Nadia

Jodhi Yudono
http://oase.kompas.com/

Begitu turun dari mobil, ia langsung berkelebat. Menghilang ditelan kerumunan manusia yang memadati sebuah diskotek di kawasan Jakarta Pusat.

Nadia, sebutlah ia. Rok mini dan blazer warna hitam membalut tubuhnya yang sintal. Ia duduk di pojok. Seorang lelaki bule langsung merengkuhnya hangat. Seraya menghujaninya dengan kecupan penuh birahi.

Tequila segera dipesan. Aromanya yang menyengat membuat wajah Nadia memerah.

“Lagi, double,” kata Nadia pada waitres.

Ketika diteguknya kembali minuman asal Mexico itu, wajah dan tenggorokan Nadia langsung terbakar. Mister bule itu pun makin punya alasan untuk mendekap Nadia kian dalam ke dadanya.

Malam di bulan November 1999, Jakarta sedang disiram hujan. Ketika guntur menghajar langit Jakarta berkali-kali, Nadia telah benam dalam tidur. Tentu saja bersama pacar bulenya yang asal Perancis.

Nadia adalah kupu-kupu. Dialah yang pada tiap situasi yang memancarkan aroma madu bernama rupiah atau dollar senatiasa datang menghampiri. Dan madu itu kini punya Michael. Sebelumnya, punya John. Sebelumnya lagi punya Richard, dulu punya George. Dulunya lagi punya…

Begitulah, lelaki pemilik madu datang pergi menghampiri hidup Nadia, Selvie, Sonya, dan nama-nama metropolitan lain yang entah dipungut dari mana. Sebab sebetulnya, sebagian di antara mereka hanyalah wanita-wanita daerah yang tersesat di ibu kota, yang sebagian di antaranya telah mengubur nama asli pemberian ibu
mereka.

Nadia sendiri berasal dari sebuah desa kecil di Indramayu. Sang ayah yang sekretaris desa X memberinya nama Nurhayati. Jika nama diyakini sebagai doa, maka sebetulnya Nurhayati diharapkan menjadi pelita hidup bagi keluarganya; sesuai dengan namanya: Nurhayati.

Tapi begitulah, harapan terhadap Nurhayati agar menjadi pelita hidup, ternyata tak kunjung maujud. Maklumlah, doa yang dipanjatkan Parmin, ya ayah si Nurhayati itu, tak diimbangi dengan laku mulia sang ayah. Sebagai sekretaris desa, Parmin bukanlah tauladan yang baik buat Nurhayati. Segala larangan agama, ditabraknya tanpa ampun. Termasuk, menggauli Nur, putri kandungnya yang saat itu belum genap berusia 15.

“Jika neraka benar ada, maka dialah yang jadi keraknya,” ujar Nur..eh Nadia kepada Juha. Kala itu, secara kebetulan Juha bertemu Nadia yang tengah menggelepar di lantai diskotek akibat over dosis ekstasi atau ineks. Zat sintetik amfetamin berbentuk pil itu telah memacu detak nadinya secara hebat bersama dentuman house music. Nadia muntah-muntah dan kejang. Oleh rasa iba, dibawanya Nadia ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Barat.
* * *

Sejak saat itu, mereka berdua jadi berkawan. “Percayalah, hanya berkawan,” kata Juha kepada Kokom yang kala itu masih jadi pacar Juha yang curiga atas pertemanan antara lelaki-perempuan yang mustahil jika tak berujung di ranjang.

Dan Juha, tak pusing benar dengan kecurigaan Kokom. Perkenalannya dengan Nadia bagi Juha sama pentingnya saat dirinya berkenalan dengan tokoh politik, artis, maupun ulama. Juha percaya betul dengan ujar-ujar yang mengatakan, bahwa setiap orang adalah guru. Atau dalam bahasa Pak N, guru ngaji Juha, “Jangan memandang fisik, tapi pandanglah siapa gerangan yang menggerakan fisik itu. Nisacaya engkau akan tahu, bahwa setiap perjumpaan senantiasa ada pelajaran yang bisa kau ambil hikmahnya.”

“Demi apa engkau menolongnya? Atas nama apa wanita itu tergeletak di depanmu, sementara tak ada orang yang mau menolongnya,” ujar Pak N usai Juha menceritakan pertemuannya dengan Nadia.

Karena Nadia, Juha jadi tahu sisik melik kehidupan malam. Menurut Nadia, sekurangnya ada empat jenis manusia yang mencari hiburan malam. Pertama adalah jenis orang yang sedang beruntung. Kedua, adalah mereka yang sedang menuju kebangkrutan. Ketiga, adalah jenis penjilat yang sedang merayu relasi bisnisnya. Keempat, adalah mereka yang cuma iseng.

Kata Nadia, ia paling senang dengan jenis kesatu dan kedua. Mereka, kata Nadia, biasanya amat royal. Adapun jenis ketiga, tergantung relasi yang sedang dirayu. Sedang jenis keempat, adalah jenis yang tak disukai Nadia. “Biasanya mereka penuh perhitungan,” kata Nadia mengomentari pencari hiburan jenis keempat.

“Sok tahu, lu,” sahut Juha.
“Emang bener, sih. Gue kan udah kenyang dengan kehidupan malam,” ujar Nadia.

Ya, Nadia memang sudah kenyang dengan kehidupan malam Jakarta. Nadia juga tahu, bagaiamna trik para pengusaha diskotek dalam bersaing. Katanya, tak jarang untuk “membunuh” saingan bisnisnya, mereka memanfaatkan petugas untuk terus-terusan merazia diskotek “lawan” biar pengunjungnya gerah. Atau, pihak lawan menyebar ineks abal-abal yang bisa membuat pemakainya keranjingan kayak anjing gila.

Nadia juga tahu permainan para petugas nakal yang ikut-ikutan jadi bandar narkoba. “Makanya petugas yang “lurus” sering tak mendapatkan hasil optimal ketika merazia, sebab di antara anggota rombongan mereka ada juga yang melindungi para pelanggan dagangan narkobanya,” simpul Nadia.

“Hus, ngawur kamu. Petugas kan sudah dijanji untuk memerangi kejahatan, termasuk memerangi narkoba,” sergah Juha.
“Janji palsu kan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk petugas.”
“Oknum petugas?”
“Iya kali…”

Itulah kali terakhir perbincangan Nadia dan Juha yang dilakukan di rumah kontrakan Nadia di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Juha masih ingat, betapa malam itu Nadia berlayar dengan “perahu-perahu kertas timah” yang di dalamnya berisi kristal shabu-shabu. Tapi Juha tak turut serta dalam pengembaraan itu. Juha kapok. Pernah sekali ia mencicipi kristal yang berisi zat metilamfetamin (turunan amfetamin), bukan kenikmatan yang diperoleh, tapi malah perut jadi kembung dan mata tak bisa pejam selama dua hari.

Sambil menghisap shabu melalui bong (alat penghisap), Nadia ngoceh ngalor ngidul tak karuan. Katanya, perdagangan ineks atau shabu, sama persis dengan perdagangan rupiah. Jika kehidupan malam sedang gonjang-ganjing akibat banyak razia, atau jika beberapa bandar berhasil dibekuk, boleh dipastikan harga barang-barang itu akan melonjak. “Sama persis dengan kondisi rupiah yang tertekan akibat gejolak politik maupun keamanan,” ucap Nadia.
“Pemainnya sama barangkali,” celetuk Juha.
“Mungkin. Ada yang kelas recehan, ada pula yang kelas miliaran.”

Begitulah, semenjak pertemuan malam itu, tak pernah lagi keduanya bertemu. Nadia pernah bilang, takut mengganggu hubungan Juha dan Kokom. Mereka pilih berhubungan lewat telepon. Karenanya, Juha tak pernah ketinggalan kabar tentang dunia malam.

Terakhir Nadia mengabarkan, harga ineks kini sekitar Rp85 ribu sampai Rp125 ribu. Sementara shabu-shabu menurut Nadia, selain melonjak harganya sampai Rp400 ribu/gram, juga susah didapat. “Jaringan di tingkat pengecer putus sama sekali sejak ramainya gerebekan oleh petugas. Sekarang order minimal 5 gram,” kata Nadia.
“Nur…”
“Ya, Bang”
“Kapan sih kamu sadarnya, kapan kamu akan berhenti makai itu narkoba”
“Ini gue udah berhenti, Bang.”
“Syukurlah,” Juha gembira.
“Sejak kapan kamu berhenti makai?,” susul Juha.
“Baru saja.”

Jakarta, Rabu, 8 Mei 2002

Leave a Reply

Bahasa ยป