Seno Joko Suyono
http://majalah.tempointeraktif.com/
Lima bocah dari lima pelosok Indonesia berkisah kepada Tuhan tentang hidup. Mengapa penggarapannya masih mirip dengan Anak Seribu Pulau?
Viva Indonesia Sutradara : Ravi L. Bharwani, Aryo Danusiri, Nana Mulyana, Lianto Luseno Produksi : Yayasan SET (Sains Estetika dan Teknologi) LIMA bocah mengirim surat kepada Tuhan, bercerita tentang hidup: Benyamin dari Lamalera, Entong dari Betawi, Rudin dari Loksado, Aseng dari Singkawang, dan Mimi dari Semarang. Episode film ini masing-masing garapan Aryo Danusiri, Ravi L. Bharwani, Lianto Luseno, dan Nana Mulyana. Mereka adalah sederet nama baru yang bakal meramaikan sinema kita. Karya mereka adalah hasil workshop dan produksi Garin Nugroho. Ide dasar tampak sama dengan film kedua karya Garin Nugroho, Surat untuk Bidadari, yang menggunakan anak-anak daerah beserta problem lokalnya. Dengan pendekatan seperti ini, persiapan prasyuting, mengenal medan dan karakter lokal, tampaknya menjadi menu utama. Proses partisipasi hingga menemui anak yang mampu berakting polos, wajar, adalah hal terpenting. Dari segi itu, Benyamin dari Lamalera menjadi segmen yang paling menonjol. Lamalera adalah desa penangkap ikan paus yang masih menggunakan perahu dan tombak sederhana. Di Lamalera, daging paus tidak boleh ditukar dengan uang. Mereka biasa menukarnya dengan ubi-ubian atau sayur-sayuran dari desa lain. Sistem barter inilah yang menjadi perhatian Aryo Danusiri, yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara film dokumenter.
Benyamin bercita-cita menjadi mandor yang dengan peluit mengatur barter di pasar tradisional. Benyamin, yang diperankan anak setempat, tak kehilangan kewajaran. Pengetahuan lapangan Aryo tampak cukup, meski tak ada satu pun rekaman di laut yang menggambarkan air biru laut tiba-tiba berubah menjadi merah karena darah ikan paus. Konon di sana nelayan bisa sampai terseret ke Timor Timur. Seandainya Aryo menampilkan adegan tersebut, mungkin itu bisa menguatkan pemaknaan barter di kampung itu.
Akan halnya Ravi, ia terasa berbakat untuk bahasa visual. Gambar-gambarnya menyenangkan secara fotografis. Sudut-sudut kameranya cenderung memanjakan mata. Kameranya mengeksplorasi kepala Entong yang gundul plontos. Gambar-gambar cantik terjadi saat Entong berlarian di antara jemuran tampah-tampah kerupuk mentah warna-warni dan perajin ondel-ondel. Dan dari ketinggian pucuk salib gereja, gambar menayang si bocah bermain di tanah lapang. Sayangnya, kode-kode visual ondel-ondel, kepala plontos, dan salib terasa tidak berkait satu sama lain. Obyek-obyek ini jatuh hanya untuk semata-mata keindahan.
Yang paling sulit untuk sebuah film dengan tokoh anak adalah bagaimana peristiwa sosial bisa ditampilkan dengan logika dan cara pandang anak yang naif dan lugu. Dalam soal ini, film Viva Indonesia agak kedodoran. Pada beberapa film ada yang terlalu dipaksakan, misalnya radio di Loksado yang tiba-tiba memberitakan persoalan Tommy Soeharto. Film ini terasa berangkat dari kacamata dewasa yang hanya meminjam persoalan anak sebagai medium.
Tak seluruh narasi surat yang digumamkan anak-anak itu menggunakan bahasa daerah. Tapi rata-rata mereka berbicara bak anak-anak masa kini di televisi. Baik dari pendalaman masalah ekologis maupun bobot problem cerita, film-film ini tak berbeda jauh dengan garapan Garin Nugroho dan sejumlah sutradara lain dalam serial Anak Seribu Pulau yang ditayangkan untuk televisi.