Demokrasi, Sebuah Perdebatan Panjang

Moh. Shofan*
http://www.jawapos.com/

Dalam praktiknya, demokrasi lebih sering berhenti dalam ”pelembagaan formal” dan belum hadir dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi hanya tumbuh dan berkembang dalam tataran ideal (das sollen) belum mewujud dalam tataran realitas. Melihat betapa korupnya para anggota DPR, tak jelasnya lagi alasan hidup partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi, membuat Goenawan Mohamad (GM) sempat berpikir bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya. Pernyataan Albert Camus, yang amat terkenal, ”All that was is no more, all that will be is not yet, and all that is not sufficient”, kiranya sangat relevan untuk menggambarkan kondisi bangsa saat ini.

Memang, demokrasi bukanlah sistem ideal untuk mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem yang ada, demokrasi yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistematik. Dalam buku ini, GM dalam tulisannya berjudul Demokrasi dan Disilusi, yang kemudian ditanggapi oleh para koleganya –R. William Liddle, Rocky Gerung, Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi– masih menaruh harapan pada demokrasi. Ia mengatakan bahwa satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan (la politique). Sebab yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal-usul untuk menang. Jalan yang akan ditempuh pun memerlukan keluwesan untuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan atau justru melawan perundang-undangan, baik melalui partai maupun melawan partai.

Tentu saja kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam demokrasi, sejatinya dilakukan dengan antusias dan lapang dada, karena bangsa kita masih dalam tahap belajar berdemokrasi, seperti dikatakan Samsu Rizal Panggabean (hlm. 29). Masyarakat demokrasi, dalam dirinya menyimpan kemungkinan totalitarianisme di dalam struktur politiknya. Karena dalam demokrasi segalanya dipercakapkan di ruang publik. Demokrasi sebagai sikap hidup yang menghendaki adanya kemungkinan alternatif pilihan-pilihan yang cukup banyak menuntut suasana yang memung?kinkan orang untuk tidak melihat sesuatu sebagai serba-sempurna. Karenanya, perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak pernah bertemu. Sebab perfeksionisme mengimplikasikan pandangan yang serba-mutlak, dan demokrasi menuntut adanya pandangan kenisbian sampai batas yang cukup jauh.

Di sisi lain, demokrasi adalah sebuah kenyataan yang bersifat universal, namun dalam rincian dan pelaksanaannya, juga dalam institusinya yang menyangkut masalah struktural dan prosedural tertentu, terdapat variasi yang cukup besar antara berbagai negara demokrasi. Hampir semua bangsa yang mempraktikkannya mempunyai pandangan, pengertian, dan cara-cara pelaksanaannya sendiri yang khas. Selain tuntutan kekhususan budaya yang bersangkutan, hal itu juga karena perbedaan tingkat perkembangan atau kemajuan sebuah bangsa di bidang-bidang lain, seperti ekonomi dan pendidikan. Maka, dengan alasan kenyataan itu, demokrasi bukan suatu sistem sosial politik dengan konsep yang tunggal. Karena itu bangsa Indonesia dapat dibe?narkan untuk mem?punyai pengertian dan cara pelaksanaan sendiri tentang demokrasi.

Belajar dari berbagai negara tersebut, yang terpenting adalah seperti dikatakan Ihsan Ali Fauzi (hlm. 65): menelusuri sejauh mana dan bagaimana perbedaan itu, dan bagaimana mempersempit jaraknya, dalam rangka memperkokoh dan menambah gizi demokrasi kita.

Demokrasi juga dapat diimbangi dengan usaha perbaikan sambil berjalan, melalui improvisasi berdasarkan pengalaman-pengalaman nyata. Sebab kekuatan demokrasi adalah ketika ia merupakan sebuah sistem yang mampu, melalui dinamika intern-nya sendiri, untuk mengadakan kritik ke dalam dan perbaikan-perbaikannya, berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesempatan untuk bereksperimen.

Persoalan?nya, seberapa jauh unsur-unsur perkembangan positif itu dapat didorong dan ditumbuhkan ke arah yang terus lebih baik, dan bagaimana agar tidak membentur dinding-dinding kultur politik ”asli” yang tidak kondusif bagi pandangan-pandangan yang lebih kosmopolit, terbuka, dan berwawasan masa depan. Kalau benturan ini terjadi atau sengaja diarahkan ke sana oleh orang atau kelompok dengan vested interest-nya yang terancam, maka optimisme tersebut berbalik menjadi pesimisme dan bertentangan dengan akal sehat. Dengan begitu tesis GM yang mengatakan bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya, tak terbantahkan.

Buku ini memuat perdebatan yang mutakhir, substantif, dan kredibel tentang mengapa kita kecewa terhadap demokrasi dan mengapa pula kita bisa dan harus tetap berharap kepadanya. Dilengkapi komentar balik Goenawan, buku ini sangat menggugah kesadaran kita bahwa demokrasi lebih baik daripada sekadar tatanan pemerintahan. Ia harus dipandang sebagai salah satu hasil akhir yang bersifat formal dan struktural. (*)


*) Peneliti Muda Yayasan Paramadina Jakarta
Judu l: Demokrasi dan Kekecewaan
Penulis : Goenawan Mohamad dkk.
Penyunting : Ihsan Ali-Fauzi & Samsu Rizal Panggabean
Penerbit : Pusat Studi Agama dan Demokrasi dan Yayasan Paramadina
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xvi + 100 halaman

Leave a Reply

Bahasa ยป