Membongkar Politik Borjuasi Descartes

Rosdiansyah*
http://www.jawapos.com/

Gerakan buruh dan gerakan politik di Indonesia saat ini selayaknya merenungkan ulang fondasi serta cara pandang mereka terhadap kebangkitan kelas borjuasi di tingkat nasional maupun lokal, setelah perombakan sistem politik sejak reformasi 1998. Setelah otoritarianisme Orde Baru yang melahirkan kelas borjuasi kecil di lingkaran elite politik di Jakarta berantakan, saat ini mulai marak kelas borjuasi kecil di tingkat lokal. Borjuasi merupakan konsep kunci dalam wacana Marxisme. Kaum marxis awam sering mencampuradukkan antara kelas borjuis dengan kelas kapitalis. Pengikut marxisme bahkan acap mempertentangkan pengaruh borjuasi kepada gaya hidup serta pola pikir kelas tertentu, berhadapan dengan kelas tertindas yang lazim disebut sebagai kelas proletar.

Pertentangan hingga pertarungan antara kelas proletar versus kelas borjuis untuk menguasai ruang hidup sekaligus kapital, kemudian menjadi topik hangat di kalangan peminat marxisme. Namun demikian, perhatian utama terhadap proyek borjuasi sebagai bagian dari dialektika kelas dalam tradisi marxisme kontemporer secara serius baru diperlihatkan oleh filsuf Italia Antonio Negri. Gurubesar filsafat dan politik Universitas Padua Italia ini merupakan sosok yang tak asing dalam lingkungan marxisme mengingat aktivitasnya bukan saja dalam riset-riset penting atau menulis karya ilmiah di bidang marxisme dan gerakan sosial-politik, melainkan ia juga merupakan sosok di masa lalu yang sering dikait-kaitkan pada aksi radikal kelompok Brigade Merah (Brigade Rosse) Italia. Brigade Merah telah didakwa sebagai pembunuh Perdana Menteri Italia Aldo Moro sekitar 1978.

Nama Negri mencuri perhatian masyarakat internasional ketika ia bersama Michael Hardt menulis buku berjudul Empire (2006), sebuah buku yang disebut-sebut sebagai manifesto komunis abad 21. Buku tersebut merupakan kelanjutan dari pemikiran Antonio Negri yang mulai dikembangkan sejak ia secara serius mengupas pemikiran filsuf Prancis Rene Descartes pada awal dekade ’70-an. Menurut Negri, inti pemikiran Descartes yang berpangkal pada pembebasan subjek, yakni manusia, bukanlah semata bentuk utama subjektivitas politis yang kemudian meretas jalan bagi modernitas, melainkan pemikiran Descartes lebih merupakan subjektivitas politik borjuasi.

Oleh karena itu, filsafat Cartesian merupakan jenis filsafat borjuasi yang pada awal penyusunan bangunannya tidaklah terlepas dari pengaruh retroaktif antara sang filsuf Rene Descartes dengan lingkungannya. Tatkala mengungkapkan hal ini, Negri kemudian harus berhadapan dengan para filsuf yang masih melihat Descartes dari sisi yang berbeda. Seperti filsuf kiri Italia Massimo Cacciari yang melihat subjek sebagai inti pemikiran Descartes masih berbau agama karena tidak memisahkan antara urusan dunia dan agama. Bahkan filsuf kiri Prancis Etienne Balibar menolak Descartes dianggap sebagai penemu kesadaran otonom subjek yang identik dengan manusia. Bagi Balibar, kesadaran itu justru berada di dalam paparan filosofis filsuf Jerman Immanuel Kant.

Rene Descartes bukan sekadar kondang di pelataran filsafat, melainkan ia juga dikenal luas karena berperan sentral dalam pengembangan cakrawala ilmu pengetahuan. Sebagai dedengkot rasionalisme Eropa bersama dengan Blaise Pascal dan Baruch Spinoza, Descartes membangun metode berpikir rasional yang terbebas dari prasangka fanatik kepercayaan mana pun. Melalui Descartes, banyak hal penting dalam lapangan pengetahuan, seperti pembuktian, logika, dan dialektika, berkembang pesat dan diterima sebagai jalan meraih kebenaran.

Karya Descartes sangat fenomenal, dalam hal ini karena menunjukkan betapa kekuatan akal manusia sesungguhnya menjadi perangkat untuk menggapai pencipta alam semesta. Descartes lahir pada 31 Maret 1596 di Prancis dan meninggal pada 11 Februari 1650. Sepanjang masa hidupnya selama 64 tahun, sang filsuf telah melahirkan berbagai karya penting, termasuk salah satu ungkapan filosofisnya tentang manusia sebagai subjek, yakni Cogito Ergo Sum (Saya berpikir, maka saya ada). Karya bapak rasionalisme Eropa ini kemudian memengaruhi para filsuf berikutnya selama tiga abad lebih.

Setelah masa Descartes, banyak filsuf Eropa merumuskan jalan filosofi manusia dan kemanusiaan, yang harus terbebaskan dari berbagai kungkungan. Descartes menandaskan bahwa manusia adalah subjek mahapenting dalam spekulasi filosofis. Produk nyata dari aktivitas berpikir manusia adalah sistem dan epistemologi yang harus rasional agar bisa diterima semua pihak. Tanpa rasionalisme, maka sebuah produk karya manusia akan disingkirkan dari arus kemajuan dan kemodernan. Akan tetapi, sejatinya rasionalisme juga membawa cacat bawaan berupa kehendak berkuasa, maka menjadi rasional adalah juga otomatis menjadi berkuasa.

Rasionalisme dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Rasionalisme para penguasa Eropa selama berabad-abad telah menciptakan tirani seperti Hitler. Dengan jitu, Michel Foucault menyebutkan, di dalam rasionalitas dan penyelarasan terdapat kekuasaan mahadahsyat. Menjelang akhir hanyatnya, Foucault mengurai tentang kekuasaan biopolitik dan mentalitas dalam struktur pemerintahan yang lazim disebut governmentality.

Untuk menelusuri jejak filsafat Descartes secara lebih kritis, Negri membuka paparan dalam buku ini dengan bab seputar ”metafora dan memori” (hlm. 28). Descartes menggunakan metafora sebagai alat perbandingan dalam menerangkan bagaimana jalur berpikir bisa diperhatikan dari lingkungan sekitar. Susunan ilmu pengetahuan ibarat sebuah pohon yang mempunyai banyak cabang serta ranting, masing-masing ranting menginduk pada cabang dan seterusnya sampai ke batangnya. Akar dari pohon ilmu pengetahuan adalah metafisik, sedangkan batang pohon adalah ilmu pengetahuan yang kemudian bercabang pada banyak spesialisasi keilmuan. Masing-masing mempunyai kaitan satu sama lain, terutama dalam jalinan rasionalitas meraih kebenaran objektif.

Metafor Descartesian merupakan indeks hubungan antara pengetahuan dan pengalaman yang memengaruhi kehidupan manusia. Namun, Negri kemudian justru mempertanyakan metafor Descartesian ini terkait pada pengalaman hidup Descartes. Negri menyingkap terjadinya pertemuan secara rutin antara Descartes dengan kelompok Yesuit terdidik dan Isaac Beeckman pada 1618 di Breda, Belanda. Dari pertemuan itu, Isaac banyak menunjukkan kajiannya yang menarik seputar fisika, matematika, dan ilmu pengetahuan, kepada Descartes. Interaksi dengan kelompok-kelompok mapan di berbagai tempat telah ikut memengaruhi perkembangan cara berpikir Descartes, terutama dalam membangun proyek borjuasi.

Filsafat Cartesianisme memang berjasa dalam mengisi krisis pemikiran di akhir masa Resaisans Eropa, namun bukan berarti hal itu harus menutupi watak politik Descartes yang borjuis rasional. Para intelektual Marxis Eropa saat ini, seperti Giorgio Bocca, Antonio Negri, Giorgio Agamben, mulai menyebarkan wacana membongkar hubungan antara rasionalisme dan kekuasaan. Proyek besar ini juga dimulai oleh para pemikir Prancis kontemporer, seperti Jean Hyppolite, Georges Canguilhem atau Michel Foucault. Kubu Mazhab Frankfurt di Jerman masih meyakini bahwa proyek modernitas belum selesai, oleh karena itu terlalu terburu-buru jika proyek ini kemudian dihakimi. Sebaliknya, para pemikir Prancis dan Italia masa kini justru tak segan-segan menelanjangi perselingkuhan antara rasionalisme dan kekuasaan dari fajar modernitas. Dan, Descartes merupakan induk modernitas itu, tatkala ia mendeklarasikan kehadiran manusia rasional dalam proyek borjuis. (*)


Judul Buku : Political Descartes
Penulis : Antonio Negri
Penerbit : Verso, UK
Cetakan : Pertama, Desember 2008
Tebal : 344 halaman

*) Periset pada Centre for Social Research and Advocacy, Surabaya

Leave a Reply

Bahasa ยป