Belajar ke Madurodam

D. Zawawi Imron
jawapos.com

Siapa yang tidak kenal Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta? Di TMII hampir semua bentuk rumah tradisional dari seluruh provinsi di Nusantara ada, dalam ukuran yang sama dengan aslinya. Rumah tongkonan Toraja yang ada di anjungan Sulawesi Selatan sama besarnya dengan tongkonan yang ada di Ketek Kesu, Tana Toraja.

TMII berbeda dengan taman mini di Belanda yang terkenal dengan nama ”Madurodam”. Di sana bangunan-bangunannya sengaja dibuat kecil, dengan skala 1 : 25. Jadi, replika gedung-gedung bersejarah negeri Belanda yang ada di kompleks taman itu tingginya hanya sekitar satu meter. Sebuah taman mini yang isinya benar-benar miniatur. Orang-orang yang berkunjung tidak bisa masuk ke setiap bangunan itu dan hanya melihat dari luar saja. Tetapi, materi yang dihidangkan sangat menarik.

Contohnya, pada miniatur Gereja Sin Jan Bacilica yang aslinya terdapat di Den Haag. Kalau kita memasukkan koin, maka keluarlah dari miniatur gereja itu puluhan orang-orangan sebesar bolpoin berkeliling gereja dengan diiringi lagu-lagu rohani. Ada lebih dari seratus bangunan bersejarah di Negeri Kincir Angin itu yang miniaturnya dibuat di area taman mini seluas dua hektare tersebut.

Taman mini yang terletak di dekat Den Haag itu benar-benar menjadi tempat rekreasi yang menarik. Setiap tahun dikunjungi sekitar satu juta orang dari berbagai negara. Kompleks itu disebut Madurodam (Taman Maduro) karena perancangnya bernama George Maduro. Dia berasal dari Curacao, Kepulauan Karabia, di dekat Kuba. Ia membuat taman itu untuk menghormati anaknya, seorang anggota tentara Kerajaan Belanda berpangkat letnan muda yang mati dalam tahanan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Itulah bentuk rasa sayang orang tua kepada anaknya yang gugur saat berjuang.

Taman Madurodam merupakan upaya untuk mengabadikan nilai-nilai kepahlawanan seseorang. Sejenis taman pahlawan yang tidak sekadar dikunjungi pada setiap peringatan Hari Pahlawan atau hari bersejarah lainnya (paling-paling setahun hanya lima kali dikunjungi). Mungkin ada sebagian pengunjung yang hanya melihat-lihat taman itu dan tidak mempunyai rasa haus historis, serta tidak perlu merasa tahu untuk apa taman itu dibangun. Tetapi, bagi orang-orang yang tahu makna ”hero”, pasti akan menelusuri sampai ke akar-akarnya, tentang martir dan pengorbanan yang tidak sia-sia.

Secara hakikat, prakarsa pendirian Madurodam itu merupakan wujud kerinduan akan keabadian. Kebaikan memang indah untuk dikenang, diteladani, dan dikekalkan dalam bentuk monumen. Secara fisik, Madurodam bisa rusak dan harus direnovasi. Tetapi yang penting ialah kekalnya sebuah nilai kebaikan dan inti perjuangan.

Di luar Madurodam masih banyak monumen dan taman-taman yang lain. Sebuah monumen akan menjadi monumental dan bernapas panjang kalau para ahli waris sejarah masih mau menghargai para pahlawannya. Jika ahli warisnya sudah tidak peduli sejarah dan miskin idealisme, monumen-monumen itu akan kesepian, dan bahkan merana. Berapa banyak gedung dan taman bersejarah yang dibiarkan merana. Bahkan beberapa sudah digusur oleh pemilik modal. Itu bukti bahwa sekelompok manusia yang disebut bangsa tidak menghargai orang-orang yang berjasa. Mereka tak punya refleksi historis.

Menghormati dan mendoakan para pahlawan akan menimbulkan sejenis penghormatan kepada keabadian, bahwa kebaikan harus tetap hidup dan terus hidup, tak boleh mati. Artinya, kebaikan dan pengorbanan harus hidup dalam semangat para penerus.

Taman Madurodam adalah paduan dari sebuah rasa seni dan idealisme bahwa yang baik tetap baik dan abadi, dan tidak boleh dijungkirbalikkan menjadi jelek. Tanpa idealisme, mungkin penjahat bisa dipahlawankan, dan pahlawan dijadikan cecunguk atau preman. Semoga kita menjadi bangsa yang menghormati para pahlawan dan menghargai yang baik sebagai kebaikan.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป