http://www.kompas.com/
Sisakan Elegi
Lampu neon di cumbu laron-laron
dalam percintaan yang melelahkan
bahkan mirip asmara gadungan
menggeletar, sayapmu patah satu
kau mengadu padaku, tatkala matamu ngilu
pandanganmu kelabu disadap debu.
Itu tubuhmu memar biru
karena melulu dipukul waktu
mulutmu menganga tatapanmu tak terbaca
kau paksa aku dengar kesahmu
tentang cintamu pada sorot lampu
serta cahaya yang menyetubuhimu.
Berpilin-pilin rasa, berjubel di rongga dadamu
apalagi lampu mati, laron-laron jadi ngeri
terus lari mencari matahari di malam sepi
lihatlah laron makin sakit hati
akupun ikut-ikutan lari, pergi membuka lemari.
Bersetubuh Siksa
Aku ini adalah tembakau murah
digulung dalam papir lusuh beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
jadilah sepah tanpa mutu, dijual orang sambi lalu.
Bila disulut, racun berbung-bunga dari asapku
mengharu biru penuhi paru-paru mengisi nadi
merangkul otak menjadi berontak
lalu muntah mengisi langit-langit kosong.
Saat asapku dicium udara tanpa warna
menggerus nurani terus butakan logika
hingga mereka mencapai pusara
ada yang unjuk rasa, ada yang unjuk gigi
sama saja cari mati.
Aku tak peduli
karena aku hanya tembakau murahan
digulung dalam papir lusuh, beringsut baunya kecut
yang diambil dari asbak-asbak sisa pecundang
sepah tanpa mutu, di jual sambil lalu
Mobilisasi Warung Kopi
Agresi sedang terjadi di bawah panci, kompor tua bernyanyi
membara seperti percik api revolusi
mendidihkan air menjadi gila tak terkata
cangkir-cangkir kosong mulai bergetar
dan sepertinya hidup pun siap digelar.
Lihatlah di pojok sana, ada yang asik merajut dusta
disini kami sibuk merangkai kata-kata
di depan kami orang-orang ramai berdiskusi
tentang hak asasi dan supremasi
ternyata hendak menggadaikan ideologi, dalam hati kami mencaci.
Di sebelah kanan, ada orang berbicara tanpa titik dan koma
tentang surga penuh taman bunga, neraka yang tinggi suhunya
dan agama tameng kehidupan fana
mendengarnya hati kami kaya rasa, warna gembira.
Di sebelah kiri, ada pencuri baru keluar bui
ingin menyanyi lagu padamu negri
lalu tertawa tanpa arti, menangis dalam sepi.
Kemudian lewat pengemis, sedari tadi mengais-ngais
hati kami jadi gerimis, tapi mereka meringis.
Sungguh masih banyak kata yang tak teraba
dan warung kopi makin demam tinggi.
Lidah Api
Rasanya kita sudah cukup lelah
mengembara hingga kita berdarah
tak kenal lagi apa yang mesti dinanti
sudah cukup lupa memar di kepala
juga nyeri-nyeri menempel rapi.
Di tiap jengkal tubuh kita, tergurat rapat
sisa keringat yang telah berkarat
semoga kita bukan korban sejarah
dari zaman lapuk yang lengang.
Kesadaran kita mungkin kuncinya
serta keberanian untuk membangkang
pada diri kita, bakarlah itu semua
sebab kita bukan berhala.
Mari kita benamkan tubuh kita
ke dalam muara yang tak henti alirannya
menuju satu pusara, dimana asa bersembunyi disana
dan saat harapan itu merapat
di tengah tembok kesadaran mendesir
pasti akan tercurah hujan berkah
kita akan mengaisnya sampai tandas
sebelum senja benar-benar menghentikan langkah kita
sebelum malam memasung perjalanan kita.
*) lahir di Jombang, 7 Januari 1987. Alumni SMAN 1 Ngoro. Setelah itu masuk ke STKIP PGRI Jombang. Aktif di Komunitas Tombo Ati (KTA), Penggiat Lingkar Study Warung Sastra Ngoro Jombang.
Saat ini sedang mempersiapkan Antologi puisi ?Sebelum surga terbakar? . Yang lain berupa cerpen, esai, dan artikel. Kini tinggal dan berkarya di Jombang; Dusun Gresikan RT 02/RW 02, Desa Ngoro, Kec Ngoro, Kab Jombang 61473 Jawa Timur.