Sawali Tuhusetya*
http://hudanhidayat.multiply.com/diambil dari entry hh di google
?Perang Sastra? Terus Berlanjut?
Belum mereda imbas ?perang sastra? antara Taufiq Ismail dan Hudan Hidayat tentang ?Gerakan Syahwat Merdeka?, kini dunia sastra Indonesia mutakhir kembali menabuh genderang perang antara kubu Boemipoetra dan Teater Utan Kayu (TUK). Kubu Boemipoetra yang dikomandani oleh Saut Situmorang (SS) sangat agresif menyerang kubu TUK yang digawangi oleh Goenawan Muhammad (GM). Dengan nada ?provokatif?, penyair eksentrik itu bilang bahwa TUK adalah agen imperialisme Liberalisme-Kapitalisme, terutama Amerika Serikat, dalam jagat sastra Indonesia, lewat program-program sastranya. Mudahnya akses bagi orang-orang TUK dan sekutunya ke program-program di Amerika Serikat, seperti program menulis Iowa itu, misalnya, sementara orang-orang yang non-TUK ditolak visa mereka oleh Kedutaan Amerika Serikat, adalah bukti nyata. (Wawancara dengan Saut Situmorang selengkapnya bisa di baca di sini.)
Mendapatkan serangan gencar dan bertubi-tubi semacam itu, GM bersama TUK agaknya memilih bersikap defensif dan membiarkan Saut Situmorang (SS) bersama Boemipoetra-nya ?menari-nari? di tengah irama genderang perang yang ditabuhnya sendiri. Munculnya perseteruan semacam itu agaknya mengulang ?mitos? lama tentang munculnya dua kubu sastrawan yang tak kan pernah bertemu dalam satu titik kebersamaan. Kita belum bisa melupakan ?perang? antara kubu Lekra dan Manikebu (tahun ?50-an?), heboh sastra tentang cerpen Ki Pandji Kusmin (tahun ?60-an?), antara sastra universal dan sastra kontekstual (tahun ?80-an) ?sekadar untuk menyebut beberapa kasus). Walah, kenapa setiap perbedaan paham mesti dilanjutkan dengan ?perang?, ya? Tidak adakah ruang yang tepat untuk duduk dalam satu meja, untuk kemudian saling memahami posisinya masing-masing, tanpa harus saling mengklaim diri sebagai satu-satunya kubu yang mengusung kebenaran?
Ketika ?perang? tersulut, seringkali ada pihak yang harus menjadi tumbal dan korban seperti tamsil ?Gajah berperang melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah?. Lantas, siapakah ?pelanduk? yang harus menjadi korban di tengah ?perang? sastra itu? Menurut hemat saya, tumbal dan korbannya adalah rakyat! Loh, apa hubungannya? Secara langsung tidak ada memang. Namun, jika kita cermati, sastra seharusnya mampu mengantarkan ?tahta untuk rakyat?. Lantaran sibuk ?berperang?, sastrawan seringkali melupakan rakyat yang seharusnya menjadi subjek dalam teks-teks sastra mereka.
rakyat dan demokrasiBerangkat dari pemikiran Paulo Freire, maka rakyat sebagai sumber ilham kreativitas susastra menjadi sangat relevan dalam upayanya memberikan pencerahan kondisi zaman. Freire bilang bahwa rakyat mestinya tidak hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, melainkan justru sebagai subjek. Dengan bahasa lain, bisa dikatakan bahwa susatra tidak hanya berbicara tentang dan untuk rakyat, tetapi juga berbicara dengan mereka. Himpitan zaman yang mencekik rakyat, kemiskinan yang nyaris mengeringkan sumsum tulang, kebodohan yang merupakan sumber merajalelanya penipuan dan manipulasi, otoritas penguasa yang cenderung ?memuaskan kebuasan hati? (pinjam istilah almarhum Satyagraha Hoerip) serta kebobrokan fatalis lainnya merupakan kondisi yang seharusnya diakrabi oleh para sastrawan.
Nah, apakah kalau sastra sudah gamblang-gamblangnya melabrak kemiskinan dan kebodohan masyarakat jadi terentas dari kebobrokan? Secara langsung tidak memang. Namun, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat (pembaca) mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia dan kemanusiaan. Sastrawan pengarang novel Warisan yang berwarna lokal Minangkabau sekaligus pencetus konsep Sastra sebagai human control ini juga mengatakan bahwa sastra menjadi mustahil tanpa ada persoalan manusia yang disentuhnya. Oleh sebab itu, betapapun sebuah karya sastra bergelimang dengan tebaran estetika yang mengharubiru sanubari, tanpa ada persoalan humani yang disentuhnya, ia tak kan bermakna apa-apa dalam benak pembaca. Karya sastra hanya akan melambungkan khayal yang muluk-muluk tanpa ada koherensi makna kemanusiaan yang diluncurkannya. Padahal, menurut A. Teeuw, karya sastra merupakan a unified whole, yakni dunia bulat yang menunjukkan koherensi makna dengan dunia otonom yang minta untuk dinikmati demi dirinya sendiri sebagai aspek terpenting.
?Tahta untuk rakyat? sebenarnya telah dirintis sejak zaman pujangga besar Ronggowarsito dengan serat Kalatidha-nya yang melukiskan bobroknya moral para pejabat Jawa di masyarakat Surakarta Hadiningrat. Dus, masalah sosial dalam sastra sebenarnya telah mengusik kegelisahan pujangga zaman kerajaan yang dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan terhadap kondisi zaman yang penuh dengan ulah dan tingkah kemunafikan.
Bagi para sastrawan yang menghamba pada ?Dewa Estetika?, boleh jadi berang dengan luncuran-luncuran konsep semacam itu. Akan tetapi, mengingat bahwa susastra sebagai sebuah unicum yang hadir dengan kemandirian persepsi masing-masing sastrawannya, maka konsep-konsep tersebut justru menjadi sah adanya. Bahkan, dengan adanya beragam persepsi yang majemuk sanggup menjadikan rimba sastra kita semakin kaya dan semarak. Sastra dengan kondisi yang pluralis justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun muatan isinya. Biarlah masing-masing kubu sastrawan berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya.
Nah, daripada sibuk ?berperang?, lebih baik kita merangkul rakyat untuk bersama-sama membangun sebuah peradaban yang santun, beradab, berbudaya, dan bermartabat lewat teks-teks sastra yang ?liar? dan mencengangkan. Nah, bagaimana? ***
*) Seorang guru sastra.