Kaum agamawan (gereja) bergabung dengan kekuasaan negara (pemerintah) menentukan arah bagi daya kreasi dan kehidupan masyarakat. Mitologi religius menjadi gerakan bersama aktivitas budaya. Ajaran-ajaran kristiani didogmakan sehingga menempati garis mana yang boleh dilakukan, mana pula yang haram untuk dijalani. Konsekuensinya bisa berarti hidup atau mati, satu kasus tragis ialah matinya Galileo akibat berbeda pandangan dengan gereja.
Pengaruh pola pemikiran Abad Pertengahan terhadap puisi muncul pada tema dan gaya penulisan. Kemegahan kehidupan surga-neraka (kehidupan setelah mati) dan kehinaan kehidupan dunia adalah tema-tema populer dan dianggap sah. Sedangkan estetika bahasa, diarahkan ke simbol-simbol keagungan Tuhan.
Adapun konsep waktu yang diterapkan adalah konsep waktu surga-neraka (yang kekal, abadi) dan konsep waktu dunia (yang fana, sementara). Konsep waktu abadi (kekekalan hidup setelah mati) menjadi orientasi proses kreatif sastra (baca: puisi). Tercermin dalam puisi panjang dari Dante bertajuk Divina Commedia yang menggambarkan obsesinya pada dunia setelah mati (surga dan neraka). Kedudukan kata (diksi) adalah sebagai simbol. Mengacu langsung pada pemahaman pasti. Konvensional. Seragam. Seperti ritual mistik.
Hal ini berbeda dengan pola pemikiran masa Renaisance, yang bersifat rasional. Kekuasaan gereja dipisahkan dari kekuasaan pemerintahan. Masyarakat diberi kebebasan dengan memilih, mengembangkan akal/rasio, memajukan kebudayaan pengetahuan. Secara serempak, masyarakat merayakan konsep waktu duniawi. Bahwa surga terletak di dunia, di bumi, ada pada masa depan manusia. Cita-cita diusahakan dan diyakini dapat diraih sebelum kematian menjemput.
Pengaruhnya pada sastra (puisi) ialah dominannya ?aku? yang bertindak dan menafsirkan. Muncul karya-karya bergaya Romantisisme. Seperti pada puisi-puisi John Keats atau Coleridge yang sangat romantis-eksistensialis. Di sini, kata-kata kembali menjadi mitos, ialah mitos rasio dan kehendak eksistensial manusia (penyair).
Gaya puisi Barok hadir di antara kedua masa tersebut. Sebagai gaya masa transisi, gaya Barok bergerak dengan menggunakan prinsip-prinsip gaya sebelum dan sesudahnya, tentu dengan beberapa ciri khusus.
Bila pada masa Pertengahan bersifat linear-transenden dan masa Renaisance bersifat linear-horizon, maka masa Barok bersifat painterly atau lukisan. Percampuran antara kehidupan duniawi dan kehidupan surga-neraka, atau kehidupan gaib. Tema digarap dan dijelaskan dengan detail, rumit, berpasang-pasangan, dan aneh. Semacam adonan gado-gado yang dihidangkan sesaat sesudah bangun tidur.
Perpaduan dan persamaan metafora Barok meliputi alam hidup, alam benda, maupun ketuhanan. Pada periode inilah marak istilah kaki bukit, manis empedu, lidah Tuhan, cemburu daun, tangkai hati, dan sebagainya. Sifat yang seharusnya hanya dimiliki manusia dilekatkan pada binatang, tumbuhan, Tuhan, maupun benda mati. Penyair-penyair gaya Barok teramat gemar permainan analogi dan ironi. Menyamakan berbagai dunia dan menilai sistem suatu dunia dengan kaidah dunia yang berbeda. Mereka merumuskan persoalan manusia secara mendetail dan utuh. Seperti tampak pada puisi Henry Vaughan ataupun Victor Hugo.
***
Masa transisi kebudayaan yang dialami bangsa Indonesia, sadar atau tidak membawa pengaruh terhadap pengucapan dan pemilihan bentuk gaya penulisan puisi. Demikian juga pola komunikasi massa yang berkembang. Belum lagi kejadian real pada politik semata. Pembangunan yang selalu gagal menemukan bentuk, atau bisa dikatakan ?nyaris sia-sia?. Memang begitu keadaannya. Lebih konkret lagi, antara 1999 hingga tahun 2000 adalah masa peralihan.
Gaya penulisan Barok dapat diklaim sebagai gejala yang wajar bila dilihat dari kacamata kondisi masyarakat. Ialah hasil pengaruh masa transisi yang carut-marut, sporadis, mencemaskan, dan menggemaskan. Bahwa gaya puisi Barok sudah semestinya lahir dan berkembang. Bukan lagi persoalan meniru atau mencuri gaya Barok Eropa. Boleh jadi demikian.
Tapi bila melihat ciri-ciri yang mendominasi, bisa jadi gaya Barok Indonesia merupakan gejala atavisme universal dari yang ada di Eropa. Yaitu bangkitnya pola persajakan lama yang sudah tenggelam. Bahwa pada situasi dan kondisi tertentu akan memunculkan pengulangan tradisi, semacam siklus kebudayaan.
Di Indonesia pernah terjadi pada pola mantra dari puisi Sutardji Calzoum Bachri. Puisi mantranya sulit dijelaskan, apakah berasal dari tradisi Nusantara ataukah dari puisi-puisi Prancis abad ke-19, misalnya Arthur Rimbaud. Juga pola persajakan simbolisme yang menjadi trend di Indonesia pada tahun 1960 hinga 1980-an. Apakah penerusan pola persajakan Chairil Anwar ataukah mengambil pola persajakan simbolisme Eropa.
Pada pola persajakan Barok, kita pernah mengenal puncak puisi tradisi Pujangga baru. Puisi gaya Barok pada tahun 1990-an secara bentuk konkret banyak perbedaannya dengan bentuk terapan gaya Barok Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh pengambilan tema-tema yang berbeda pula. Atau lebih tepatnya, terjadi perluasan tema. Gaya Barok Eropa lebih dikuasai tema duniawi dan surga-neraka.
Bentuknya berupa personifikasi ketuhanan dan materialisme dunia gaib. Sedangkan gaya Barok Indonesia melebar ke tema humanitas, sosial-politik, dan tema-tema lain yang sebelumnya tidak tersentuh sama sekali.
Gaya Barok Eropa telah berhasil menandai dan mempersiapkan perubahan/perkembangan kebudayaan atau perubahan cara pandang terhadap realitas. Puisi gaya Barok Eropa yang berciri detail, melompat-lompat, painterly, dan ajaib. Tema yang dominan adalah konkretisasi religiositas kristiani. Tema dan pemilihan bentuk Barok tersebut kiranya secara cerdas mewakili dan memberi gambaran lengkap dari kemunduran kebudayaan Eropa Abad Pertengahan. Tentu saja disertai dengan kritik-kritik yang khas. Ialah dengan mempermainkan simpang siur dunia transenden dengan dunia material. Atau sekali waktu, merasionalkan dunia gaib ? kehidupan surga-neraka dan kehidupan ketuhanan.
Alam konsep diturunkan ke alam nyata, demikian sebaliknya. Konsep waktu sementara dan abadi dipadukan dan diputarbalikkan. Dari situ, terjadi keruntuhan kemapanan mitologi Abad Pertengahan.
Di Indonesia, penyair-penyair gaya Barok teramat suka menuliskan bentuk puisi panjang (lebih dari 20 baris). Mereka mencampuradukkan aneka macam dunia dan gagasan. Tema atau persoalan sepele akan menjadi rumit dan bertele-tele di tangan mereka, padahal itu cukup membutuhkan beberapa baris bagi penyair simbolis.
Selebihnya, secara konsep penyair Barok Indonesia sama dengan penyair Barok Eropa. Mereka gemar menjungkir-balikkan mitologi dan kekuasaan.
*) Teater Gapus, Surabaya.