http://www.padangekspres.co.id/
Seputar Pemilu Afghanistan
Aku tak ingin pergi
malam ini
Langit masih gelap
Suara bocah-bocah di luar
Cuma ringis menahan tangis
dan ketakutan
Sedang di halaman tepi jalan
Bunga-bunga flamboyan
Muncul di antara dedaunan
yang mengering
sebelum waktunya kering
Layu pada sisa-sisa asap, yang
masih terasa basah di pipi
Tak ada cahaya
di kelopak liarnya
atau putik-putik yang kusut
Hanya ada hitam
Yang membuatnya makin usang
?Ibu, aku mau sebutir permen hijau,
sebutir saja.
Sekadar menghilangkan sakit,
di telinga.?
Sebutir saja, kata gadis kecilku
Tapi tak ada satu pun di saku bajuku
?Aku tak ingin pergi
malam ini.
Udara sangat panas di luar,
sayangku.?
Lalu gadisku terisak dalam dongeng
yang diceritakannya sendiri
Pintu perlahan kubuka
Tanpa derit, tanpa jerit
Menatap cuaca yang hampa
tiba-tiba
Jalanan aspal ini sedikit basah
oleh darah tentu saja
Seorang lelaki mungil yang malang
Segera kuraih dan kusentuh
tubuh keruh
Jasad lusuh tanpa nyawa
Siapa orang tuanya?
(Yang mungkin bernasib sama)
Di mana rumahnya?
Entahlah,
Cuma tanya,
yang tak terjawab
Di pintu, gadisku bertanya
?Adakah permen hijau untukku, ibu??
Tapi tak ada permen hijau, sayang
Yang mengubah cuaca ini jadi tawa
Menyulap rumah dan gedung
kembali menjulang
Permen-permen itu cuma berjanji saja
Menghilangkan sakitmu sesaat
Lalu menyiksamu dalam mimpi
?Aku akan mencari permen merah,
untukmu.
Atau permen biru, kuning, coklat
atau apa saja.
Tentu yang bisa mengubah cuaca.?
Bunga flamboyan itu sudah layu,
sekarang
Gadisku pun tidur lelap
dalam rintih sakit
Surat Ibu
Ibuku menulis surat
entah, kepada siapa
Tapi kata-kata
tak pernah percaya
pada penanya
Ibuku berulang kali mencoret
sesekali mengeluh, sekali tercenung
Ibuku menulis surat,
Mungkin akan mengirimkannya
ke langit
Dimana angan masa kecilku
terbang malam hari,
kesana.
Rumput
Rumput di taman
selalu rindukan hujan
Dan kakiku,
hati-hati menyeberanginya
Kalau rumput bersayap
Ia akan terbang ke awan
Lalu langit menjadi padang hijau
dan hewan-hewan di bumi
akan tengadah
Hewan-hewan bosan dengan bumi
yang kering, panas, dan
tak punya lagi mata air
Rumput-rumput, mati.
Dongeng tentang Kota
bukan praha
kota seribu kristal cahaya
bukan venezia
kanal-kanal tua
dan gondola sederhana
atau paris
mozaik agung notre dame
yang selalu muncul di igaumu
dini sunyi tak mampu membuatku
mabuk dalam dongeng
bibir bekumu gemetar
tak mampu bercerita
tentang kota-kota
tubuh kita gersang
menghapus mimpi masing-masing
kau menyeka
lelehan es krim cone vanila
yang mencair di jari tanganku
dan kita tak sedang menujumkan
tanda dan waktu
lalu usir segenap kenangan
menjauh dari angan
kau tangkis pedihku
aku tepis sedihmu