Dari “Teen Lit”, Kemasan Cantik hingga Banjir Karya

Catatan Akhir Tahun Sastra Indonesia 2005

Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id

Menangkap angin perubahan masyarakat pembaca yang global dan variatif, tampaknya telah dijawab oleh para sastrawan, apalagi di Indonesia. Beberapa sastrawan telah berhasil membaca semangat di jalur konvensional ini, setidaknya berdamai dengan keinginan para pembacanya.

Kiriman trend chicklit dan teenlit yang dianggap bagian dari sastra, sebagai fase lampau di Inggris yang mewabah beberapa tahun ini di Indonesia, menjawab keinginan para makhluk metropolitan dan megapolitan. Lelaki atau perempuan karier yang lajang, yang butuh informasi tak memusingkan, mendapatkan jawaban dari munculnya karya yang telah dianggap sebagai bagian dari genre sastra.

Dengan obyek yang diidolakan dari perempuan karier hingga lelaki dan perempuan modis, kemasan cover yang manis dari pink, biru muda, telah menjadi konsep beberapa penerbit saat melahirkan karya-karya yang dengan cepat menerobos keinginan masyarakat pembaca. Lihat saja Kiss Me Again karya Ciu Cahyono, Just Looking for Daniel karya Ita Sr.

Fenomena lain, terlalu banyak tangan-tangan pembeli lajang, atau tua tapi muda semangatnya, telah menggapai beberapa buku yang bertumpuk di rak toko buku untuk buku jenis genre ini. Beberapa penulis dan penerbit bahkan telah memodulasinya, dari chicklit ala Indonesia hingga chicklit yang bernuansa spiritual.

Jenis buku lain yang “laku” adalah karya yang menyembulkan unsur eksotis dan seksis dalam karya-karyanya. Beberapa penulis, sekali pun karyanya tetap bisa dipertanggungjawabkan kesusasteraannya, atau konsepnya tentang gender dan feminisme, tetap membubuhkan persoalan seks dalam karya sastra, ada dan nyata di tengah masyarakat. Sebuah semangat serupa One Night Stand nya Rosa Liksom yang belum tentu cemerlang ketika dilahirkan oleh penulis-penulis Indonesia, telah dilahirkan dan beredar di jagat penulisan dan perbukuan sastrawan Indonesia.

Namun, hal yang menggembirakan, buku yang sedang beredar saat ini sedang melonjak pesat, bahkan beberapa sastrawan tak hanya menerbitkan satu-dua buku saja. Sedikit disebutkan disini beberapa antologi puisi yang terbit dari para penyair seperti Rieke Dyah Pitaloka, Tan Lio Ie, Raudal Tanjung Banua, Soni Farid Maulana. Kumpulan cerpen seperti Pipiet Senja, Gola Gong, Putu Fajar Arcana.

Sedangkan novel antara lain Seulanga-Gelora Cinta di Tengah Perjuangan Aceh Riati MK, Imperia Akmal Nasery, Maling Republik Sunaryono Basuki KS, Penantian Perempuan Aguk Irawan, Lalluba Nukilla Amal, Tuan dan Nona Kosong Hudan Hidayat-Mariana Amiruddin, Incest I Wayan Artika, Dari Fontenay ke Magallianes Nh. Dini.

Ada juga beberapa kumpulan puisi sebagai respon sosial misalnya pada awal tahun, pasca peristiwa Tsunami, beberapa antologi merespon bencana alam yang terjadi seperti puisi Mahaduka Aceh, Duka Aceh, luka kita : kumpulan puisi penyair Indonesia mengenang bencana tsunami dan tragedi Aceh, Duka Atjeh Duka Bersama atau buku untuk merespon aktivis Munir yaitu Nubuat Labirin Luka untuk Munir. Selain itu, novel-cerpen terjemahan pun semakin marak di dunia perbukuan.

Intan yang Abadi?

Di tengah ingatan wacana tentang karya realisme sosial Maxim Gorky-Anton Chekov-Leo Tolstoy-Pramoedya Ananta Toer, realisme magis Gabriella Garcia Marquez, imajinasi Franz Kafka, humanisme Ernest Hemingway, eksistensialisme Albert Camus dan Iwan Simatupang, detailitas John Steinbeck, dimanakah posisi masyarakat global, terutama masyarakat penulis dan pembaca sastra Indonesia?

Menarik ketika melihat fenomena novel Da Vinci Codenya Dan Brown, atau The Alchemist-nya Paulo Cuelho hingga kebanalan JD Salinger dalam The Catcher in The Rey, bisa hadir dalam dunia terjemahan sastra dan dipresentasikan di publik Indonesia. Seperti kekuatan puitik sekaligus romantisme-spiritual Khalil Gibran yang pernah mewabah selama sepuluh tahun di Indonesia, karya novelis asing itu nyatanya tetap dicicipi dengan nikmat oleh para pembaca Indonesia. Buktinya, tiga novel di atas, masuk dalam urutan “best-seller” di toko-toko buku terkenal di Indonesia!

Ada nafas lain dari dunia kesusasteraan dan berpotensi jadi ramuan dan menu menarik buat pembaca Indonesia. Di tengah kontroversi karya Tuhan Ijinkan Aku Jadi Seorang Pelacur, atau Adam Hawa-nya Muhidin M. Dahlan, barangkali tema spiritual penulis kontroversial itu agak berbeda dan tak tepat sasaran. Tapi, tampaknya tema New Age atau penjelajahan spiritualitas mengangkat isu humanis tetap menjadi perhatian buat pembaca sastra Indonesia.

Apakah ini tema lain yang dapat menyerap perhatian pembaca sastra di Indonesia? Ataukah tema sosial “neo-Pramis” yang mengangkat isu sosial dan aktual tetap menarik perhatian? Ataukah penonjolan unsur spiritualitas bahkan religi, jadi stimulan buat menggiring pembaca yang fanatik. Atau keanehan karya baik pada teks, tema kontroversial justru yang memancing kegairahan para pembaca sastra?

Walaupun, karya sastra yang baik serupa intan yang abadi di tengah perubahan sejarah dan zaman, mengharuskan faktor di atas menyatu dengan syarat kekuatan diksi dan kisah dalam karya novel. Syarat lain berupa kekuatan teknis gramatika, editing, alur bahkan tema jadi syarat sangat penting buat dinamika sastra yang tetap “sehat”.

Beberapa penulis sastra tetap bertahan dengan prinsip ini. Tapi seperti yang dikatakan oleh Gabriella Garcia Marquez alias Gabito bahwa ?si pemabuk yang sendirian akan diterkam kesunyian?, seorang penulis punya pergulatan atas karya yang diciptakannya, atas kawan berdiskusinya, atas peminat yang membaca bukunya.

Banjirnya buku-buku, dengan beberapa syarat untuk menggoda pembeli dan pembaca menandakan bahwa penerbit tetap antusias pada pembaca sastra dan pembeli buku cair dan massal. Terkadang beberapa penerbit telah punya visi dan misi khusus, dari masalah sosial-politik, gender hingga tema seks. Bahkan terkadang, memilih pikatan cover, atau gempuran publikasi media yang memadai. Di tengah minat publik yang tetap misteri dalam gairah membaca.

Maka, dirayakanlah berbagai fenomena sastra tadi, sebagai pertimbangan di jagat perbukuan dan kepenulisan. Suka atau tak suka, inilah zaman perubahan. Seolah ada suara zaman yang berkata kepada penulis Indonesia, mari pertanyakanlah hal di luar wacana sastra Wiratmo Soekito, Basoeki Resobowo, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer atau Rendra. Mari kita membuat sintesa setiap tahunnya, antara pergulatan wacana dan proses kreatif kita, dengan sebuah keadaan tak bisa dihindari yang bernama pasar!
***

One Reply to “Dari “Teen Lit”, Kemasan Cantik hingga Banjir Karya”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *