Albert Camus, Art Summit, dan Orang Hottentot

Sitok Srengenge
majalah.tempointeraktif.com

Pesta kesenian ini ternyata tidak melahirkan pencerahan. Wajar jika biaya Rp 2 miliar itu dianggap royal.
“Hidup ini tidak mudah, tetapi untunglah ada penghiburnya, yaitu agama, seni, dan cinta yang kita tumbuhkan pada diri orang lain.”

Ungkapan Albert Camus itu tertera di sampul belakang katalog Art Summit II 1998. Siapa pun yang memakai kata-kata itu–demi mengabsahkan pesta seni pertunjukan sejagat, yang melibatkan sejumlah seniman dan birokrat, di tengah kondisi serba susah yang dihadapi masyarakat–agaknya lupa bahwa Camus mempunyai wejangan lain. “Seniman tidak diminta bekerja sama dengan tiran atau sebaliknya, meninabobokan penderitaan yang terkandung dalam dirinya dan dialami banyak orang.” Kutipan itu bukan sekadar larat-larat huruf yang dicetak. Di situ juga terbaca sebuah pendirian kerja kesenian mesti bertolak. Kesenian Camus bergerak dari keberpihakan terhadap kaum yang dianiaya, sia-sia, dan hina. Bagi Camus, seniman mesti berdiri sederajat dengan orang-orang yang bekerja dan berjuang.

Art Summit hanya mengutip kata-katanya, tapi mengabaikan sikap yang melandasinya. Kesenian yang digelar bukan dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap mereka yang tak berdaya. Kegiatan itu justru didasarkan atas program?semacam proyek etalase, di mana keindahan dipatut-patut demi menutupi keadaan yang carut-marut. Aksi demonstrasi, kekurangan pangan, dan media massa yang mewartakan, dipandang sebagai penyebab munculnya citra buruk yang merugikan. Karena itu, sasaran Art Summit kali ini antara lain menepis gambaran Indonesia yang tidak normal dan mendapatkan kembali kepercayaan internasional.

Gambaran tersebut menjadi normal jika rencana pesta besar itu dibayangi rambu-rambu moral. Misalkan negeri ini sedang dalam keadaan sejahtera, kesenian tetap akan berkisar di pinggiran. Apalagi saat krisis ekonomi kian membelit begini, seni menempati urutan pertama untuk dikorbankan. Maka sebenarnya Art Summit bisa dihargai sebagai “suaka” bagi keberlangsungan seni. Namun, lantaran ia merupakan program pemerintah yang tak pernah punya kesungguhan dalam mengembangkan kesenian ditambah tujuannya adalah menutupi borok yang digaruknya sendiri, Art Summit lahir sebagai sebuah ironi yang menumbuhkan sanksi. Wajarlah jika biaya Rp 2 miliar dianggap sebagai keroyalan di tengah kesusahan rakyat.

Selain itu, pemilihan peserta juga tak dapat dikatakan obyektif. Ada sejumlah anggota Dewan Artistik ikut jadi peserta. Betapapun, hal itu kurang sesuai dengan asas kepatutan. Pada zaman sulit seperti sekarang, orang tak layak meraup semua kesempatan. Mereka harus tegas memilih–berperan sebagai Dewan Artistik atau Peserta–demi memberi peluang kepada orang lain.

Pemberian prioritas senioritas dan nama besar juga bukan keputusan bijaksana. Meski senioritas bukan masalah yang relevan di dunia kesenian, penilaian yang didasarkan atas prestasi paling menonjol selama tiga tahun terakhir tetap mengundang pertanyaan. Di bidang tari dan teater semua peserta adalah tokoh yang telah lama mapan. Di luar mereka masih ada sederet seniman yang jauh lebih produktif dan kreatif.

Yang melegakan adalah munculnya kontradiksi bahwa seluruh tema garapan peserta Indonesia seakan beroposisi dengan tema yang dirancang penyelenggara. Jika panitia mengangankan forum ini menjadi pemoles wajah bopeng kemanusiaan di negeri ini, para seniman justru berupaya menguaknya.

Gusmiati Suid bersama dengan Gumarang Sakti, melalui Api dalam Sekam, menyodorkan renungan perihal tenung kekuasaan dan pengaruhnya pada perilaku manusia. Ia menyajikan tema nafsu dan ambisi yang berlaga menikam nurani demi memperebutkan remah kekuasaan. Gerak-gerak penuh rentak dari khazanah persilatan dan latar budaya Minang itu dirangkai secara naratif dengan tradisi permainan, menghasilkan komposisi yang tragis-liris. Meski demikian, dorongan bercerita dan bermain itu menyebabkan karya Gusmiati kali ini terasa lebih encer dibandingkan dengan koreografinya terdahulu, Kabar Burung (1997), tapi terkesan lebih dinamik lantaran variasi suasananya memberi kelonggaran celah bagi perenungan.

Otoritas kekuasaan juga tampil lewat uraian verbal Rendra. Dengan repertoar Suku Naga, Rendra mengemas perangai kekuasaan yang korup dalam benturan akulturasi antara modernitas dan kemurnian alam. Pertunjukan itu merupakan “cetak ulang” pementasan 23 tahun silam, dengan sedikit tambal sulam pada kulit persoalan. Pertunjukan ini tak memiliki hal yang baru pada inti tema yang dilontarkan kedaluwarsa dan tak menemukan substansi. Selama tiga jam pementasan, drama itu hanya meruahkan khotbah. Permainan para aktor kedodoran, kecuali Adi Kurdi dan Kurto, dan dialog terasa monoton dan terperosok pada pola lisan Rendra paling mencolok pada Sawung Jabo dan semua itu berlangsung di atas tata artistik yang kering. Sungguh, pertunjukan itu tak lagi membiaskan aura vitalitas Rendra dan Bengkel Teater.

Berbeda dengan Gusmiati yang idiomik, Miroto tampil lebih transparan dengan Kembang Sampah. Ambisi Miroto untuk kontekstual mengungkap kebobrokan tata sosial menyebabkan garapannya terjebak dalam verbalisme gerak klise dan simbolisasi yang majal. Tipologi koreografi maupun elemen artistik yang dihadirkannya pasir, tonggak kayu, dan replika tengkorak mengingatkan kita pada Soloensis (1997) karya Sardono W. Kusumo. Formulasi unsur-unsur dari tradisi tari Jawa dan tari modern masih kalis, berserpih dan belum mampu menghasilkan kekentalan adonan estetik yang padu dan gurih.

Aktualisasi tentang carut-marut tata sosial juga menjadi inspirasi pementasan visual Ngeh, arahan Putu Wijaya. Sembari menafikan kata dan cerita, Putu berhasil melakukan optimalisasi permainan layar dan bayang-bayang. Dibantu tata artistik Roedjito dan musik Harry Roesli, tontonan ini mampu menebar daya pukau melalui berondongan imaji kekerasan yang berkelebat. Jika ada yang patut disayangkan, hanya 15 menit di akhir pertunjukan. Bagian itu terasa indikatif dan menjadi antiklimaks bagi ketegangan teror mental sejam sebelumnya.

Secara keseluruhan, Art Summit II 1998 belum mampu meraih pencapaian artistik seperti halnya Art Summit 1995. Kita tak lagi bisa merasakan daya sihir sebagaimana divibrasikan Sankai Juku (Jepang), Chandralekha (India), atau Ghana Dance Ensemble (Ghana), umpamanya. Yokio Waguri (Jepang) yang didamba ternyata lebih mumpuni sebagai presentator sejarah butoh daripada memainkannya. Diez Diez Danza (Spanyol), yang menarikan nomor-nomor koreografi gubahan Pedro Berdayes dan Monica Runde, terkesan lebih kitsch ketimbang Richard Alston Dance Company (Inggris).

Barangkali Bremener Tanztheater (Jerman) adalah sebuah perkecualian. Dengan memainkan koreografi arahan Susanne Linke, grup ini mengeksplorasi lembar-lembar kain secara optimal. Permainannya merupakan paduan bentuk lingkar, garis, dan bunyi yang menghadirkan suasana puitis. Koreografinya bersumber pada pinggul yang menghasilkan gerak mengigal, kecuali gerakan berjalan, dan berkembang menjadi beragam komposisi yang mencuatkan imaji dan narasi. Kendati demikian, pesonanya masih berada satu strip di bawah grup tari senegaranya, Weimarer Tanztheater.

Kini pesta itu telah usai. Tak ada lagi antrean di depan loket, riuh tepuk tangan, atau pejabat yang menyerahkan karangan bunga yang tampak konyol. Dan yang menyedihkan, tak terjadi pencerahan. Krisis belum menipis. Kepercayaan internasional tak lantas menebal. Lapar terus menjalar.

Sejak dulu mestinya kita tahu, kelaparan tak bisa dilupakan dengan hiburan. Sebab, kita bukan sekumpulan orang Hottentot seperti dikisahkan Orison Swett Marden yakni orang-orang yang mampu bertahan hidup lama dalam kemelaratan, karena punya menu istimewa berupa bubur perekat, sejenis lem untuk ditelan seraya mengetatkan ikat pinggang. Kita, barangkali, adalah bangsa yang sabar. Tapi kita juga manusia biasa yang kerap takluk menghadapi lapar.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป