Realitas Kontemporer Indonesia

Catatan dari Festival Film Internasional Singapura Ke-15

Garin Nugroho*
http://www2.kompas.com/

Jagat perfilman Indonesia tengah bertabur berita gembira. Setelah di dalam negeri sejumlah film-mulai dari Jelangkung hingga Ada Apa dengan Cinta? dan Ca Bau Kan-mampu membangkitkan kembali gairah orang untuk berduyun ke bioskop, kabar gembira itu juga datang dari luar negeri.

Pekan lalu aktris Christine Hakim ditunjuk menjadi salah seorang anggota dewan juri Festival Film Cannes ke-56 di Perancis, yang akan berlangsung pertengahan bulan depan. Dan pekan ini, sejumlah penghargaan diraih oleh film-film Indonesia dari ajang Festival Film Internasional Singapura (FFIS) ke-15, yang berlangsung 11-27 April 2002.

Sedari awal, FFIS tahun ini sudah membuat Indonesia layak berbangga, karena ada sejumlah film karya sineas Indonesia diikutsertakan oleh panitia penyelenggara. Dua di antaranya ikut berlaga di ajang kompetisi memperebutkan Anugerah Layar Perak-penghargaan tertinggi di FFIS -bersama-sama 13 film lainnya, yaitu Pasir Berbisik karya Nan Triveni Achnas, dan Eliana, Eliana karya Rivai Riza.

Sejumlah film lainnya ditayangkan di luar seksi kompetisi utama. Di seksi kompetisi film digital Asia, misalnya, ada Lajar Hidoep (Waterfront), film karya Garin Nugroho.

Di seksi sinema digital non-kompetisi ada Viva Indonesia yang dibuat oleh Ravi Bahrawi, Aryo Danusiri, Lianto Luseno, dan Nana Mulyana (Garin menjabat sebagai produsernya). Lalu di seksi film pendek digital ada Topeng Kekasih (Hanung Bramantyo), dan Saat Menyatakan Cinta (Eric Gunawan).

Masih satu lagi peserta dari Indonesia, yaitu film dokumenter berdurasi 12 menit karya Nan Achnas, Invisible Garments: Expensive Soles, yang meramaikan seksi “Film di Tengah Globalisasi”. Secara total, ini adalah “kontingen sinema” Indonesia terbesar dalam hal jumlah yang pernah meramaikan FFIS.

Klimaks kabar gembira dari ajang FFIS ke-15 ini muncul di acara puncak, Kamis (25/4) malam. Tiga penghargaan direbut oleh wakil Indonesia, masing-masing anugerah pemeran utama wanita terbaik yang diraih oleh Dian Sastrowardoyo lewat aktingnya di Pasir Berbisik, dan untuk Eliana, Eliana yang meraih dua anugerah yaitu Singapore Film Commission Young Cinema Award, dan film terbaik versi dewan juri Netpac/Fipresci. Netpac adalah jaringan promosi film Asia, dan Fipresci adalah organisasi para kritikus film sedunia.

Film terbaik dalam FFIS tahun ini adalah Batang West Side, karya sutradara Filipina, Lavrente Indico Diaz. Film ini memang layak ditetapkan sebagai yang terbaik di antara seluruh 15 film di seksi kompetisi utama. Durasinya yang persis lima jam-menjadikannya sebagai film cerita terpanjang dari Asia-itu saja sudah cukup untuk mengundang kekaguman atas ketekunan dan stamina sang sutradara.

Apalagi durasi yang sangat panjang itu diisi dengan berbagai gugatan dan perenungan penting mengenai kehidupan komunitas imigran Filipina di Amerika Serikat, serta kenyataan pahit mengenai keluarga yang berantakan. Film ini disampaikan dengan menggunakan narasi tokoh utamanya, detektif Juan Mirajez, yang mengusut kasus tewasnya seorang imigran Filipina yang baru tiba di Amerika.

Realitas Indonesia
Jika dikaitkan dengan Indonesia, maka FFIS ke-15 ini sesungguhnya menjadi semacam peta realitas kontemporer film dan masyarakat film Indonesia, tidak saja pada kualitas, namun juga beragam jenis karya yang dipilih. Keseluruhan karya Indonesia tersebut merefleksikan berbagai peta estetika, sosial, budaya dan politik. Ia juga mewakili generasi sekolah dan generasi yang mampu berkarya di berbagai jenis dan ruang multimedia Indonesia dewasa ini. Secara keseluruhan para peserta dari Indonesia yang ikut di FFIS tahun ini mewakili dunia realitas kontemporer Indonesia saat ini.

Sebutlah, misalnya, pertemuan antara tokoh Bunda dan anak gadisnya, yang mempertemukan dunia matrilineal Minangkabau dengan anaknya dalam ruang kosmopolitan Jakarta lewat film Eliana, Eliana. Atau juga dunia konflik etnik dan religi yang dimulai dari kota-kota pelabuhan dalam film Lajar Hidoep (Waterfront), yang dulu jadi sabuk penyelamat, kini jadi sabuk yang mencambuk kesatuan. Bahkan dunia buruh dan globalisme kapitalis pada film dokumenter Nan Achnas Invisible Garments, hingga dunia anak di tengah berbagai konflik di berbagai wilayah Indonesia yang dijadikan tema utama pada Viva Indonesia. Sedangkan sejumlah film pendek Indonesia terasa mengajukan berbagai pertanyaan tentang anak muda dan lingkungan sosialnya.

Yang patut mendapat pujian tersendiri adalah Eliana, Eliana karya Riri Riza. Para kritikus memujinya sebagai karya yang mampu mengangkat “realitas kontemporer” Indonesia, yang diwakili oleh pertemuan tokoh Bunda yang menyusul anak perempuannya ke Jakarta. Eliana, Eliana berkisah dalam ruang dan waktu malam hingga pagi hari, menandai pertemuan Bunda dan anak gadisnya dari satu tempat ke tempat lain, dengan menumpang sebuah taksi. Ia menyuguhkan sebuah komunikasi dalam berbagai ruang, dari ruang kos di tempat kumuh, hotel, rumah biliar, hingga tempat hiburan dan rumah makan Padang. Kamera yang serba padat dan bergerak, efektif menghidupkan seluruh ruang dan waktu mewakili situasi chaos Jakarta, dan konflik-konflik pada tokoh-tokohnya.

Film ini juga menunjukkan kemampuan sutradaranya dalam menggunakan medium kamera digital dengan tenaga kreatif dan fasilitas yang sederhana. Yang patut dipuji adalah permainan dari Jajang sebagai Bunda. Ia adalah teater yang menghidupkan seluruh realitas konflik kontemporer ini. Inilah akting realis dalam film yang memang pantas mendapat beberapa penghargaan di FFIS ini.

Riri Riza sendiri adalah wakil dari dunia penciptaan yang lengkap, yang sering lupa untuk diberi catatan khusus. Sejak usia 24 tahun dia telah menjadi produser pelaksana film semacam Bulan Tertusuk Ilalang, dokumenter Dongeng Kancil tentang Kemerdekaan. Dia membuat film pendek Soneta Kampung Bata yang meraih penghargaan di festival Oberhausen, tahun 1984. Dia juga pembuat video musik dan iklan yang piawai. Dia sutradara yang mampu menarik penonton lewat Petualangan Sherina, sekaligus produser bersama Mira Lesmana yang mengarsiteki lahirnya film Ada Apa dengan Cinta?

FFIS juga sebuah peta pertumbuhan seni akting sinema Indonesia. Penghargaan untuk Dian Sastro lewat Pasir Berbisik sebagai aktris terbaik adalah cermin sebuah peta pertumbuhan dunia akting Indonesia di dunia internasional setelah Christine Hakim. Haruslah dicatat, tahun lalu, pada aspek keaktoran FFIS memberi penghargaan aktor terbaik pada Ibrahim Kadir lewat film Puisi Tak Terkuburkan. Film ini juga dinobatkan sebagai Film Terbaik versi Netpac/Fipresci. Dengan demikian inilah untuk pertama kalinya di ajang FFIS, Film Terbaik pilihan dewan juri Netpac/Fipresci jatuh ke tangan wakil Indonesia dalam dua tahun berturut-turut.

Catatan ini menunjukkan, bahwa FFIS telah menjadi sebuah peta pertumbuhan sinema Indonesia. Ini tak luput dari kerja keras Phillip Cheah sebagi Direktur Program FFIS, yang sungguh-sungguh mencoba terus membaca peta sinema Indonesia, yang ironisnya sering tak terbaca oleh negerinya sendiri.

*) Sutradara film , Arya Gunawan, Pencinta dan pemerhati film.

Leave a Reply

Bahasa ยป