Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala

Lan Fang *
jawapos.com

China adalah negara besar yang dikenal dengan timbul tenggelamnya banyak kerajaan dan dinasti. Juga karena kesengsaraan dan kemiskinan akibat perang yang berlarut-larut selama berabad-abad. Selain itu, yang penting dicatat dari China adalah kearifan yang diwariskan para filsufnya melalui berbagai macam bentuk karya sastra. Salah satunya adalah puisi.

Sejarah sastra dunia menahbiskan China sebagai negeri puisi. Bila hendak diteliti, selama masa Dinasti T’ang (618-906) saja sudah tercatat kira-kira 2.200 penyair yang menghasilkan lebih dari 50.000 puisi.

Pada waktu itu, perkembangan puisi di China mencapai puncaknya dengan kelahiran penyair-penyair besar seperti Wang Wei, Li Po, Tu Fu, dan Po Chu I. Bahkan, Po Chu I pernah menjabat ketua dewan pada 841. Karena itu, dia juga dikenal sebagai politikus sekaligus penyair yang menguasai seni kaligrafi, melukis, dan pandai bermain catur.

Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa China berikut keturunannya pun tersebar di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia, sehingga terjadi proses adaptasi terhadap seni, budaya, dan bahasa setempat ke dalam seni, budaya, dan bahasa asalnya. Sudah tentu saling serap dan saling silang ini meliputi puisi sebagai salah satu budaya tulisnya.

Leo Suryadinata, direktur Chinese Heritage Center di Singapura, dalam buku Antalogi Puisi Resonansi Indonesia, membagi sastra Tionghoa (China) di Indonesia menjadi dua jenis.

Pertama, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu terus berkembang menjadi cikal-bakal sastra Melayu yang kemudian melahirkan sastra Indonesia modern.

Kedua, sastra yang tetap ditulis dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa China. Pada awal 1960-an, karya-karya itulah yang diserap koran-koran berbahasa Tionghoa (China) yang pada umumnya dimiliki warga negara keturunan Tionghoa (China) di Indonesia. Di antaranya, majalah Xing Ho dan koran Ta Kung Siang Pao yang terbit sejak 1947-an.

Media-media itu mengakomodasi kebutuhan membaca dan menulis bagi orang-orang China yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian, sastra itu disebut yinhua wenxue (sastra Tionghoa Indonesia).

Tapi, sejalan dengan Inpres Tahun 1967 yang merupakan kelanjutan pembekuan terhadap semua kegiatan yang beraroma oriental, koran-koran dan majalah-majalah itu pun terbungkamkan. Kebijakan politik zaman Orde Baru yang meniadakan aksara China (Tionghoa) membuat perkembangan sastra yinhua wenxue mati suri. Ibarat kata pepatah: mati segan, hidup pun tak mau. Karya-karyanya tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori sastra Indonesia karena tidak ditulis dalam bahasa Indonesia.

Mengenai hal tersebut, Sapardi Djoko Damono, guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sekaligus penyair, berpendapat bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya, sastra Jepang ditulis dalam bahasa Jepang, sastra Arab ditulis dalam bahasa Arab, sastra Sunda ditulis dalam bahasa Sunda, sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa, termasuk sastra China pun ditulis dalam bahasa China.

Dengan demikian, eksistensi sastra yinhua wenxue pun semakin termarginalkan. Nama-nama seperti Rong Zi, Yuliana Susilo (Yan Shi), Wilson Tjandinegara (Chen Donglong) Antono (Ye Chu) , Yi Rou, dan Antonius Hadi (Hai Fung) luput dari penglihatan dan pendengaran publik serta pengamat sastra tanah air. Karya-karya mereka sulit diapresiasi oleh khalayak luas karena adanya keterbatasan penguasaan aksara China (Tionghoa).

Tampaknya, pembekuan penggunaan bahasa China selama lebih dari 30 tahun itu membuat sumber daya manusia di Indonesia yang menguasai bahasa tersebut menipis. Mati suri selama lebih dari 30 tahun membuat lubang menganga setidaknya untuk tiga generasi.

Peralihan tiga pemerintahan -Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono- belum cukup mempunyai daya kait yang kuat untuk merapatkan nganga tersebut. Karena itu, rentang jarak yang jauh dari generasi ke generasi berikutnya mengakibatkan perkembangan sastra yinhua wenxue ini semakin tersendat-sendat.

Suci Susianie (Zhou Su Xin), ketua Perhimpunan Sastra Tionghoa untuk Wilayah Timur Indonesia, membenarkan bahwa sejak Inpres Tahun 1967 diberlakukan, kegiatan tulis-menulis para penulis yang menguasai bahasa China sangat terbatas. Bahkan, sampai sekarang kebebasan yang diberikan era reformasi pun masih belum cukup memacu eksistensi para penulis yinhua wenxue tersebut di tanah air.

Sebab, para penulis yinhua wenxue itu juga menghadapi tingkat kesulitan tertentu bila harus menulis dalam bahasa Indonesia. Mereka gagap dan keteteran ketika harus berhadapan dengan struktur serta diksi perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.

Kendati demikian, para penulis yinhua wenxue itu tetap setia pada dunia mereka. Sampai saat ini mereka tetap mencetak dan mendistribusikan karyanya walaupun hanya untuk kalangan internal. Mereka juga tetap menulis meski segmen pembacanya semakin terbatas. Tampaknya, kepuasan menulis adalah motivasi utama yang tidak bisa dibendung walaupun penguasa menciptakan situasi politis yang sulit saat itu.

Karena itu, bila setiap Mei dijadikan salah satu kilas balik refleksi agenda politis bangsa ini, rasanya tidak berlebihan bila keberadaan para penulis yinhua wenxue direspons positif sebagai rekam jejak bahwa ghiroh (semangat) mereka untuk terus berkarya tetap menyala-nyala walaupun waktu pernah ”berhenti”.
***

*) Penulis prosa dan puisi. Telah menerbitkan delapan buku prosa. Di antaranya, Perempuan Kembang Jepun (2006) dan Lelakon (2007).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *