Damhuri Muhammad
http://www.suarakarya-online.com/
Semiotisasi tubuh dalam teks sastra erat kaitannya dengan semesta ketubuhan di dalam wacana postmodernisme, yang menggiring diksi tentang tubuh berkembang ke arah yang melampaui (hyper) batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu dan agama.
Selain itu, vulgaritas “bahasa” sebagaimana ditemukan di dalam Jangan Main-main dengan Kelaminmu (Djenar Maesa Ayu), Wajah Sebuah Vagina (Naning Pranoto) dan Kuda Ranjang (kumpulan puisi Binhad Nurrohmat) -untuk menyebut beberapa contoh-, seperti disinyalir oleh Yasraf Amir Piliang (2002), tidak terlepas dari pengaruh perkembangan kapitalisme (sebagai ideologi ekonomi) yang cenderung bergerak ke arah libidonomics, yaitu sistem ekonomi yang di dalamnya terjadi eksplorasi secara ekstrem segala potensi libido sebagai komoditi, dalam rangka meraih keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme memperlakukan tubuh dan segala potensi libidonya sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi.
Narasi “kelamin” dapat menjerumuskan karya sastra pada sifat “vulgaritas bahasa” yang berakibat pada pendangkalan nilai-nilai estetik. Dalam wacana postmodernisme, salah satu bentuk vulgaritas dan pendangkalan nilai-nilai estetik adalah Kitsch. Semacam peristilahan untuk karya kepenulisan kreatif yang dianggap sebagai bentuk bad taste (selera rendah) atau “sampah” artistik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya standar estetik yang digunakan, sehingga yang menonjol bukan nilai estetik, tetapi nilai provokasi (erotisme, sensualitas, seksualitas). Sikap ekstrem Taufik Ismail yang menganggap “sastra berahi” sangat menjijikkan dan tidak patut dinilai sebagai karya sastra (Ermina. K, Suara Karya,14/03/04), mungkin dilatarbelakangi oleh pemahamannya terhadap fenomena Kitsch di atas. Begitu pun kecemasan Medy Loekito (Republika, 14/11/04), bahwa meskipun tidak trend “sastra seksual” belum menampakkan suatu kepanikan, namun beberapa rekan pendidik sempat mempertanyakan ; “Konon kata sastrawan, bangsa ini rabun sastra, jadi guru harus aktif mengobati rabun itu supaya tidak menjadi kebutaan. Sekarang setelah kami mencanangkan giat membaca bagi semua murid, eh lha kok bacaan yang disediakan yang kurang mendidik.”.
Para pendiri Mazhab Frankfurt (Frankfurter Schule) seperti Max Horkheimer, T.W.Adorno dan W.F Haug menegaskan, sensualitas dan nafsu rendah telah menjadi bagian utama dari “industri budaya” (culture industry), yaitu kebudayaan yang berproduksi di dalam lingkaran sensualitas. (Haug : 1983). Penggunaan efek-efek sensualitas merupakan bagian dari penciptaan ilusi, manipulasi sebagai cara untuk mendominasi selera kultural masyarakat, sebagai sebuah kendaraan dalam menciptakan keterpesonaan dan histeria. Dalam konteks ini, Haug menggunakan istilah “teknokrasi sensualitas” (technocrazy of sensuality), untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai estetika ditopengi oleh nilai-nilai sensualitas, glamour dan erotisme.
Postmodernisme dekonstruktif sangat berperan di dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat. Foucault, Lyotard, dan Derrida menawarkan logika emancipation of body (pembebasan tubuh) dan liberation of desire (pembebasan hasrat) dari berbagai kekangan dan pembatasannya. Mereka mengembangkan wacana tubuh dan hasrat yang baru untuk mendobrak berbagai benteng, tembok dan tapal batas yang selama ini membatasi artikulasi dan pelepasan hasrat. Menghancurkan berbagai bentuk kekuasaan, baik kekuasaan dalam keluarga, negara, maupun agama. Menentang otoritas atau hegemoni yang selama ini membatasi eksploitasi tubuh.
Foucault di dalam The History of Sexuality ; an Introduction (1978) menjelaskan dua bentuk kekuasaan yang berperan di dalam wacana ketubuhan. Pertama, kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak tanduk, mengadakan pembatasan, pelarangan dan pengendalian terhadap tubuh (hukum, tabu dan undang-undang). Kedua, kekuasaan yang memancar dari dalam tubuh, yaitu berupa hasrat dan potensi libidonya. Kekuasaan dari dalam tubuh ini harus menantang kekuasaan atas tubuh, melalui sebuah “revolusi tubuh” sehingga tercipta ruang bagi perkembangbiakan (proliferation) dan pelipatgandaan (multiplicity) diskursus seksual yang terbebas dari dominasi kekuasaan.
Revolusi tubuh dalam rangka pembebasannya dari etos ketertindasan atas dominasi kekuasaan norma-norma, tabu, hukum dan undang-undang membutuhkan muara bagi pelepasannya. Kapitalisme (melalui budaya komoditinya) adalah muara utama bagi pelepasan hasrat yang tersumbat itu, sehingga memberi peluang kepada setiap orang untuk menggali setiap potensi hasrat dan energi libidonya sebagai komoditi. Sinyalemen ini dikuatkan oleh pemikiran J.F Lyotard di dalam Libidinal Economy (1993), bahwa kapitalisme telah mengalami transformasi ke arah kecenderungan baru yang disebut dengan “libido ekonomi” (libidinal economy), yang di dalamnya diciptakan ruang bagi pelepasan hasrat, sehingga setiap orang harus dapat mengeksplorasi dan memasarkan setiap rangsangan libido untuk memperoleh keuntungan yang maksimal.
Maka, betis yang tersingkap, pusar yang sengaja dipertontonkan atau paha yang dipamerkan tidak dianggap sebagai bentuk degradasi moral, melainkan sebuah bentuk nilai jual dan currency. Karena itu, Lyotard berpendapat, kebudayaan harus bersifat afirmatif (affirmatif) dan permisif (permissive), sehingga dengan cara demikianlah manusia dapat meraih kesenangan dan jouissance yang memadai. Ironisnya, dalam lingkaran ketelanjangan kata, frase dan kalimat yang “meresahkan” itu, masih ada penulis dan penggiat sastra yang “memekikkan” pembelaan, bahwa karya-karya yang mengumbar berahi jangan hanya dihujat, tapi juga perlu diaparesiasi, bahkan ada yang mengumandangkan sebuah “teriakan apologetik”, bahwa berahi juga menyuarakan sebuah ideologi. Ideologi apa?.
Ketika berahi sudah kehilangan nilai tukar, atau sudah tidak layak jual (marketable) lagi, tentu para penyair, cerpenis dan novelis akan berhenti mengekploitasi seks di dalam karya-karya mereka. Ya, tentu mereka akan beralih mencari “lahan baru” yang lebih punya “nilai jual”. Bantahan, dan pembelaan-pembelaan tak berdasar dari para perumus “sastra telanjang” itu, alih-alih dapat memperlihatkan idealisme dan konsistensi mereka untuk terus melahirkan karya-karya yang “berlumur” berahi, justru yang terbaca adalah corak kepengarangan yang “menghamba” pada model estetika “tak bermalu”.
* Depok, 110405