http://www.suarakarya-online.com/
Keluarga
i.
aku pernah masuk di situ
terkunci di dalam kamar
sekadar menggambar wajah ibu dan bapak
lalu hangat kenangan meledak
selalu ada nasihat, asin keringat, atau bentakan
yang berkisah jika tak perlu tersungut
pada kecengangan dunia
sebab hidup kecut, kata mereka
dan aku selalu menamai kembali setiap batas
lekuk silsilah, batang waktu yang selalu menggoda
tiba-tiba aku sudah dewasa
usia terperanjat membuka jendela
lantas tertawa
kunci pintu kamar sudah di saku
dapat kuputar kapan saja
menjelajah ke luar rumah
ii.
tapi beratus langkah jauh dari rumah
terasa ada kangen yang mendera
ingin kembali masuk
berpeluk pada setiap suluk
sudut ruangan yang kuingat dengan jelas
tempat diriku dulu kerap tertawa atau menangis sendirian
sementara hanya bisa kukenang
wajah-wajah adik yang berenang
waktu cepat mencumbu
kami berusaha untuk terus tumbuh
iii.
seperti ibu dulu menangis penuh gemetar
ayat-ayat suci mengalun
tangisnya melebih hujan
kini bagaikan kurengkuh kembali
rahimnya yang rapat dan hangat
berbagi ruang hidup
seluruh napasnya yang letup
barangkali cuma buatku
iv.
dan ayah acap tergesa
bekerja, melulu bekerja
masuk dalam rutinitas negara
di kepalanya ratusan arsip
tetapi kami selalu menunggunya
sepulang kerja
tak ada kerut lelah di matanya
menanti getar suaranya dengan dada yang berdebar
berkisah hal-hal biasa
“soal kantor tak perlu masuk ke rumah,” katanya
“ia lebih baik tertinggal di beranda saja.
yang akan dijemput saat berangkat kerja.”
maka tak pernah kudengar kisah-kisah seram tentang atasan
hanya dapat kurasakan hujan yang jatuh di halaman
atau hangat matahari menyapa akrab
v.
kini kami mesti menempuh jalan sendiri-sendiri
tenggelam dalam limbah kota
menggapai nasib
dan seperti kata ayah,
“soal kantor tak perlu masuk rumah. cuma buat kotor.
tinggalkan di beranda saja.”
Jakarta, 2006
Mata Bundarmu
: cha-cha
di bayangan mata bundarmu
lipatan senyum yang polos
putaran waktu jadi penuh dengan hujan
musim tertawa riang, sehijau rumput sabana
irama suaramu yang belum jelas memanggil
acapkali bangunkanku dari mimpi buruk
menelusup ke setiap suluk
pada setiap malam tidurku
maka selalu kupanggil namamu, “cha-cha!”
supaya engkau sadar
aku selalu dekat denganmu
melindungimu ketika dunia kacau
dipenuhi berita racau
dari orang-orang kalap yang
dadanya bergumpal dendam
segalanya akan kuhalau!
jangan kau silau!
pada berhala dunia
jangan biarkan galau itu meradang, anakku!
jangan biarkan ia tumbuh di dalam hatimu!
ah, cha-cha di depan jalanmu masih penuh liku
setiap hari yang terputar selalu mengalungi lehermu
dengan bayangan gelap yang pengap
engkau cuma tinggal menunggu waktu
dan, aduh! mata bundarmu itu kembali mencumbu
melulu buat aku kangen akan tangismu
Jakarta, 23 Desember 2006
Tanjungkarang
yang tersimpan selalu wajah perempuan,
ramainya pasar di pagi hari, kerinduan saat hujan
datang, atau aroma asin pantaimu yang terik
tapi perih juga acap datang seperti membungkus segala
ingatan seperti saat kusayat kota itu
orang-orang yang hanya sekadar bertandang
tak pernah paham sedihmu yang sedang radang
mereka hanya asik berkisah
tentang harum pantai dan jangat matahari
yang tumbuh di kepala
namun ingin kupotret kembali liuk tanjungkarang
supaya ia tak cuma menjelma jadi bayang-bayang
di masa silam
Jakarta, 23 Desember 2006
Tutup Tahun
kini kujadwal ulang seluruh tubuh
menginap setahun di tempurung waktu
desember tertawa
renyah dan basah dalam hujan
saat kalender tahun lalu disimpan kembali
dalam gudang
berdebu
aus
diburu waktu!
sementara gudang hatiku telah bangkrut
segalanya menjelma jadi tumpukan hutang
yang tak pernah lunas dibayar
tahun ke tahun
desember ke desember
lalu hujan bertandang
mengobati kusam desember
hari-hari kembali terbingkai
jendela harapan di depan rumah
yang luput dibersihkan
debunya kian menebal
tak juga tanggal
Jakarta, Desember 2006
Berkawan Hujan
mungkin aku mesti berkawan dengan hujan
membiarkan binar air datang
menyapu letih perjalanan
biar aku kuyup
mengigil dengan tubuh yang gemetar
barangkali di tengah hujan
ada sedikit yang terbagi
sebungkus perih
yang lindap di tubuh ini
Jakarta, 27 Desember 2006
Hujan Akhir Desember
pada siapakah hujan bertamu?
saat desember hampir habis
ia meracau. terkadang lebat
atau gerimis seharian
mungkin tak lagi butuh
pesta mewah akhir tahun
genangan air, terus mencibir
seperti membuka lembaran baru
lalu menyimpannya di sepanjang jalan kota
kisah buruk macam apa lagi yang datang kembali?
Jakarta, 28 Desember 2006
Singgah
akhirnya januari singgah
selalu kutunggu engkau
duduk bercakap
merapikan kalimat sedih
yang melulu berkisah tentang
negeri orang mati
seperti letup terompet yang ditiup kanak-kanak
semestinya kita menandai lagi setiap jarak
acapkali membuat kita lupa
pada sejumput luka
dan kutanam januari
pada bening dua matamu
menghadapi hari
dari sekujur cemas yang beku
Jakarta, 1 Januari 2007
Terompet
engkau berlari
membawa cemas
menjauhi tiupan terompet
cemas dan mengelupas
pada seluruh perihmu
mungkin harapan tak lagi bugil
seperti kau temui di hari lampau
pada mimpi buruk yang buat tubuh
dipenuhi dengan gigil
hanya orang-orang berkerumun
menghitung detik
serupa pematik
yang akan nyalakan kobaran api
menit yang mengganti lembaran tahun
sebelum tiba segala yang berkabung
kisah-kisah jenuh menjelma jadi abu
Jakarta, 1 Januari 2007
Umur 25 Tahun
ia mengucapkan selamat tinggal
pada mimpi-mimpi paraunya
tak perlu lagi menghitung segala kenangan
setiap asal-muasal yang membuatnya tertikam sesal
terkadang rasa sakit menjepitnya berulang kali
seperti tak bisa diobati lagi
lalu mengingat semua pijar yang telah silam
namun yang didapatinya cuma jalan kelok
gelap hampa cahaya
padahal ia berulangkali mencari pintu
supaya sulur cahaya terbuka
entah berapa kunci lagi yang mesti diputarnya
sampai jenuh melepuh
dan ia istirahat di sana
Jakarta, 16 Januari 2007
Keringat Rumah
setiap kali memasuki rumah
tubuhnya berkeringat
cemas memejam
berlarian mengejar dirinya
dari beranda
pun ketika ia selesai mandi
peluhnya kembali rebah
buncah dalam puluhan teka-teki
yang tak usai digali
mengapa rasa takut kerap
membuatnya kambuh?
terjebak dalam sengat tubuh
yang membuatnya berulangkali lumpuh
ah, padahal ia cuma ingin
istirah sejenak
memecahkan teka-teki yang ada
Jakarta, Januari 2007
Jalan Lama
ditinggalkannya jalan lama
yang membuatnya ditikam sedih berkali
meski ia hapal betul setiap sudut
bau tanah atau kelokan
justru ia tak kunjung singgah kemana-mana
di situ, cuma ada bekas luka dan airmata
yang masih nganga
terasa hangat menembus dadanya
sementara orang-orang terus menghunus mata pisau
tak membawakan kisah-kisah bahagia
Jakarta, Januari 2007
Penyair Tengah Malam
aku menulis puisi
di malam yang diam
berita televisi masih saja berkobar api
tak jenuh disuguhinya kotak-kotak petaka
aku menulis puisi
orang-orang masih memeram mimpi
sengat oleh hujan yang penuh birahi
masih saja tak dimengerti
mengapa sunyi itu lindap kembali
aku menulis puisi
tak ada yang bisa kutangkap
selain igau dan imaji sesat
padahal aku kangen pada lembap bibirmu
aku menulis puisi
semua amarah menggumpal di otakku
malaikat pergi dari bahuku
tragedi demi tragedi ngoceh dan memungut setiap
galau yang makin kacau
Jakarta, Januari 2007