Membaca Isbedy Stiawan Z.S. dan Cerpen “Perangkap”
Damhuri Muhammad
http://www.lampungpost.com/
BEBERAPA waktu lalu Isbedy Stiawan Z.S. menulis sebuah esai sastra, “Merayakan Sastra Darah dan Seks” (Padang Ekspres, 14-12-03). Esai bertema serupa saya baca juga di Republika dan Lampung Post. Tapi, Isbedy menyebut esai itu sebagai “catatan sekadar” setelah terbitnya tiga kumpulan cerita pendek yang diluncurkan Creative Writing Institute (CWI) di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Juli 2003). Tiga buku tersebut Keluarga Gila karya Hudan Hidayat (pendiri sekaligus koordinator CWI), Membaca Perempuan-ku karya Maya Wulan (cerpenis asal Yogjakarta, buku ini sekaligus menjadi antologi cerpennya yang pertama), dan Lantaiku Penuh Darah (antologi bersama: Poniran Kalasnikov, Pangeran Gunadi, Sarno Sensiby, dan Muslim Adi Pamungkas).
Menurut pemahaman penulis (tentunya setelah membaca esai itu berulang-ulang, hati-hati, dan saksama), tulisan Isbedy ternyata bukan sekadar “catatan sekadar”, melainkan sangat layak disebut sebagai “catatan pembantaian” terhadap Hudan Hidayat yang mengusung “estetika baru” di dalam khazanah penulisan cerpen Indonesia. Dalam pandangan Isbedy, keberanian Hudan memasukkan kata-kata yang selama ini dianggap tabu, jorok, bahkan saru (Isbedy menyebutnya dengan istilah “desakralisasi kata”) dalam cerpen-cerpennya yang (tiba-tiba) memperoleh dukungan media massa, tak lebih dari sekadar “sensasi”.
Benarkah Hudan melakukan lompatan dalam menangkap persoalan kekerasan dan seks sebagai sesuatu yang meniscaya dalam cerpen-cerpennya? Atau, sekadar mengeksploitasi agar “yang penting tampil lain dan beda” demi merebut popularitas?
Bermula pertanyaan itulah “pembantaian” tersebut. Kekerasan, darah, dan seks yang digarap Hudan dalam “Keluarga Gila” dan enam cerpen lain (dalam buku Keluarga Gila) tidak bisa dimaklumi sebagai model “estetika baru” karena pada dasarnya tema-tema yang diangkatnya tidaklah terlalu “besar”. Cuma, Hudan begitu piawai dalam melakukan “teror” pada pembaca dengan cara menggunakan kata-kata yang pedas, keras, tabu, sekaligus saru. Sebab itu, alih-alih menangkap makna estetika baru pada cerpen-cerpen Hudan, justru yang terlihat tidak lebih dari “estetika saru” (setidaknya, demikian pemahaman penulis terhadap gaya berpikir Isbedy pada esai yang dimaksud).
Pada level yang lebih serius, Isbedy heran kenapa cerpen-cerpen Hudan (yang menurut dia tidak seberapa besar itu) menghebohkan? Bahkan, cerpen-cerpen itu sempat membuat Edy A. Effendi (penanggung jawab rubrik Tifa di Media Indonesia) dipanggil sehubungan adanya surat dan telepon pembaca yang mempertanyakan alasan pemuatan salah satu cerpen Hudan Hidayat (sebagaimana hal ini disinyalir juga Isbedy). Isbedy membuat sebuah hipotesis berkenaan dengan menanjaknya popularitas Hudan Hidayat karena cerpen-cerpen sarunya. Hudan populer bukan karena ia melahirkan cerita-cerita yang “kuat” dan tema yang besar, melainkan karena kritikus yang terlalu “membesar-besarkan”. Maman S. Mahayana dan Ahmadun Y. Herfanda adalah dua kritikus yang memberikan perhatian lebih hingga cerpen-cerpen Hudan seolah-olah besar. Kedua kritikus ini kemudian berperan seperti juru bicara bagi cerpen-cerpen Hudan. Bahkan, Maman mengambil sepertiga porsi halaman buku Kelurga Gila hanya untuk sebuah kata pengantar. Persis mulai titik ini, penulis menangkap aura sentimentalisme Isbedy pada Hudan Hidayat.
“Catatan sekadar” Isbedy tidak berhenti sampai di sini. Penulis juga menemukan “kecurigaan” lain pada esainya, terutama menyangkut “perselingkuhan kreatif” (terminologi ini dikutip Isbedy dari Maman S. Mahayana) antara Maya Wulan (nama pena dari S.N. Mayasari H. yang Oktober 2003 lalu menjadi pemenang II sayembara penulisan cerpen Krakatau Awards yang diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung) sebagai “murid” dengan Hudan Hidayat (sendiri) sebagai “sang guru”. Sebagaimana Hudan, Maya Wulan mengusung tema kekerasan, darah, dan seks (dapat dibaca pada antologi Membaca Perempuan-ku).
Tampilnya Maya Wulan sebagai “wajah baru” di jagat sastra (khususnya cerpen) cukup menghebohkan pemerhati sastra di Jakarta maupun Yogyakarta (lebih heboh dari “sensasi” Hudan, agaknya). Ini telah menstimulasi terbangunnya sentimentalisme Isbedy yang “lain”. Maya yang sejak awal memaklumkan diri sebagai “murid” Hudan, pada pengantar bukunya secara bersijujur tanpa “malu-malu” menulis, “Bahwa kami (saya dan Hudan) mencintai langit yang sama dan tersambar petir kembar. Tubuh kami adalah sebuah pena. Lalu kami bergerak, berputar, menari, membentuk barisan kata. Kami terus bergerak seperti gasing yang dilepaskan pemainnya. Kami mabuk berdua. Dalam keliaran imajinasi, kegilaan, dan kesaksian. Maka lahirlah anak-anak kisah yang berwajah serupa tapi tak sama. Kami ingat saat petir kembar itu menyambar, kami tengah bergandengan tangan (ini bukan sebuah pembelaan diri, tapi penggambaran) (hlm. ix).
Berangkat dari pengakuan Maya Wulan yang polos inilah, Isbedy memulai episode “pembantaian” yang kedua setelah “menyembelih” Hudan Hidayat. Kedekatan antara guru dan murid menimbulkan kecurigaan Isbedy bahwa setiap cerpen yang ditulis Maya selalu dikait-kaitkan dengan Hudan Hidayat. “Suatu hari, ketika cerpen saya berjudul ‘Sebilah Pisau’ dimuat Republika, seorang penyair mengatakan ada aura Hudan di cerpen saya itu. Saya tahu persis arah pembicaraannya,” ujar Maya.
Menurut Isbedy, kesalahan pembaca yang mencurigai, menuduh, dan mengutuk cerpen-cerpen Maya disebabkan kesalahan Maya (juga) yang terlalu jujur mengakui kedekatannya pada seseorang, apalagi kedekatan tersebut pada guru yang berjenis kelamin laki-laki, sementara muridnya seorang perempuan yang masih muda pula. Dalam konteks ini, penulis sepakat dengan Isbedy karena Maya tidak hanya jujur, tetapi sangat tidak pemalu. Masih pada bagian pengantar bukunya, Maya menulis lagi, “Dan, kini di antara kesibukan saya menulis, saya kembali berani menyatakan saya telah jatuh cinta untuk ketiga kalinya sepanjang perjalanan hidup saya. Ya, saya jatuh cinta pada guru sastra saya sendiri, Hudan Hidayat.” Lagi-lagi ini menjadi cinta yang salah arah. Penulis yakin setelah membaca paragraf itu, Isbedy tidak lagi sekadar curiga pada Maya, tapi cemburu buta.
Rubrik Budaya Harian Suara Karya (Minggu, 7 Maret 2004) memuat cerpen berjudul “Perangkap”. Penulisnya tidak lain adalah Isbedy Stiawan Z.S. Melalui “Perangkap” nyata sekali Isbedy ingin mencatat dan mendokumentasikan “kecurigaan”-nya pada Maya Wulan, murid Hudan yang terlalu jujur. Pada cerpen tersebut tibalah giliran Maya Wulan dibantai. Setelah membaca cerpen Isbedy, seorang teman di Yogyakarta setengah berkelakar menyatakan, “Yang ditulis Isbedy bukan cerita pendek, tapi biografi Maya Wulan.”
Tepat sekali penilaian teman itu karena mainstream (arus utama) di dalam “tubuh” cerpennya tidak lain mewartakan sentimentalisme (yang ketat) penulisnya terhadap proses perjalanan karier kepenulisan Maya yang lama dia curigai dan dianggap sedikit “janggal” (mungkin). Setidaknya, begitu kesepakatan penilaian sejumlah pemerhati cerpen. Ada apa dengan Isbedy?
Isbedy makin “usil” judes, nyinyir, bahkan sedikit cerewet. Tidak lama setelah membaca “biografi” Maya Wulan itu, penulis membuat sebuah catatan sederhana yang kemudian di-attach ke alamat e-mail Maya. “Semua penikmat cerpen pasti paham kalau tokoh dalam cerpen Isbedy menunjuk pada diri saya, juga Hudan. Setelah membacanya, makin bertambah banyaklah yang mengutuk saya. Tapi nggak apa-apa, kita tetap menulis untuk menghasilkan karya besar,” ujar Maya Wulan.
Paragraf di atas belum seberapa “nakal”, ada yang lebih liar. Mari kita lihat, “Pernah kudengar ia mampu memerangkap sang gurunya di kelas sastra. Lelaki yang sudah beristri, dua puluh tahunan usianya di atas dia, bisa tak berkutik. Sang guru bisa dia perintah dengan cukup melalui kontrol remote. Awalnya sang guru tak mampu menolak setiap ia mengajak bercinta. Lama-kelamaan perempuan ini ketagihan. Ia jatuh cinta, padahal perasaan itu selalu ia tepis dari dalam hatinya. Ia bilang tiada cinta lagi dalam diriku kecuali ingin senggama. Habis-habisan bercinta.”
Penulis sangat mengerti cerita yang ditulis Isbedy fiksi belaka dan setidaknya begitu juga pemahaman para pembaca yang lain (termasuk Hudan Hidayat, jika Hudan ditempatkan sebagai pembaca awam yang melepaskan baju kepenulisannya). Namun, tidak bisa dipastikan apakah Isbedy (pada saat menulis “Perangkap”) sungguh-sungguh serius atau sekadar “iseng” ingin mewartakan sentimentalisme yang “menggebu-gebu”, yang tampak angkuh, pongah, serta sedikit arogan. Tapi, yang perlu dicatat adalah ketika Isbedy “nekat” mengirimkan naskah cerpen tersebut ke sebuah harian (apalagi harian yang terbit di Jakarta), cukup logis menyatakan cerpenis “senior” sekelas Isbedy tidak sedang bermain-main, apalagi sekadar “iseng”. Tendensi yang hendak dicapai Isbedy pada cerpennya tidak lain adalah agar Maya Wulan membacanya, para pengagum Maya membacanya, dan teman-teman Maya membacanya.
Penulis tidak seberapa pandai membaca (apalagi) menilai (menganalisis) sebuah karya sastra (dalam hal ini cerpen) dengan menggunakan perspektif dan pendekatan teoretis sebagaimana yang dilakukan kritikus sastra (meskipun hipotesis-hipotesis yang mereka rumuskan tidak jarang mematahkan mental kepenulisan seorang cerpenis pemula). Tetapi setelah membaca “Perangkap”, penulis hendak memformulasikan sebuah hipotesis sederhana; Isbedy (dalam konteks cerpen “Perangkap”) adalah cerpenis yang “nakal”, judes, cerewet, dan “pencemburu”, persis seperti janda kesepian yang terlalu banyak menonton telenovela.
*) Kolektor dan penikmat cerpen, alumnus Program Studi Ilmu Filsafat Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.