Dari Ceramah Temu Sastrawan se-Bali 2003
Nuryana Asmaudi
http://www.balipost.co.id/
Sastrawan Bali saat ini sepertinya masih enggan atau kurang berminat untuk dihimpun dalam sebuah komunitas, perkumpulan, atau organisasi sastrawan. Selain karena rata-rata sastrawan (seniman) tersebut tidak mau dan juga “sulit diatur”, juga masih ada “trauma” melihat pengalaman atau sejarah masa lalu. Dulu, pernah bermunculan organisasi atau perhimpunan seniman di Indonesia yang akhirnya justru menjebak seniman pada kegiatan-kegiatan di luar dunia kreativitas kesenian — seperti politik praktis dan faham-golongan — yang terbukti kemudian “membunuh” masa depan kesenian dan seniman, bahkan memicu perpecahan.
BANYAK pengalaman, bahwa dengan berhimpun justru membuat seniman (satrawan) tidak bisa bebas bahkan jadi “mandul”. Karenanya, jika sekarang misalnya ada keinginan untuk membuat perhimpunan sastrawan, sebaiknya mesti disiapkan rumusan dan penataan yang lebih matang dan baik. Perhimpunan itu sekiranya bisa lebih luwes dan longgar, bisa diterima kalangan sastrawan sendiri, memberi ruang kebebasan untuk berkreativitas, tidak mengikat, tidak menyusahkan atau merugikan, bahkan bisa memperjuangkan hak dan melindungi sastrawan.
Demikian kurang lebih gambaran yang bisa ditangkap dari ceramah tentang komunitas sastrawan Bali pada “Temu Sastrawan se-Bali 2003” di Balai Bahasa Denpasar, Selasa (1/7) lalu, yang disampaikan oleh Nyoman Tusthi Eddy. Tusthi tampil dengan makalah berjudul “Komunitas Sastrawan Bali dan Urgensi Perhimpunan Sastrawan” yang memaparkan perjalanan sastra modern di Bali berikut para sastrawan dan komunitas sastra yang tumbuh di Bali selama ini. Sebuah materi ceramah yang dimaksudkan sebagai landasan atau gambaran perbandingan jika ada keinginan untuk membentuk komunitas perhimpunan sastrawan Bali seperti yang ditawarkan Kepala Balai Bahasa Denpasar Drs. IB Darmasuta kepada para sastrawan. Dalam pembukaan acara, Darmasuta memang menyampaikan keinginan beberapa kalangan sastra di Bali yang pernah disampaikan kepadanya, tentang perlunya komunitas untuk mewadahi sastrawan Bali. Maka Kepala Balai Bahasa Denpasar itu pun memasukkan materi pembicaraan mengenai hal tersebut pada forum itu, barangkali komunitas atau perhimpunan sastrawan Bali memang diperlukan atau tidak.
Dalam catatan Tusthi, sudah sejak lama Bali memiliki sastrawan yang menulis sastra modern, baik berbahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Namun, para sastrawan itu baru dikenal eksistensinya di permukaan dan diperhitungkan serta masuk dalam sejarah sastra sejak sekitar tahun 1930-an, dengan hadirnya AA Panji Tisna yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia. Keberadaan Panji Tisna tidak saja sebagai sastrawan lokal Bali, tetapi juga nasional yang diperhitungkan. Karya-karyanya telah terkukuhkan dalam sejarah sastra, bahkan ada yang kemudian sangat terkenal. Sementara sastrawan Bali modern yang menulis dalam bahasa Indonesia saat itu belum begitu nampak keberadaannya di permukaan, meskipun sebenarnya mereka telah tampil, seperti Gde Sarwana dengan novel “Mlancaran ka Sasak” dan I Wayan Gobiah dengan novel “Nemu Karma”. Mereka ini kurang atau belum dikenal kalangan luas, lantaran kurang terdukung publikasi dan trend sastra yang berkembang saat itu
Komunitas sastrawan Bali sendiri, menurut Tusthi, sudah mulai marak pada 1960-an. Ketika itu muncul para sastrawan muda Bali yang menulis sastra modern seperti puisi sampai cerpen dalam bahasa Indonesia, meski baru bisa dipublikasikan pada satu-satunya media massa cetak di Bali, yakni koran Suluh Marhaen (kini Bali Post). Pada masa itu, catat Tusthi lagi, komunitas sastrawan Bali sebenarnya juga telah mekar dan mulai membuat perhitungan dalam percaturan sastra di level nasional. Tetapi, sayangnya, saat itu sastrawan Bali belum ditoleh publiknya. Pada tahun itu juga muncul pengarang Bali yang menulis sastra Bali modern — terutama puisi — yang juga dimuat Suluh Marhaen. Sastrawan yang paling menonjol dalam jajaran ini adalah Made Sanggra, Gde Darna, Nyoman Manda.
Kondisi kehidupan sastra modern di Bali kemudian kian membaik dan berkembang pada masa atau tahun-tahun berikutnya, yakni tahun 1970-an sampai 1990-an. Para sastrawan Bali makin banyak bermunculan dan media cetak yang mempublikasikan karya mereka juga bertambah. Kehadiran Umbu Landu Paranggi di Bali, kata Tusthi, menimbulkan dampak positif bagi perkembangan komunitas sastrawan Bali dan sastra Indonesia di Bali. “Karya mereka lebih beragam, dan mereka mulai mengadakan penjelajahan estetik baru serta media massa yang lebih luas. Saat itu sastrawan Bali yang menulis dalam bahasa Indonesia telah mengambil peran jelas dalam memberikan warna kepada sastra Indonesia modern,” tandas Tusthi.
Sementara kemudian, di sisi lain, yakni sastra Bali modern juga muncul dengan pesat — terutama pada dekade belakangan ini — setelah dua sastrawan Bali menerima Hadiah Sastra Rancage tahun 1998 yakni Made Sanggra dan Nyoman Manda. Saat itu sastra Bali modern mulai dilirik publiknya, meskipun masih jauh kalah dengan sastra Indonesia modern. Sejumlah buku sastra Bali modern diterbitkan, meskipun baru oleh penerbit tak resmi atau nonkomersial, tapi setidaknya dapat membantu mengukuhkan keberadaan mereka di tengah publiknya.
Perhimbunan Sastrawan
Menurut catatan Tusthi, perhimpunan sastrawan Bali paling awal terjadi pada masa multi-partai tahun 1960-an. Para sastrawan bergabung dengan organisasi kebudayaan atau seniman di bawah atap partai politik. Pada saat itu sastrawan berperan ganda, sebagai sastrawan dan politisi. Hal itu membuat kreativitas sastra jadi terabaikan, karena sastrawan yang tergabung di dalamnya lebih menyerupai anggota orsospol yang berkarya demi partai.
Perhimpunan sastrawan Bali dalam arti yang sesungguhnya, yang memberikan media kepada para sastrawan untuk berkreativitias dan berkarya, mendokumentasikan dan menerbitkan karya mereka, serta menyelenggarakan diskusi kesastraan, kata Tushi, adalah Himpi (Himpunan Pengarang Indonesia) Bali yang kemudian berubah menjadi Lesiba (Lembaga Seniman Indonesia Bali) untuk mewadahi pula seniman dari luar sastra. “Setelah Lesiba, tidak nampak lagi adanya muncul perhimpunan sastrawan. Yang marak adalah kelompok teater dan perupa,” tandas Tusthi.
Oleh karenanya, menurut Tusthi, jika komunitas atau perhimpunan sastrawan Bali kini sudah diperlukan lagi, maka disarankan olehnya untuk menimba pengalaman yang telah terjadi dulu demi tidak terulangnya lagi kegagalan perhimpunan sastrawan seperti itu. Hal lain juga perlu dipertimbangkan adalah faktor dari diri sastrawan itu sendiri, yang menurut Tusthi, biasanya banyak yang menolak untuk dihimpun-himpun karena dianggap akan memasung kreativitas sastrawan.
Bentuk perhimpunan sastrawan yang ideal menurut Tusthi, adalah yang memberikan lapangan dan situasi kondusif kepada sastrawan untuk berkreativitas dan berkarya. Sifat perhimpunan yang mengekang dan terlalu banyak mengatur harus diminimalisasi, jika perlu dibuang. Dengan demikian seniman yang terhimpun masih merasa bermain di alam bebas. Bagi Tusthi, melihat situasi terakhir dari kehidupan bersastra di Bali, nampaknya memang sudah dibutuhkan perhimpunan sastrawan. Hal itu setidaknya dimaksudkan atau bermanfaat untuk mengusahakan lapangan yang lebih luas bagi publikasi karya, pendokumentasikan karya, dan jika diperlukan membantu mencarikan penerbit, membela kepentingan hukum para sastrawan agar tidak diperlakukan seenaknya oleh penerbit.
Tetapi, perhimpunan sastrawan tentu saja tetap harus memberi kebebasan kepada sastrawan untuk masuk perhimpunan atau pun tidak. Karenanya, saran Tusthi lagi, perhimpunan tersebut sebaiknya diprakarsai oleh sastrawan itu sendiri, bukan atas desakan pihak luar — apalagi yang bertentangan dengan cita-cita sastrawan. Perhimpunan itu juga tidak harus diurus oleh sastrawan, tetapi diurus oleh orang yang memang sungguh-sungguh memahami dan komit kepada sastrawan.
Tak Ada Kesepakatan
Ceramah ini memang bukan dimaksudkan untuk mengajak atau berpromosi membentuk komunitas atau perhimpunan sastrawan Bali. Maka wajar kalau hari itu tidak ada semacam kesepakatan untuk membentuk wadah perhimpunan sastrawan . Ada yang menganggap perlu perhimpunan dibentuk, tapi banyak pula yang kurang berminat.
Banyak hal lain diantara bagian ceramah Tusthi yang tak kalah menarik untuk ditanggapi. Semisal soal perjalanan atau perkembangan sastra modern di Bali, perihal pertumbuhkembangan komunitas sastra di Bali, pun soal pempublikasian karya sastrawan dari Bali di tingkat nasional. Soal keberadaan Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali, misalnya, dengan perannya dalam kancah sastra nasional yang jika sempat terpaparkan barangkali bisa menjadi pertimbangan dan reverensi tambahan tentang masih perlukah atau tidak perhimpunan sastrawan Bali.