Judul Buku : Indonesia’s Population, Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape
Penulis : Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta
Tebal : xxv + 193 halaman
Peresinsi: M Baiquni
http://www2.kompas.com/
SETELAH lebih dari 70 tahun informasi mengenai komposisi etnis penduduk Indonesia selalu tersembunyi, barulah pada Sensus Penduduk Tahun 2000 dijaring data mengenai etnis. Analisis mengenai data etnis ini sekarang dapat dicermati melalui buku berjudul Indonesia?s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape yang ditulis oleh Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, dan Aris Ananta, diterbitkan oleh ISEAS Singapura, 2003.
BUKU ini menarik karena menyajikan data yang kompleks dan komplet menjadi mudah dibaca dengan berbagai teknik presentasi dalam bentuk tabel, piramida penduduk, piegraph dan bargraph, serta tampilan grafisnya. Penyajian secara tematis dan sistematis isi buku dimulai dengan mengupas perubahan penduduk dan komposisi etnis (Bab 1); diikuti dengan deskripsi sebelas kelompok besar etnis yang dilihat dalam perspektif geografis (Bab 2); kajian khusus mengenai etnis Cina yang unik (Bab 3); kajian lima agama dalam perspektif masyarakat multiagama (Bab 4); dilanjutkan dengan pembahasan sejumlah provinsi dari sudut pandang homogenitas dan pluralitas (Bab 5); diakhiri dengan kajian kependudukan dan perilaku politik (Bab 6) yang menarik bagi para pengamat dan pelaku politik yang akan berlaga pada Pemilu 2004.
Gavin Jones dari the Australian National University memberikan komentar buku ini merupakan a valuable pioneering study berbasis data sensus penduduk yang jarang dilakukan setelah rentang waktu 70 tahun. Pada awalnya, data penduduk dengan latar belakang etnis secara komprehensif tercatat pada tahun 1930 di bawah Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, penjaringan data etnis tidak dilanjutkan pada sensus penduduk (SP) yang dilakukan secara berturut-turut tahun 1961 pada masa Orde Lama dan 1971, 1980, serta 1990 pada masa Orde Baru.
Banyak ahli demografi dan sosial yang ingin menganalisis data etnis terpaksa hanya dapat menggunakan data tidak langsung seperti agama dan bahasa yang digunakan serta pendekatan geografis mengenai daerah asal atau tempat lahir. Pertanyaan yang menarik adalah mengapa data etnis seperti disembunyikan atau dianggap tabu dan bagaimana kita membaca perubahan yang terjadi selama 70 tahun tersebut?
FENOMENA kependudukan di negara kepulauan Indonesia tidak henti-hentinya menjadi kajian yang menarik. Selain jumlahnya yang menempati urutan keempat terbesar di dunia setelah Cina, India, dan USA, yang tercatat 205,8 juta jiwa pada tahun 2000; juga keragaman etnis yang tidak kurang dari 1.072 etnis dan subetnis tersebar di wilayah kepulauan. Sebagian besar kelompok etnis jumlahnya kecil, hanya 15 kelompok etnis yang memiliki anggota di atas satu juta jiwa. Etnis Jawa yang berjumlah 83,8 juta jiwa atau 41,71 persen mendominasi jumlah dan tersebar distribusinya. Etnis Sunda berjumlah 30,9 juta dikelompokkan tersendiri, demikian pula dengan etnis Betawi dan Banten yang sebagian besar menempati Pulau Jawa. Etnis besar lainnya yang dikaji dalam buku ini adalah Melayu, Madura, Batak, Minangkabau, Bugis, Banjar, dan Bali.
Keinginan Soekarno membangun bangsa Indonesia dalam bingkai nasionalisme yang kokoh, sedikit banyak telah mengabaikan dinamika etnis yang beragam karakternya. Terbukti, dalam proses membangun bangsa terjadi berbagai gejolak serta pemberontakan kedaerahan dan keagamaan, akibat dari tidak terakomodasi secara layak dan bermartabat identitas lokal yang beragam pada khazanah persatuan nasional yang tercermin dalam Bhinneka Tunggal Ika. Selama era Soeharto, dinamika etnis dan pembangunan budaya malah terabaikan dalam gegap gempita pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Sentralisasi kekuasaan dan monokulturisasi atau penyeragaman berbagai ekspresi budaya dan realitas sosial terus berlangsung dalam waktu yang lama. Kebijakan topdown dan implementasi program pembangunan yang seragam telah menggusur keragaman daya hayat dan kemandirian setiap suku bangsa yang mengemban budaya dan kearifan tradisinya.
Dalam percaturan politik formal, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi isu yang sensitif dan dikesankan tabu untuk diungkapkan. Berbagai persoalan diskriminasi rasial, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, maupun marjinalisasi dan konflik bernuansa etnis terjadi di berbagai kasus. Sayangnya, masalah tersebut jarang dapat dipecahkan secara proporsional maupun struktural sehingga dalam kurun waktu yang lama terus terjadi penumpukan dan terjadi ledakan dahsyat setiap pergantian kepemimpinan nasional. Tidaklah mengherankan selama puluhan tahun di bawah bayang-bayang ketakutan mempelajari asal-muasal dan jati diri sendiri, pemahaman kita mengenai hal ini tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Kerusuhan Mei 1998, berbagai konflik bernuansa etnis di Kalimantan maupun konflik bernuansa agama di Maluku merupakan cerminan bahwa terdapat perubahan dinamika yang begitu besar yang tidak mampu dikelola dengan baik. Konflik tersebut awalnya merupakan benturan-benturan kepentingan antarkelompok kecil yang memercikkan api kemudian semakin meluas di tengah-tengah persoalan kesenjangan, kemiskinan, dan pengangguran yang merembet ke masyarakat luas dengan mengobarkan sentimen etnis dan agama.
Pemahaman kita yang serampangan dan sembarangan mengenai dinamika etnis dan agama telah menyebabkan kesalahpahaman, terutama ketika terjadi masa transisi kepemimpinan. Hingga kini, setiap proses pergantian kepemimpinan nasional, pasti ada benturan sosial dan kekerasan hingga darah tumpah sia-sia. Kita harus bekerja keras dan belajar dengan cerdas bagaimana melakukan estafet kepemimpinan dengan cara yang beradab.
Bagaimanapun memahami komposisi dan dinamika etnis dan kehidupan para pemeluk agama dalam masyarakat majemuk merupakan prasyarat untuk membangun kembali Indonesia. Oleh karena itu, para pemimpin wajib memahami seluk- beluk penduduk dan karakteristik wilayah kepulauan yang melahirkan keragaman etnis dan budayanya. Para calon presiden dan politisi melalui partai politiknya sudah sepatutnya memperhitungkan secara matang kesiapan mereka. Buku ini penting untuk menjadi patokan perhitungan yang didasarkan pada angka-angka demografi, khususnya menyangkut keragaman etnis dan agama sebagai determinan penting dalam lanskap politik Indonesia.
*) Geograf dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.