http://www.lampungpost.com/
Sebab Kisah Telah Digariskan
jangan meratap
sebab kisah telah digariskan sang kuasa
tanah kenangan hanya menyimpan sejarah
lampau, adalah waktu di mana kau
berlarilari kecil
mengejar tukang es kuncang
duduk rapi di serambi
menonton randai puti amban
ingatkah, ketika tangismu melunjak
mata beningmu mengiringi langkah kukuh sang mamak
ia pergi tanpa bercerita
ia pergi tanpa memberi warta padamu
berbilang tahun
kau pun mengikuti kata hati
merantau, meninggalkan ibu yang seorang
mengalungkan rindu di leher jenjang
“upik, denai pergi ke seberang pulau
mencari jejak mamak
jaga bunda dan lepau di samping rumah”
pesanmu pada adik yang beranjak akil balig
jangan meratap
sebab kisah telah digariskan sang kuasa
alur hidup tengah dianyam runyam
kau, kini berjalan tak tentu arah
menggapai sesuatu yang tak tuntas
merutuki hidup yang tak jera
inikah negeri yang didatangi mamak
begitu ramai dan sesak
mengingatkan pada bapak yang tak pernah dijumpa
ya, tibatiba kau sadar
sejak kapan kepergian membawa kisah duka
sampai kini jenjang rumah tak pernah disapa bapak
melanjau
menjumbai
mengaitkan segala harapan yang tak kunjung datang
bertahanlah di rantau, hanya itu pesan ibu yang kau ingat
galado lancang menerjang pancang
berita itu kau baca di koran
rumahrumah tak bersisa
surausurau tak lagi bersuara
dan kau resah mengingat lepau di samping rumah
tak ada tangis yang terurai
ketika sebuah fakta kau dengar
maka lanjutkan hidup di rantau
dan kau melupakan kisah di punggung gunung
sarasah di hulu manikam
masa silam yang selalu kau rindukan
jangan meratap
sebab kisah telah digariskan sang kuasa
jalan lapang menyuguh di depan mata
kota telah menjadikan tubuhmu batu
perjumpaan dengan mamak tak lagi diharap
tak ada daya
sebab negeri orang bertabiat lain
tak serupa khayalanmu
hingga petaka di musim gasal
mengantarkan resah yang melipat
kampung di seberang pulau patah
goncangan itu menyisakan isak
matamu cermat di depan televisi
suarasuara itu kabarkan puluhan korban
suarasuara itu sampaikan gelisah tak karuan
ternyata indramu tak membatu
hatimu bergetar ketika kotak televisi mengajak pulang
ajakan yang memilukan
“oih, rang rantau, pulanglah, caliaklah,
kampung kito, alah rato jo tanah”
SudutBumi, 2007
Perempuan Pemetik Teh
iringiringan perempuan memecah pagi sunyi
langkah tanpa alas kaki mengawali keras kehidupan
di punggungpunggung mereka melekat kantungkantung
capingcaping menyembunyikan wajah mereka dalamdalam
di seterik matahari
tangantangan gemulai memetik pucukpucuk kerinduan
mengemasi semua daundaun teh muda
memenuhi tanggung jawab pemilik hari
semua usai di lelah senja
melepaskan capingcaping geriapkan harapan hari esok
meracik setiap lembarlembar kedukaan
memintal khas aroma pagi
SudutBumi, 2005
Himpunan Imaji
akhirnya langkahku terhenti di sebuah mal
gedung berlantai banyak yang mengakumulasikan bilangan imajiner
aku mulai menghitung banyaknya wajah dan mencari koordinatmu
satu minggu habis dihimpun waktu
aku dan kamu menaksir jarak dalam sebuah ruang
setidaknya segenggam rindu akan ditransformasikan
dan kupastikan titik singgung itu begitu indah
ingatkah kau pada peristiwa setahun lampau
ketika masingmasing dari kita bersikukuh menggenapkan janji
mengikat pertemuan, agar kita mampu melarutkan rindu
ingatkah kau?
sebab saat ini semua itu bernegasi
di mal yang sama, enam bulan yang lalu
kita sempat merumuskan sebuah deret angka
?aku ingin deret angka rahasia menjadi pin dalam kartu debitku?
dan kau hanya tertawa melihat aku mengurutkan angkaangka, deret fibonacci
lambang bilangan yang menyimbolkan hari jadi kita
satu jam berlalu
dan aku masih mencari koordinatmu
mengirangira kau akan muncul dari sudut mana
aku pun menjadi ragu akan kehadiranmu
sebab rindu yang berbunga di hatiku
hanya tersemai di ruang imaji
SudutBumi, Mei 2008
Belantara Praduga Tentang Dirimu
buat Wa Ode Wulan Ratna
diamdiam kau memeram senyum di sungging pagi
mengerjapkan mata karena resah menanti kekasih
merindui jelaga yang hadir dikecam belantara praduga
matamata itu mengajakmu berdamai dengan kantuk
ceracau di tengah suasana kalut mesinmesin ibukota
jalanan sunyi memasungkan dirimu dalam area tak bernama
tak ada yang tahu,
ketika kau jatuh luruh bersama angin musim hujan
melarungkan perjalanan dari kota ke kota
melukiskan kesedihan anakanak ayam tanpa induk
tak ada yang mengerti,
saat kau melampaui waktuwaktu maya
bersenggama dengan gelisah, rimbarimba pencakar langit
tanahtanah koyak di selepas pijakkan
tibatiba kau dicengkram hangat tubuh penaripenari jalanan
lindap pegunungan memamah masa
senandung mengawali cerita tentang nama
keratonkeraton dengan prasasti tak berarti
titimangsa tiada guna
semua membalut tubuhtubuh luka
likat, melekat, dalam sejarah tak tercatat
mencari awal dan akhir perjalanan bersama kekasih
tak ada sesiapa
hanya gulungan ombak menyeret sebuah praduga
di belantara doadoa penghantar bumi yang bertambah tua
SudutBumi, 2006
Ketika Kunangkunang Menyerbu Mataku
sebuah perjalanan mengantarkan aku pada lembah bisu lembah kunangkunang
pendar cahaya tercipta begitu saja ketika angin menawan tubuh dalam gigil
malam gasal selalu membawa aroma tubuhmu melindap di antara pohonan
lingkar tahun itu telah sesatkan sebuah jejak di batangbatang penuh kemilau
masih kuingat peristiwa kala itu ketika laju kendara melayang di batas langit
memecah arakan gemawan menyublimkan pandangan di wilayah tak berjarak
begitu lekat tatap matamu menghunjam bumi purba memecah kelu semesta
tiang penyangga hadir bertumbuhan di sela gerimis hantarkan aroma apel
kepak sayapsayap hadirkan gundah di puncak malam sirnakan giris yang kelam
setiap kelok jalan siratkan gelisah menghitung sisa usia genapkan sebuah rasa
begitu saja mata terpejam merasakan amuk cahaya letup di setiap singgahnya
jangan pandangi lembah itu lembah kunangkunang telah membunuh setiap raga
cuaca tak bersahabat semua lebam dimamah duka musim diam tak berubah
kilau itu terus saja memaku setiap ingatan di retina membinarkan sebuah duka
lari! hingga sinar itu lenyap di lengkung pagi dan sejarah melupa wajahmu
SudutBumi, 2006