Hudan Hidayat
BELAKANGAN ini, pada banyak kesempatan saya kerap mengutarakan kegelisahan seputar menghilangnya “tokoh” dalam cerpen kita. Dan saya yakin, bahwa tak banyak ditemukannya “tokoh-tokoh yang otentik” dalam cerpen terkini bukanlah semata persoalan keterbatasan ruang penceritaan. Ketika Sunaryono Basuki KS menegaskan bahwa characterless short story adalah tak mungkin, maka di sanalah sebenarnya persolan itu berada: bahwa yang jadi soal adalah ketiadaan “tokoh”, bukan ketiadaan pengembangan tokoh atau “penokohan”.
Tokoh sebagai personifikasi karakter, juga menjadi semacam representasi gagasan pengarang seputar manusia – atau sebagai upaya menghadirkan “varian dari genus manusia” seperti diyakini Iwan Simatupang – ketika menghadapi peristiwa dan sejarahnya. Pada tingkat itulah pergulatan tokoh akan menentukan karakter dan keotentikannya. Bagaimana pergulatan tokoh itu dihadirkan, itulah yang disebut penokohan dalam cerita.
Diskripsi penokohan boleh pendek, boleh berupa sapuan-sapuan kecil, karena keunikan cerpen memang ada pada kepadatannya, kependekannya. Tetapi reaksi dan tanggapan tokoh atas peristiwa yang dihadapi itulah yang akan memunculkan karakterisasi yang kuat dari tokoh itu. Pergulatan pemikiran dan kejiwaan tokoh itulah, yang akan menentukan apakah tokoh itu memang merupakan tokoh yang memiliki karakter yang otentik, yang tak tergantikan.
Sepanjang sejarah cerpen Indonesia, barangkali hanya dua kumpulan cerpen yang memperlihatkan upaya untuk melakukan eksplorasi penokohan, yakni “Orang-orang Bloomington” Budi Darma dan “Tentang Delapan Orang” Satyagraha Hoerip. Kisah-kisah dalam kumpulan itu nyaris bertumpu pada tokoh. Tokoh Orez (cerpen “Orez” Budi Darma) misalnya, menjadi otentik bukan semata-mata karena cara pelukisan tokohnya (penokohannya) tetapi karena reaksi dan tanggapan tokoh itu atas peristiwa yang dihadapinya. Emosinya, kemarahannya, kelebatan pikirannya ketika berinteraksi dengan tokoh-tokoh lainnya dan saat memandang dan menghadapi dunia sekelilingnya begitu otentik, hingga tokoh ini tak mungkin tergantikan dengan tokoh dengan karakter yang berbeda.
Begitu pun tokoh-tokoh dalam kumpulan Satyagraha Hoerip itu, seperti Miranda Devanand atau Umiko Matsui terasa otentik bukan semata-mata lantaran diskripsinya yang memang benar-benar detail, seperti “Ada tahi lalat kecil di sudut mata kirinya. Kecil sekali.”
Dua buku ini, saya kira, menarik untuk dilihat sebagai upaya seorang pengarang melakukan “proyek penokohan” dalam proses kreatifnya. Dengan begitu, tokoh menjadi kuat atau tidak, tipis atau tidak, sesungguhnya bukan hanya dikarenakan ketiadaan detail diskripsi tokoh tersebut. Bukan pada ketiadaan atau kurangnya penokohan, tetapi karena memang tiadanya otentisitas karakter.
Cerpen “Safrida Askariyah” Alimudin bisa kita jadikan soal. Tokoh dalam cerpen ini adalah seorang perempuan Aceh korban kekerasan DOM yang kemudian menjadi anggota Askariah, pasukan perempuan GAM. Dalam cerpen ini kita nyaris tak menemukan diskripsi tokoh itu, hingga kita tak pernah tahu seperti ada rupa wajah tokoh yang bernama Safrida ini. Kalau dia orang Aceh, tak ada ciri apa pun yang membuat kita yakin bahwa Safrida memang perempuan Aceh. Bukan perempuan Jawa, atau Manado. Dan lebih-lebih kita tak melihat reaksinya yang khas dan otentik sebagai seorang pejuang yang tetap memendam dendam ketika orang-orang di sekelilingnya bergembira menyambut perjanjian damai.
Reaksinya yang umum dan nyaris sama saja sebagaimana reaksi para korban lainnya, membuat tokoh ini hanya semata-mata menjadi “gambaran umum” tentang seorang perempuan korban kekerasan.
Inilah gejala yang banyak kita rasakan dalam cerpen kita terkini, di mana tokoh lebih sering menjadi representasi dari gambaran sosiologis.
Mungkin benar seperti dinyatakan Sunaryono, cerpen “yang berfokus pada tokoh dianggap mengekang”, hingga kemudian “mengeksploitasi unsur-unsur lain dari sebuah cerpen”.
Cerpen Indonesia terkini memang sepertinya lebih mementingkan eksplorasi cara berbahasa dan bercerita, hingga yang lebih menonjol adalah unsur suasana dan peristiwa. Tak mengherankan bila dalam cerpen “Anak Ibu” Reda Gaudiamo kita tak menemukan diskripsi penokohan, karena alur dan karakter tokohnya hanya bisa “kita duga-duga” melalui percakapan seorang ibu dan anaknya.
Hal yang sama bisa kita rasakan pada cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, yang selalu hadir samar-samar, hingga kita selalu tergoda untuk mengidentifikasi tokoh-tokoh itu dengan pengarangnya. Seolah-olah, kita baru bisa memperoleh gambaran tokoh Nayla, misalnya, bila kita mengaitkannya dengan sosok Djenar sendiri.
Tentu saja, pada banyak cerpen kita masih menemukan tokoh dengan karakter yang otentik. Seperti tokoh-tokoh jembel yang ditulis Joni Ariadinata, yang sarkas, kasar dan keras.
Atau kegilaan dan keganjilan tokoh-tokoh Hudan Hidayat yang selalu terobsesi dengan darah dan kematian.
Pada Joni, kita menemukan reaksi-reaksi yang khas dari orang-orang jenis bromocorah. Sedang pada Hudan kita berhadapan dengan tokoh yang memiliki cara berpikir yang memang aneh.
Tetapi sebagaimana pada kasus Djenar, karena pemberian tokoh yang kadang tak terlalu kuat, pembaca kemudian kerap mengaitkan tokoh-tokoh yang ditulis itu dengan riwayat pengarangnya.
Dalam konteks ini, contoh paling gres adalah cara Mariana Amiruddin melihat tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen “Manusia Ikan” Hudan Hidayat, sebagai bagian integral dari obsesi pengarangnya: “Bahwa karya-karya Hudan adalah dirinya dan hidupnya”.
Apa yang bisa dibaca dari gejala itu?
Pertama, barangkali kita (atau para pengarang kita) memang tak lagi menemukan karakter-karakter yang unik dan otentik dalam lingkungan sosiologis kita. Bila ini benar, tiadanya tokoh dalam cerita kita adalah gambaran sebuah masyarakat yang tengah mengalami penyeragaman karakter. Atau bagaimana situasi sosial politik kita sekarang ini tidak memungkinkan bagi hadirnya satu kepribadian yang unik dan otentik. Apakah ini akibat dari upaya membangun masyarakat yang “berkepribadian nasional”?
Kedua, itu adalah gejala ketidakmampuan kita untuk menemukan dan menghadirkan tokoh dengan otentisitas karakter yang kuat. Karena ketidakmampuan itulah, para pengarang kita kemudian memakai riwayat dan sejarah hidupnya untuk menjadi model tokoh-tokoh yang ditulisnya.
Di sinilah, saya kemudian tertarik dengan apa yang dikembangkan oleh Radhar Panca Dahana dalam cerpen-cerpen yang belakangan ini ditulisnya, seperti “Senja Buram, Daging di Mulutnya”.
Radhar seperti meyakini bahwa saat ini kita tak mungkin menghadirkan “tokoh yang bulat utuh”, round character, karena memang kenyataan di mana para pengarang hidup juga semakin fragmentaris, di mana potongan-potongan peristiwa nyaris hadir serempak menghentak.
Karena itu, penokohan yang fragmentaris menjadi jalan yang mungkin untuk ditempuh.
Mungkin, yang terjadi saat ini memang bukan cerpen dengan “tipis tokoh” seperti dinyatakan Goenawan Mohamad, tetapi cerpen dengan tokoh-tokoh yang fragmentaris. Tokoh dengan penghadiran yang fragmentaris. Pikiran dan kejiwaan yang fragmentaris. Dan ini menjadi gambaran bagi realitas kita yang memang makin fragmentaris.
Inikah salah satu gejala postmodernisme dalam cerpen kita?