Belajar Hidup kepada Sang Begawan

‘Immemorial’ Kuntowijoyo (18-9-1943 – 22-2-2005)

Bernando J. Sujibto *
lampungpost.com

SUDAH 2 tahun lebih khazanah sastra Indonesia ditinggal salah satu putra terbaiknya, yaitu almarhum Bapak Prof. Dr. Kuntowijoyo (18 September 1943–22 Februari 2005), yang telah menyumbangkan paradigma kritis tentang sastra profetik (prophetic literature), sebuah konsep sastra transendental di tengah kegersangan spiritualitas masyarakat dewasa ini. Konsep sastra profetik sejatinya akan menjadi salah satu embrio dalam sastra Indonesia dengan jalannya sendiri.

Konsep sastra profetik berpijak kepada sebuah konsep berkarya yang berlandaskan pada elan kenabian. Kunto mengutip konsep tersebut dari Alquran, yaitu surat Al Imran Ayat 110: “Kamu ialah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi umat manusia, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah”. Sastra profetik mengedepankan humanisasi (amar makruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi (tu’minuna billah) (Kuntowijowo, 1997). Hingga sekarang konsep yang digulirkan Pak Kunto, sapaan akrab Kuntowijoyo, masih ramai dibicarakan.

Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, tanggal 18 September 1943. Pendidikan formal keagamaan dijalani di madrasah ibtidaiah di Ngawonggo, Klaten, tempat menempuh SRN tahun 1950–1956. Tamat SMP 1 Klaten dan SMA 2 Solo, sebelum lulus sarjana sejarah UGM tahun 1969. Gelar MA American History diperoleh dari The University of Connecticut AS tahun 1974, dan Ph.D. ilmu sejarah dari Columbia University AS tahun 1980.

Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980), dengan disertasi “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940”.

Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah yang seniman. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman lingkungan relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja.

Kesenangannya terhadap dunia sastra dan teater berlanjut hingga semasa kuliah. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga tahun 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said.

Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiah itu. Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis ialah banyak membaca dan menulis. Kunto kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.

Ketabahan Sang Begawan

Setelah divonis menderita penyakit radang selaput otak kecil atau meningo encephalitis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total yang mengancam sejak tahun 1992, sang Begawan, meminjam sebutan Abdul Munir Mulkhan, dituntut tabah menjalani terapi gangguan saraf motorik otak tersebut. Pada tanggal 22 Februari 2005, pada usia yang ke-61, segenap kalangan masyarakat, khususnya dunia kesusastraan Indonesia, berduka atas berpulangnya putra terbaik bangsa itu akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal setelah menderita.

Ketabahan yang luar biasa ditunjukkan Pak Kunto sewaktu mengalami gangguan saraf motorik! Penyakit itu tak menghentikan karya-karya sastra, budaya, dan ilmiah sang Begawan. Justru setelah divonis penyakit berat tersebut, Pak Kunto makin gigih berjihad dan menunjukkan kreativitasnya yang semakin gemilang. Bayang-bayang umur pun menjadi penyulut yang membakar fighting spirit dalam memanfaatkan keilmuannya yang selama bertahun-tahun ditekuninya. Hasilnya pun sungguh luar biasa!

Dalam sakit panjangnya itu, Sang Begawan lebih produktif dibanding dengan teman-temannya yang sehat. Otaknya tetap bekerja normal, opininya terus mengalir menghiasi berbagai media. Novel dan cerpen Sang Begawan bahkan terus menghiasi Harian Kompas. Tahun 2001 lahir novel Mantra Pejinak Ular yang dimuat Kompas sebagai cerita bersambung.

Di samping itu, Sang Begawan juga sempat menuliskan esai panjang “Maklumat Sastra Profetik”, sebagai “maklumat akhir” dari seorang yang telah menggulirkan istilah tersebut dalam konstilasi khazanah sastra kita yang sempat menggaung sejak tahun 1997, yang dimuat beberapa bulan setelah meninggalnya Pak Kunto di Majalah Sastra Horison lengkap dengan pengantarnya yang menyatakan dirinya bertanggung jawab atas istilah sastra profetik (prophetic literature), dan esai tersebut merupakan maklumat terakhirnya yang tidak akan memancing polemik lagi dengan dirinya.

Di tengah dera penyakit itu, Pak Kunto banyak menerima penghargaan sastra dan budaya. Beberapa cerpennya meraih hadiah Kompas sebagai cerpen terbaik Kompas secara berterut-turut sejak tahun 1995/1996/1997, sehingga ada satir dari beberapa temannya, seperti diakui Pak Kunto sendiri dalam beberapa kesempatan diskusi sastra agar “berhenti dahulu” menulis cerpen di Kompas.

Hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta diraih untuk naskah drama “Topeng Kayu” (tahun 1973). Penghargaan ASEAN Award on Culture diterima tahun 1997, selain penghargaan SEA Write Award dari Pemerintah Thailand tahun 1999. Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya adalah penghargaan sastra dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), ASEAN (1997), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001).

Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku tahun 1972. Naskah dramanya berjudul “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968) dan “Topeng Kayu” (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalancana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan FEA Right Award Thailand (1999).

Dewasa ini, semua jejak dan peninggalan Pak Kunto yang tak terhingga itu harus kita jaga sebagai sebuah tafsir yang kritis terhadap dinamika peradaban. Sastra profetik yang telah ditinggalkannya hingga kini akan tetap mewarnai dan menjadi elan dalam khazanah sastra kita.
***

*) Penyair dan esais, bergiat di Komunitas KUTUB dan Eska Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป