Puisi-Puisi Dharmadi

kompas.com

KATA

ia sadar benar tentang sajaknya
yang belum juga berpuisi

diketuknya pintu demi pintu waktu
dicarinya kata yang selalu merayu
dalam angannya buat sajaknya nanti

khayalnya selalu buyar
ditumbuk pikuk dunia

rindunya tak pernah mati

dengan raga merana rasa terlunta
sambil bersenandung lagu hati dicarinya
kata yang selalu merayu angannya

dicatatnya segala;

yang dirasa
yang dibaca
yang diraba

kata tak juga mewujud puisi
dalam sajaknya

oh, angkasa raya bumi yang
fana, di mana kau sembunyikan
kataNya?

dibersihkan gairah sukmanya dari
limbah hari; didakinya bukit demi
bukit malam, ditelentangkan ruh
ketika terdaki puncaknya;

di batas sadar serasa mimpi
tiba-tiba di relung dadanya tumbuh
satu kata, “Gusti”.

2008

IBU YANG KITAB
IBU YANG ZAT

-1-
dengan mata angan dibacanya dari
paragraf ke paragraf ibunya yang
kitab babad

tak sekata sekalimat terlewat

telah dihabiskan beribu pagina dan
bab tak tamat-tamat

sesaat dihelanya nafas;

“ibu, engkau kitab babad penuh misteri dan
tafsir riwayat; seakan kau bawa aku melayari
lautan sepi kapal, menembus rimba tak bertuan,
berkunjung ke kota-kota yang tak lagi bertanda,
menyelinap ke lorong-lorong tak bercahaya,
mendaki gunung mencari puncaknya dalam gelap”.

sesaat dilepasnya nafas;

jemari hatinya membuka
pagina berikutnya.

-2-
kini dengan lidah rasa dicecap-
cecap ibunya yang zat

sesaat dihelanya nafas;

“ibu, engkau zat dari segala anasir zat”;

lidah rasanya mencecap-cecap nikmat
ibunya yang zat, ditelannya liur, naik turun jakun
kelelakiannya.

tak ada lagi ingatan tentang bapaknya yang
telah menghilang sebelum ia sempat
merekam lengkap rupanya dalam memori

-3-
dengan misteri tafsir riwayat dan
rasa zat ibu dalam sadar suratan
mimpinya terus bertualang ke ruang-
ruang yang gelap yang senyap
yang gegap yang berkilap.

2008

SALIB NASIB

dipanggulnya salib nasib di
pundak kesetiaan;

sadar dengan tetesan darah
kepercayaan tak berpaling haluan;
dibacanya segala wajah dicarinya
bahasa manusia yang sejati pada mata,
bibir, dahi, pipi, dalam beribu gerak dan warna

aura

memutih
memutih

dalam api

diri

2008

MENITI TANGGA

dicobanya kembali untuk menghitung-hitung
berapa anak tangga yang telah dititi;

ia ingat, waktu itu, sejak di bilangan anak tangga yang ke sekian
tak lagi menghitung anak tangga selanjutnya yang telah menanti
untuk dititi, sampai saat titiannya sampai di sini, kini;
“mungkin sudah sekian”, ia mencoba meraba-raba angka.
“ah, mungkin sudah lebih, atau malah kurang?”, perasaannya
dipermainkan oleh keraguannya sendiri;
“tak mungkin balik lagi hanya untuk mulai menghitung kembali”.

diredakan rasa penasarannya; “akh, untuk apa mesti mengingat-
ingat angka, kalau akhirnya semua anak tangga mesti dititi”.

ditolehnya anak tangga yang telah dititi;
dilihatnya jejaknya tinggal sendiri dalam sepi.
pandangnya jauh ke sana, ke sisa anak tangga yang
menanti untuk dititi, berselimut sepi.

“sepi dan sepi”, hatinya bicara sendiri.

ia pun sadar, perjalanan ini perjalanan kesepian
yang telah dimulai sejak awal meniti;
sepi dan sepi yang terus menjadi-jadi sampai di
akhir titiannya nanti, untuk menghuni ruang sepi yang
paling sepi..

2008

RUPA DAN KATA

dari putih rupa dan kataNya
mengalir madu rasa

2008

DALAM BAYANG POHON WAKTU

berjalan dalam bayang
pohon waktu
memanjang di
liku laku

meremang sajakku;

kucari di mana putih
hayatnya tersembunyi.

demi kesejatian ucap, meski
dengan mata berkaca-kaca merasakan
perihnya, sepenuh rasa kukuliti selaput
gelap sajakku; kusayat timbunan lemak kata-
katanya, kutetak jaringan liar hurufnya, agar
terbuka remang tafsirnya.

bacalah dalam tafsirmu

2008

BAHASA IMPIAN

dalam samar waktu
disisirnya kabut laku

ia dengar gema kidung

sekejap kau menubuh
luput dari jerat mata
ia lupa pada apa yang
mesti diucap

kelopak khayalnya rekah
seakan ia dalam bayang
putih tubuhmu

bayangmu dalam bahasa impian
disempurnakan dengan tanda baca
dirapalnya dengan gairah rasa.

2008

TUBUH SAJAK

ditatapnya dari segenap kiblat tubuh sajaknya sehabis
dirias dengan bermacam aksesoris diksi yang dibeli di
pasar bumi.
“ternyata modis juga tubuh sajakku”,
pujinya, sambil mengulum senyum;
“sedikit narsis juga aku”.

dengan tetap hati dilepas tubuh sajaknya ke
pentas-pentas untuk menari bersama
tubuh-tubuh sajak terkini.

“mana tubuh sajakku, tubuh sajakku?”
tiba-tiba ia melaung; asing dengan tubuh
sajaknya sendiri, yang terlena menari dengan
aksesoris diksi dan gerak nyaris tak beda
dengan tubuh sajak lainnya.

ada yang tak ada lagi dalam tubuh sajaknya,

-budi diri-

tubuh sajaknya kembali dirias dengan aksesoris
yang tak riuh diksi, yang dicipta dari daya
imajinasinya sendiri;

“tak apa, meski nampak naif dan tak lagi trendi”.

meruap bahagianya, tubuh sajaknya telah
kembali pada jiwanya sendiri;

tetap menari dalam
tarian rumi.

2008

SEIA SEKATA

serasa habis tidur beratus tahun dalam
mimpi panjang pepak dongeng purwa
ketika tiba-tiba ada yang membangunkan
kesadarannya.

“kenapa sampai di sini,
mesti di sini, dan kini;

ini negeri apa dan siapa penghuni
ini negeri?”

tak ada petanda, suaranya
memantul kembali

tetap sendiri dan senyap semata

seperti ada yang dicari ketika ada yang
diingatnya kembali; serasa pernah seia sekata, tapi
alpa dengan siapa, juga tentang waktu dan
tempatnya, selain dari putih rupa dan katanya
mengalir madu rasa.

entah memetik dari mana, angin menyelinapkan
suara suluk dan antawacana dalang, bunyi keprak dan
gamelan, pesinden nembang, ke dalam rongga
telinga menggema di barak raganya

tak kenal jeda.

di panggung mana drama
wayang itu dipentaskan?

ia jadi blingsatan, anak-anak wayang mewujud
bayangan hitam imaji dengan laku ucap yang
tak lagi bisa ditengarai; mana satria mana raksasa,

siapa bibit-kawit mereka?

dilihatnya tubuh sendiri, ia pun nanap;
“kenapa jadi legam begini?”
digalinya sumur ingatan, tak henti-henti,
mencari yang dulu pernah seia sekata, yang
berputih rupa dan kata, tak putus-putus melelehkan
madu rasa.

2008

TEKA-TEKI SILANG

ditatapnya petak-petak kosong tubuhnya,
“dari mana mengawalinya?”
dengan petunjuk angka dan arah ia mesti
mengisinya, menuliskan jawab dari sekian tanya.

ia masih mencari-cari di kelompok arah mendatar,
dipungutnya satu tanya, di tulisnya jawab dari paru ke
jantung, dari angka satu ke lima: udara.
dipungutnya lagi tanya, dicoba ditulisnya di petak-petak
kosong tubuhnya; berganti-ganti arah dan angka
abjad-abjad membentuk jejaring, berkelindan dalam
urat darah, saling membangun jawab, hingga lengkap dan
sempurna mengisi petak-petak kosong tubuhnya.

belum juga rahasiamu terbuka.

2008

MALAM KEHILANGAN JALAN

malam berselonjor di trotoar
kehilangan jalan, ke mana lagi
mesti menjemput bulan

seakan mati jam

kota semakin membara dalam
nyala api birahi

bulan pingsan di pematang yang
kehilangan kerlip kunang
sawah dalam genangan kesedihan
yang mengalir dari dada orang-
orang bertelanjang

ada yang menelikung
nasib-Nya.

malam berselonjor di trotoar
bulan pingsan di pematang
tak ada lagi kerlip kunang
sawah dalam genangan
kesedihan

berjuta orang telanjang

2008

L U M P U R

tanah air melebur
membubur melumpur
menggusur mengubur

kau basuh tangan

lumpur melulur kalbumu
dalam laku homo economicus

2009

Leave a Reply

Bahasa ยป