MISTERI PENJURIAN YANG MISTERIUS

(Catatan tambahan atas tulisan Nur Zain Hae, Agus Noor, dan Edy A. Effendi)

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Tugas utama juri adalah menilai, memilih, dan memutuskan. Dalam proses menilai dan memilih, ia memanfaatkan wawasan dan profesionalitasnya. Dan dalam memutuskan, ia mempertaruhkan otoritasnya. Oleh karena itu, keputusan juri berhubungan dengan masalah moral dan etik. Moral berkaitan dengan kejujuran, kebenaran, dan objektivitas, dan etik menyangkut hal-hal yang bersifat normatif.

Dalam konteks itu, pernyataan ?Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat,? sebenarnya kontradiktif jika dikaitkan dengan soal moral dan etik. Ada standar ganda. Di satu pihak, juri melindungi otoritasnya di balik hak absolutnya, dan di lain pihak, ia melalaikan pertanggungjawaban moral dan etiknya pada publik. Itulah sebabnya, untuk mempertanggungjawabkan moral dan etik tadi, juri akan dan mesti menyampaikan kriteria, argumen, dan berbagai hal yang melatarbelakangi keputusannya. Dengan demikian, publik dapat memahami persoalan yang terjadi di balik keputusannya itu. Bahwa lalu terjadi kontroversi, itu soal lain lagi. Dan sejatinya, segala keputusan juri masih terbuka diperdebatkan. Jika tidak, wewenang dan otoritas juri tak berbeda dengan sabda dewa yang secara taklid mesti diterima begitu saja.
***

Kini, kontroversi terjadi pada penjurian Hadiah Sastra Lintang Selatan Award yang menelorkan buku puisi Sajak-Sajak Tak Pernah Tamat (Penerbit Yayasan Skeptis, 2001, ? halaman berikut yang belum dicetak) karya Nur Zain Hae. Pidatonya (MIM, 25/11/2001) menunjukkan kebesaran jiwa seorang penyair yang menolak pemitosan. Berikutnya, tanggapan Agus Noor (MIM, 2/12/2001) yang kebetulan terlibat sebagai juri mewartakan adanya permainan di balik penjurian. Tentu kita tak boleh berburuk sangka. Apalagi jika disebut sebagai politik uang, sebab Agus selaku juri tahap pertama memang tidak dibayar. Namun, Nur dan Agus mensinyalir adanya niat jahil yang merusak citra pemberian hadiah itu. Sekali lagi, tidak perlulah kita suuzan, meski akhirnya kesimpulan kita akan sampai juga ke sana.

Bahwa Edy A. Effendi mengangkat dua tulisan di atas dalam konteks Sastra Daur Ulang (MIM, 9/12/2001), niscaya tidak dalam kerangka berburuk sangka, melainkan dalam penolakannya terhadap pemitosan. Bagi saya, persoalannya bukanlah terletak di sana. Sebab, siapa pun dengan alasan apa pun boleh saja memberhalakan sesuatu. Banyak contoh dapat kita ajukan. Kekaguman pada sesuatu tanpa reserve, misalnya, jatuhnya tak bakal jauh dari pemberhalaan. Jadi, soal pemitosan merupakan hal yang wajar dan sah, meskipun akibatnya akan sangat buruk bagi pengembangan profesi..

Yang patut dipertanyakan justru objektivitas pemilihan Sajak-Sajak Tak Pernah Tamat itu. Apakah lantaran judulnya Tak Pernah Tamat, antologi itu bermakna tak bakal usang, berlaku sepanjang waktu dan tak lengkang ditelan zaman. Kasus serupa pernah terjadi pada antologi Sajak-Sajak Sempurna yang terpilih sebagai pemenang hadiah yang lain. Juri memilihnya lantaran ada kata sempurna dalam judul kumpulan puisi itu. Nah, mau apa lagi? Sudah jelas sajak-sajak itu sempurna, pastilah karya lain di luar itu, semua tak sempurna. Setidak-tidaknya, masih belum lengkap. Dan inilah pertanggungjawaban moral dan etik dewan juri.

?Setelah melalui perdebatan, adu argumen yang sengit dan dalam suasana penuh tenggang rasa dan ewuh-pakewuh, Dewan Juri akhirnya memutuskan bahwa Sajak-Sajak Sempurna telah sempurna sebagai karya; lengkap memperlihatkan proses kreatif penyair; karya utuh yang menggambarkan pergulatan intelektual, menyeluruh secara tematis dan tak ada cacat apapun dibandingkan karya-karya yang lain. Itulah sebabnya, tanpa ragu dan secara aklamasi, Dewan Juri memilih Sajak-Sajak Sempurna sebagai pemenangnya.?

Ketika ada gugatan terhadap keputusan dewan juri, salah seorang juri kemudian berkomentar. ?Memang ada satu-dua puisi yang secara estetik tidak sempurna. Tetapi karena ia berada di bawah judul sempurna, yang lain jadi terbawa sempurna! Bagaimana pun juga, judul memegang peranan penting. Ia mewakili isi dan merupakan kristalisasi kesempurnaan penyairnya. Jadi, harap maklum sajalah.?
***

Terlepas dari keputusan yang absurd itu, setelah dicermati, ternyata ada sejumlah cacat di dalam proses penjurian Hadiah Sastra Lintang Selatan. Pertama, tak ada argumen apapun yang melandasi pemilihan dan keputusan juri. Tak ada perdebatan intelektual yang mengisyaratkan otoritas juri. Oleh karena itu, sangat wajar jika muncul pertanyaan: siapa jurinya, bagaimana otoritas, kredibilitas dan akseptabilitasnya? Apakah secara profesional dan akademis, ia pantas menjadi juri. Jangan-jangan jurinya elite politik yang mengukur segala sesuatu atas dasar kepentingan; vested interest.

Kedua, cara pemilihan tahap awal yang dilakukan model angket, jelas membawa konsekuensi pada penafikan kualitas karya. Bobot karya ditentukan lewat data kuantitatif dan bukan kualitas objek. Jadi seperti voting yang dilakukan anggota DPR: mengaburkan substansi mengusung jumlah kepentingan. Salah-benar tak perlu perdebatan, tak perlu argumen; siapa memilih apa dan siapa, ditentukan cuma oleh jumlah angka.

Ketiga, cara pemilihan model angket seperti itu juga ?langsung atau tidak? telah menempatkan otoritas juri dipersamakan dengan responden. Seperti lazimnya responden, tak perlu penghargaan, ucapan terima kasih, bahkan honor. Namanya responden, sudah cukup diperlakukan sebagai angka-angka. Tak lebih dari itu. Maka, angka-angka itupun sangat mungkin mengalami penyulapan dan rekayasa. Dalam bahasa politik, penjurian model itu mengingatkan kita pada Pemilu zaman Orba yang mengusung asas luber (langsung, bebas, dan rahasia), tetapi tidak jurdil (jujur dan adil).

Keempat, tidak adanya kejelasan mengenai identitas para juri, niscaya membuka dan memberi peluang yang sebebas-bebasnya terjadinya pat-pat-gulipat. Soalnya, kita tak tahu siapa-siapa saja yang menjadi juri. Jangan-jangan, panitia berikut keluarga, tetangga, dan segenap sanak-familinya, ikut pula dalam proses penjurian. Jadi, kerahasiaan juri yang semula dimaksudkan untuk menghasilkan pemilihan dan penilaian objektif, bisa jatuh pada dugaan yang macam-macam. Inilah misteri penjurian yang misterius!

Kelima, lantaran prosesnya penuh misteri dan identitas juri yang misterius, maka yang muncul paling awal adalah nilai-nilai subjektif. Patutlah kita mencurigai pemilihan yang dilakukan Agus Noor. Pasti, yang pertama kali ia cantumkan sebagai karya sastra yang patut mendapat hadiah Lintang Selatan adalah antologi cerpen Memorabilia (1999), karyanya sendiri. Lho, kalau begitu, penilaiannya subjektif, dong! Ya, memang. Penjurian yang tanpa argumen cuma akan menghasilkan berbagai keputusan subjektif. Tapi kan, antologi cerpen itu terbitan lama dan itu melanggar kriteria? Ya, nggak apa-apa, siapa tahu jurinya belum baca buku itu. Urusan melanggar aturan, ya juga nggak apa-apa. Wong semua aturan di negeri ini dibuat untuk dilanggar. Di sinilah, mesti ada ketentuan bahwa juri tidak memilih dan menominasikan karyanya sendiri. Ini salah satu kriteria yang harus dicantumkan dalam proses penjurian yang dilakukan model angket yang seperti itu.

Keenam, masalah lain yang bakal muncul adalah terjadinya pelanggaran terhadap kriteria tahun penerbitan. Adanya tenggat bulan dalam satu tahun tertentu, sulit dijadikan landasan lantaran tak sedikit penerbit yang tak mencantumkan bulan penerbitan bukunya. Karya-karya yang dicetak ulang atau yang diterbitkan kembali dengan sedikit penambahan di sana-sini ?menyitir istilah Edy A. Effendi, ?Sastra Daur Ulang? mestinya gugur demi orisinalitas. Kasusnya berbeda dengan antologi yang pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku. Antologi cerpen Hujan Menulis Ayam, karya Sutardji Calzoum Bachri atau Sampah Bulan Desember karya Hamsad Rangkuti, misalnya, tidaklah tergolong ?sastra daur ulang?, kedua antologi itu baru pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku. Bahwa di dalam kehidupan politik kita banyak terjadi pelanggaran, tidaklah berarti kita mesti ikut-ikutan melakukan perbuatan tercela.

Niscaya, kita masih dapat mendaftarkan kelemahan pola penjurian yang gelap seperti itu. Jadi, dengan penghargaan yang tinggi untuk penaja Hadiah Sastra Lintang Selatan dan dengan pengharapan yang besar untuk melanjutkan kegiatan tersebut, yang patut dievaluasi secara serius adalah proses penjurian. Beberapa hal berikut, barangkali dapat menjadi bahan pertimbangan.

Pertama, transparansi identitas juri. Ini penting untuk menghindari adanya dugaan terjadinya pat-pat-gulipat. Sekalian juga untuk melihat kredibilitas dan akseptabilitas juri yang dapat dilihat dari profesionalitas dan kepakaran akademisnya.

Kedua, penghargaan yang pantas atas kerja juri. Dari mana datangnya pemikiran mempersamakan juri dengan responden? Menyimpulkan kerja juri dalam bentuk data kuantitatif yang lalu dirumuskan menjadi angka-angka. Dan untuk kerja juri itu, panitia mestilah memberi apresiasi yang wajar. Katakanlah semacam ucapan terima kasih atau honor sekadarnya sebagai penghargaan pada otoritas dan profesinya. Jika itu tidak dilakukan, saya khawatir, publik menganggap kerja panitia sebagai tidak profesional, amatiran, jika tidak ingin disebut kurang adab, tak paham sopan-satun, dan tak tahu etika!

Ketiga, setiap juri wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas segala pilihan dan keputusannya dalam bentuk tertulis. Bahkan, jika mungkin, mempresentasikannya di depan publik. Jika itu dapat diwujudkan, maka itulah cara penjurian yang paling objektif, transparan, dan mempunyai pertanggungjawaban moral dan etik.
***

Hadiah Sastra Lintang Selatan Award yang memutuskan buku puisi Sajak-Sajak Tak Pernah Tamat karya Nur Zain Hae, sudah berlalu. Anggap saja peristiwa itu sebagai lelucon politik yang tak lucu. Tak apa-apa, tokh dagelan elite politik kita juga sering kali tak lucu. Satu hal positif yang dapat kita ambil hikmahnya adalah tahniah kita terhadap penaja atas apresiasinya pada karya kesastrawanan kita. Jadi, jika kita tamsilkan ia orang yang tersesat, ia tersesat di jalan yang benar. Semoga, di masa mendatang, ia berada di jalan yang lurus dan tidak terantuk pada batu yang sama. Nah barangkali begitu!

*) Staf pengajar FSUI, Depok.

Leave a Reply

Bahasa ยป