Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Saat insan menemukan kesadarannya dalam kepungan kabut menyelimuti jiwa, dirinya merangkak menghindari keterbenturan, sebab belum mampu menegakkan keyakinan.
Namun semakin lama bersanggup menguasai kedalaman gamang, menarik satu-persatu pengertian, lalu dikumpulkannya menjadi bulir-bulir kepastian, sebagai temuan dirinya paling awal.
Perasaan pertama, logika awal, menjadi kembang asosiasi identitas dalam kelembagaan kesadarannya yang lebih menyegarkan. Sebab pada dasarnya, insan senantiasa haus segala, memperturutkan kekurangan bagi tetambahan.
Kemungkinan berjembatan, meneruskan langkah setelah cukup istirah. Ikatan bathin dirinya kepada lingkungan akan memperjelas tahap-tahap kesadaran, tangga menuntun pelajaran waktu demi kajian lebih dalam.
Menarik ulung perkiraan untuk menemukan kejituan, diharuskan menggagalkan keraguan yang menghantui dirinya. Meski kadang keraguan itu sanggup menentukan perbaikan, orang-orang menyebutnya latihan.
Dunia kemungkinan itu melemparkan jala ke segenap penjuru, seluas tenaganya merangkum balik gagasan, dan jawaban yang beredar atas pantulan keyakinan kemarin. Ini gegaris kejelasan, setelah lama melototi kemungkinan menjadi realitas masa depan.
Istirahnya tubuh bukan berarti berhentinya meneliti, namun merasai tugas pelahan sepenuh hitungan. Sebab penguasaan ruang-waktu kehidupan, sangat diperlukan untuk memperjelas yang disuntuki. Di mana sikap santai menguasai keadaan, kewajaran dengan diciptakannya kemungkinan lain.
Dan kabut gelap lama-kelamaan meningkatkan gumpalan embun paling bening, di sini berbicara ruang sekitar yang serba menjadi. Al-hasil, pelajaran jarak atau kedudukan di suatu sudut penelitian, juga menjadikan warna gagasan.
Bersebutlah yang berhias menawan tempat duduk yang kerap berubah, atas letak benda dari jarak pandang yang ditentukan kesadaran penerimaan maupun penolakan, yang berupa sangkalan atau pun persetujuan dalam kinerja lanjutan.
Kajian ini bukan mempersiapkan agar nafas panjang di suatu panggung, tapi bagaimana keluar-masuknya nafas bermanfaat, membuka kemungkinan lebih berarti, dan pada gilirannya mengokohkan di setingkap wacana.
Atau rangkuman dari prosesi perkembangan yang tidak terpecah, keluar dari asosiasi kesadaran, tetapi memberi wahana lain yang suatu saat menuntut jatah.
Saya rasa, membangun kemungkinan itu menciptakan ketaksadaran bagi saksi kehadiran umum, menuju dunia yang serba baru. Kata-kata yang terlontar dari himpunan daya duga yang seolah tak terkendali, semisal: ?Perahu-perahu yang memadati peradaban pasar nelayan.?
Kalimah tersebut terlontar begitu saja dari benak, lalu saya tuliskan di selembar kertas. Semula kata-kata itu ingin saya pergunakan sebagai letupan awal penciptaan puisi.
Namun entah saya pergunakan begitu saja seperti sekarang, pembuka atau sekadar bertanya. Padahal keberangkatannya dari gagasan realis yang mengakar. Apakah ini disebut melontarkan gagasan, tetapi tidak sanggup menguasai rentetan anatominya?
Puisi bukan tidak memperturutkan gagasan semula, namun berulangkali menggagalkan kesadaran awal, demi pecahnya kulit dalam sebentuk rangkaian penuh makna.
Kalimah yang terjatuh saat membawa kesadaran, tubuh berhadap wacana lingkungan. Dan pandangan memberi kesaksian pertama, sebelum yang terdalam mengurai persetujuannya.
Kesaksian pertama belum tentu menjadi saksi utama, sebab pengembangan kemungkinan bisa paripurna, jika peredarannya mengikuti naluri, yang telah terpecahkan situasinya.
Mekarnya bunga semacam menumbuhkan nilai tambah, namun bukan berarti perkalian, sebab keadaan perkalian itu menyerupai hilangannya identitas, sedangkan penambahan itu yang merangkum beberapa identitas dengan hasil jumlah.
Namun tidak lantas meninggalkan cara perkalian, jika perangkat logikanya semakin tangguh memiliki daya simpan yang ampuh. Maka perkalian bisa dilaksanakan, demi mendekap realitas. Atau jumlah yang diinginkan itu menemukan standarisasi logika kesadarannya.
*) Pengelana asal Lamongan, 09. 16 Mei 2006.
Mencerahkan.
Dito Anurogo
Penulis “Pelangi Jiwa” dan “123 Penyakit”
ditoanurogo@gmail.com
Alhamdulillah, ada yg bilang mencerahkan,
aku fikir tak ada yang faham tulisanku;
sebab tak memakai ejaan eyd bela-belu,
juga tak memakai pengantaran akademis,
atau
jangan-jangan kawan ini malaikat
yang menyamar sebagai manusia (?),
hehe, oh trimakasih,
salam dari Pengelana