Kritik Sastra – Memperkukuh Sains Sastra

Hudan Hidayat

Seperti ketika seseorang mencari alamat tempat tinggal seseorang yang lain dengan jalan berputar-putar, sains fisik pun akhirnya harus berhadapan dengan ukuran benda-benda: ia mengoperasikan aritmatika untuk menghitung panjang dan lebarnya alam. Atau, geometri untuk memahami ruang-ruang. Ia membuat hipotesa tentang massa dan energi dalam sebuah benda, dan atau relasi benda-benda. Ilmuwan bertekun di dalam laboratorium. Rumit, tetapi bukan hal yang mustahil.

Einsteins, konon, hanya mengandalkan nalar deduktifnya untuk menatap relasi-relasi alam semesta, bukan menyandarkan diri pada teropong bintang. Sains menghadapi sifat-sifat atom, dan itu berarti ia harus mengerti partikel-partikel subatom. Ditelisiknya partikel subatom yang bernama elektron atau proton. Dilakukannya langkah-langkah dalam proses ilmu: observasi, hipotesa, eksperimen, teori-apalagi? Semuanya harus terukur secara pasti, dalam evaluasi yang berulang, sehingga mendapatkan kepastian yang sahih dan tetap.

Itulah metode ilmiah dalam ilmu yang, konon lagi, ilmiah: proses berpikir yang ingin menjangkau rahasia-rahasia fenomena alam menjadi sebuah kebenaran, menjadi sebuah kepastian dalam bentuk hukum, alam fisik, atau alam kehidupan mahluk.

Benda-benda seolah struktur dalam mulut bagi bahasa: menyediakan kemungkinan dirinya untuk dilalui nalar manusia – sifat dan unsur dunia tanda dalam ilmu budaya, sifat dan unsur dunia benda dalam ilmu eksakta.

Sifat dan unsur benda mungkin sudah kita pahami, termasuk manfaat dari kemungkinan penggabungannya. Seolah kita sudah menggenggam kenyataan. Seolah kita sudah mengerti arti sebuah batu. Bahwa batu yang bercampur adalah kumparan-kumparan subatom bernama molekul, bahwa sifatnya adalah dan sebagainya. Atau sebuah kursi yang kita duduki menimbulkan panas dari tubuh kita sendiri, yang menjalar ke molekul di kursi. Penjalaran panas yang bisa dihitung dengan pasti.

Tetapi kalau kita munculkan pertanyaan lanjutan: untuk apakah batu itu? Untuk membangun rumah. Untuk apakah rumah itu? Untuk kita berdiam dengan keluarga. Untuk apakah keluarga itu? Cabang jawaban menyediakan diri untuk tiap kemungkinan. Tapi satu hal yang mungkin menalikannya: untuk agar hidup kita lebih bermakna. (tapi afrizal menggoda isbedy: isbedy, sudahkah kau akan membubarkan keluargamu? Isebdy tersentak, dan tergopoh-gopoh menjawab, tidak afrizal, aku tidak punya niat membubarkan keluargaku).

Mulailah sains fisika menghadapi dilema: bagaimana mengukur panjang dan dalamnya makna? Bagaimana menghitung dengan presisi tinggi tentang panjang sebuah kebahagiaan, atau dalamnya sebuah penderitaan, misalnya panjang dan dalamnya penderitan tokoh novel dalam novel max havelaar, atau menghitung kegamangan aku prosaik kohar Ibrahim, yang terombang-ambing dalam ruang dan rentang mati dan hidup, dalam cerita terowongan mautnya? Tetapi dunia makna, tidakkah tidak masuk dalam objek sains fisika? Tapi justru itulah: sains fisika hanya berurusan dengan dunia materi yang diam. Tak berpaut dengan dunia manusia, di mana sebuah gerak hati tak hendak tinggal dalam dirinya sendiri. Hati yang menggeliat, menjangkau dan menembus merenungkan dunia. “tidakkah kau tahu?/tetestetes puisi yang bening itu/turun dari awan yang hitam? Itulah sebuah larik Epri Tsaqib, yang ingin mendikotomik tarikan-tarikan hati, dengan ungkapan ke dalam dunia lambang – puisi.

Manusia mungkin lelah mengembara dan ingin bersandar dalam rahim bumi. “Dada bumi memelukmu hangat/seperti tangan ibu yang kini jauh”, bisik larik Inez dikara. Tapi di dunia sana orang menyembelih alam. konon, persetujuannya diberikan atas otorisasi ilmiah Descartes, yang menganggap bumi tak lebih dari mesin. Descartes yang seolah mendapat wangsit ilmu, yang ilmunya hendak menjangkau kepastian akan dunia, tapi meledak dalam mungkinnya punahnya alam oleh sains yang timbul kendian.

Sedangkan sebuah batu tetap tinggal dalam tempatnya. Batu bisa diangkut dan diaduk bersama semen dan pasir. Tapi kedua unsur yang membalut batu menjadi rumah, tetaplah seonggok benda diam dalam dirinya. Tetapi analisa atom dalam fisika kuantum, mengatakan bahwa benda yang diam itu adalah tempat di mana sub-subatom berloncatan kesana kemari. Menari-narikan dirinya secara tak tentu arah, seolah bahasa membentukkan dirinya dalam cerita, mengacak-ngacak kehidupan untuk membentuknya kembali dalam bentukan-bentukan baru, yang ditali oleh lambang-lambang aksara dan angka.

Di milis ini sony de bono mengutip sartre, bercerita tentang kisah eksistensi sebuah benda yang diam, yang berkebalikan dengan benda mesin tapi bisa berpikir: manusia. Tetapi diam dan berkesadaran ini, tidakkah hanya soal bahasa? Di mana mungkin, kita manusia tidak mengerti atau mungkin belum menemukan bahasanya benda-benda diam, dalam berkomunikasi dengan benda-benda yang lain (atau berkomunikasi dengan kita).

Tersebut dalam sebuah ayat di kitab suci, bahwa matahari dan bumi berkata setelah diintimidasi oleh khaliknya: kalian mau datang suka rela atau terpaksa? Kami akan datang suka rela ya tuhan kami. Mungkin ini metapor. Tetapi apalagi yang berharga di dunia selain metapor? Kerja fisika yang serba menginginkan kepastian itu, bagi saya adalah metapor: kehendak untuk mengucapkan kenyataan alam dalam bahasa lain – bahasa ilmu pengetahuan.

Maka sangat mungkin, kelak tiba saatnya metode ilmiah bisa menjangkau fenomena yang tak bisa dibuktikan, atau tak bisa diangkut, ke dalam dunia empirik. Seperti hipotesa tuhan terbukti benar: wahai manusia, turunlah kalian ke dunia. Tapi ingat: kelak kalian akan berbunuhan satu sama lain.

Kalau ilmu adalah pengujian hipotesa, sekumpulan pernyataan yang dibangun oleh landasan sebuah dugaan, atau pada pertamanya berkembang ilmu belum ada teori satupun yang bisa menjadi alat ukur akan tiap sesuatu, teori hanyalah meruapkan sekumpulan dugaan yang dibentangkan dalam ke tiap pernyataan mengenai sesuatu. Maka pernyataan tuhan itu, bisalah kita anggap sebuah hipotesa. Hipotesa yang tingkat kebenaran dan keterbuktiannya sudah kita alami, tentang dan dalam, dunia kemanusiaan: kutub paradoks yang menjadi landasan kita kini tumbuh dan hidup.

Di suatu waktu muncul bunda Theresa atau Gandhi, atau muncul Buddha si darta gautama, di lain waktu muncul mao ze dong atau hitler. Di suatu waktu muncul musa dan pada saat yang sama dan di tempat yang sama, muncul pembangkang yang nyaris abadi: firaun. Begitulah keagungan dan kebusukan bermain, seolah dua sifat yang dimasukkan ke dalam satu gelas yang sama – gelas dunia.

Begitulah pengelihatan tuhan: visinya sebagai maha saintis yang sudah melihat sebegitu jauh tiap sesuatu. Tuhan sebagai maha ilmuwan, tak perlu membuktikan teorinya sendiri. Manusia dan dunialah yang menjadi penguat dan pembenar teorinya. Kenyataan ini nampak terdengar aneh, tapi tiap pelacakan, dari manapun bertolaknya, tak menyisakan ruang bagi ketidakbereksistensinya tuhan. Tiap pelacakan akan tertumbuk oleh sifat dan hakekat ilmu itu sendiri: kausalitas tiap benda dan gejala makna. Karen amstrong membentangkan bab-bab akhirnya dalam buku mencari tuhan, dengan subbab kemungkinan menghilangnya ekstistensi tuhan dalam dunia yang seolah sedemikian maju ini. dalam frasanya dia berkata: kalaupun tuhan belum menghilang, mungkin tugas kita untuk menghilangkannya. tapi ilmu evolusi dihadang dengan sebab mula tiap kehidupan, yang terbukti sel-sel yang hidup tak pernah bisa muncul dari benda-benda yang mati.

Maka tiap ilmuwan besar atau pemikir besar, seolah melihat sebuah sistem yang amat halus, pada taraf mencengangkannya dunia dan manusia, yang tak terpermanai ini. lamat-lamat mereka mengakui, bahwa tidak mungkin semuanya ini ada dengan sendirinya secara kebetulan. Pastilah ada yang mengadakannya. Tapi marilah kita menumbuhkan sikap demokratis, terhadap sikap dan pilihan bahasa, saat hendak dan menyebut apa pengada itu. Toh dia sendiri tak hirau pada tiap sebutan. Karena dirinya, bukankah mengatasi tiap penyebutan? Ke manapun kamu memandang, di situ juga wajahku. Kamu bilang berhala yang kusembah. Tak mengapalah, karena akulah yang mencipta berhala itu. Kamu bertuhan pada pikiranmu, go ahead, karena akulah pencipta pikiranmu itu. Maka sebenarnya, bagi mereka yang sudah mengatasi penamaan, dia sudah berada pada tingkat menerima, melihat kemenggeliatannya tiap kehendak dalam diri, saat mewujudkan eksistensi, berhadapan dengan manusia dan hidup ini.

Kehendak sastra untuk menyebut diri sebagai sains – sains sastra – haruslah melalui jejak yang sudah dilalui ilmu pengetahuan alam itu. Ilmu yang diembriokan oleh mereka yang menyediakan diri untuk merenung: filsafat. adalah niscaya kita membutuhkan filsafat ilmu (sastra) untuk menumbuhkan sains sastra, agar kedudukannya tidak mudah goyah, terutama kedudukannya dalam pencarian ukuran-ukuran yang hendak menuniversalkan dirinya, menjangkaukan dirinya ke dalam tiap gejala di belahan bumi manapun. Sebab pangkat inilah yang akan mengangkat dirinya ke dalam setingkatan sains fisika.

Diperlihatkan perbedaan sains fisik dan sains budaya. Bahwa sains fisik mengebor benda yang diam, sedang sains budaya bertatapan dengan dunia lambang yang sudah dilekatkan. Dari sebuah proses pikiran dan perasaan manusia yang bertemu dengan dunia. Bila batu adalah benda yang diam, maka hasil karya seni adalah benda yang diam dalam permukaan, tapi bergerak di kedalaman. Ia seolah menyimpan bom makna. Yang sumbu-sumbunya seolah utasan-utasan benang di dalam tiap unsur karya.

Datanglahlah seorang ilmuwan budaya hendak menafsir dunia yang disembunyikan oleh karya seni. Tapi karena yang menafsir adalah manusia, sedang yang dihadapi adalah benda yang hidup, maka bertemulah manusia dengan segala ideologi di belakangnya, dengan benda yang hidup itu. Merentang-rentanglah dunia yang mengangankan diri untuk ilmiah itu ke dalam sejarah pemikiran. Merentang sebagai dengan wajah-wajah yang banyak, yang sesungguhnya wajah wajah itu kalau kita perhatikan hanyalah pada soal focus dan penekanan. Begitulah wajah itu merentang dari rusia, ke amerika dan ke eropa, sebagai kehendak untuk mendekati karya seni. Merentang pula ke negeri kita sendiri.

Kalau sains dalam fisika bisa menjadi dingin, dan ini pun ternyata tak sebegitu dingin saat betapa pakar pakar kuantum itu dihentakkan oleh perasaan mereka sendiri, tak bisa lagi menembus fenomena atom dalam fisika kuantum. Maka pakar sains budaya ini tak bisa berlaku seolah pakar fisika masuk ke dalam laboratoium. Sebabnya sederhana: karena dirinya adalah manusia dan yang akan ditelitinya adalah hasil karya manusia.

Seperti anggapan umum tentang kerja kritik, bahwa sang pengamat tidak boleh membelokkan, atau terjerembab, ke dalam perasaannya sendiri saat mengurai sebuah puisi. Tapi pendamlah perasaan di hati dan tataplah puisi dengan konsep sintaktis dan semantik dalam kerja close reading (misalnya). Sehingga nilai murni dari puisi itu sendiri yang bicara kepada kita, tanpa kita tunggangi dengan perasaan yang kita sendiri. Tapi tidakkah kehendak semacam ini adalah tarik menarik dari suara yang merentang-rentang di sepanjang usia pertumbuhan sastra itu sendiri?

Tubuh luar sastra, umpamanya novel atau puisi, bisa kita lakukan proses keilmuan seperti di dalam dunia sains fisika. Sebuah novel, dari manapun novel itu, dan siapa pun pengarang novel itu, anggaplah sebuah batu yang diangkut ke dalam laboratorium. Di dalam laboratoriumnya (hehe sebenarnya laboratorium itu hanya di banner itu saja), seorang ilmuwan sastra dan budaya, mulai membongkar novel itu ke dalam sains sastra. Mulailah tuan yusri fajar menarik sebuah novel ke dalam disiplinnya sendiri – ia inginkan kajian budaya. Ia telisik geneologi novel itu: entah ide, bahasa, totem, atau paradigma dalam novel, yang bisa ia lekatkan kepada permainan ruang-ruang budaya, dalam kehidupan manusia yang saling berinteraksi, saling pengaruh-mempengaruhi. Ia dikotomomikan warna manusia atau sejarah manusia yang terekam sebagai suara terjajah dan suara penjajah. Atau tuan nuruddin akan menariknya ke dalam perkembangan ide-ide di dalam dunia filsafat, filsafat kuno atau filsafat mutakhir. Dan akhirnya, tuan saut situmorang masuk ke dalam tubuh novel dengan langkah-langkah intrinsik.

Tapi sudahkah kita mendapatkan ukuran seperti panjang sebuah batu, dalam derita seorang tokoh di dalam novel? Berapakah panjangnya penderitaan hati seorang tokoh novel perempuan dalam novel azab dan sengsara, dan berapa pula dalamnya penderitaan seorang tokoh novel zainuddin dalam tenggelamnya kapal vanderwijck? mungkin sains sastra atau budaya belum memiliki jawaban: ukuran yang eksak itu. Lalu kemana jawabannya hendak kita cari? Kita akan mencarinya di dalam filsafat keindahan. Teori tentang keindahan pun tidak memiliki ukurannya. Cassirer yang menjelajah ke dalam filsafat lambang sebagai ekpresi kebudayaan, tak pernah keluar dengan kesimpulan bahwa mimesis aristoteles pernah menghitung panjangnya penderitaan seorang tokoh dalam novel, dengan aritmatika analitik novel, misalnya. Atau geometri analitik, bentuk penderitaan sang tokoh novel, yang kalau disorotkan ke dalam hati manusia, mungkin akan berupa kurva naik turun dan bersegi-seginya kesedihan dalam hati.

Teori keindahan karakteristik yang memandang ke dalam untuk keluar sebagai bentuk ala gothe pun hanya mengatakan kepada kita, bahwa novel punya makna, karena kemampuannya menyingkapkan realitas benda-benda. Tetapi berapa panjang dan lebar ketersingkapan format benda-benda itu dalam kaitan hati dan pikiran manusia yang mengalami? Sebuah peluru yang dilepaskan senapan aku-prosaik dalam cerpen agus noor, zikir sebuah peluru, menerpa korbannya seperti peluru pasukan tentara menerpa kepala sang mahasiswa, berapakah panjang dan lebarnya kesedihan keluarga sang korban, yang diterpa realitas benda – peluru – itu? Dan dengan alat apakah kita menghitung hati yang tertimpa benda?

Kemarin di dalam milis apresiasi sastra ini, jaran goyang membuat sebuah puisi dengan seseorang mengecap dosa manis di surga, dosa yang dikecap pula oleh puisi yang amat panjang yang menjadi motif Milton, yang bait awalnya bercerita tentang kejatuhan manusia dari surga – paradist lost.

of mans first disobedience, and the fruit
of that forbidden three, whose moratal taste
brought death into the world, and all our woe,
with loss of eden,till one grater man
restore us, and regain the blissful seat…

Dengan ukuran apakah kita akan menghitung representasi dari duka abadi, dari kisah kejatuhan manusia semacam itu?
Sampai di sini, kita masuk ke dalam sesuatu yang memang seolah tidak bisa diukur secara eksak. Seolah kita berhadapan dengan ruang jiwa kita sendiri: berapa sebenarnya panjang dan lebarnya kedalaman pikiran kita, atau panjang dan lebarnya kedalaman perasaan kita. Atau kalau mau meningkat, kita akan berhadapan dengan tuhan: berapa panjang dan lebarnya yang tak terkatakan? Tetapi zat dengan sifat dan unsur-unsur apakah, yang hendak kita hitung? Tuhan tak terkatakan sebagaimana roh tak terbayangkan. Lalu bagaimana kita akan menghitung sesuatu yang kita tak bisa membayangkannya? Nampak seolah fisika dan sastra hanya bisa menghitung jejak-jejaknya.

Mungkin kita hanya bisa berspekulasi tentang miliran tahun sisa-sisa usia semesta, akan tampak dan nyatanya semua hal batin yang kini terpinggir dalam era sains. Bisa dihitung secara eksak pasti. Seolah seismograf menghitung gerak bumi.

Mungkin suatu ketika, tuhan yang maha baik itu, akan menurunkan otak jenius ala Einstein lagi. Kini diciptakannya alat untuk mengukur perasaan manusia bernama seismograf hati. Alat hitung hati yang berdebar atau pikiran yang berdenyar, yang sudah dibentukkan seorang pengarang ke dalam jalinan plot dan alur yang membentuk cerita dalam novel. Ide-ide, yang lalu dan melalui plot dan alur itu, atau konflik tokoh novel, di mana narasi novel menegakkan renungan sang tokoh novel, atau ia mengambil alih sendiri narasi ke dalam retorika narator, semua itu diangkut dan dicemplungkan ke dalam mesin penghitung unsur-unsur novel, sebagaimana mesin catur super yang dilawan oleh kasparav, mesin ini pun akan merespon bahan yang masuk ke dalam dirinya dan mengeluarkan bahan itu berupa hitungan kepada kita.

Tuan, panjangnya penderitaan siti nurbaya mendekati angka seratus, seperti panjangnya sebilah parang belati yang diayunkan syamsul bachri ke dada datuk maringgih. Seperti itulah panjangnya penderitaan siti nurbaya. Dan dalamnya juga hampir seratus, seperti dalamnya perasaan si aku lirik puisi Saut situmorang yang terkenang sang ibu saat mengembara, bertualang sebagai bujang ke negeri orang.

Mungkin kelak mesin seperti itu tercipta. Di mana pakar sastra bertemu dengan pakar mekanika. Sang pakar sastra memberikan batangan batangan berupa unsur-unsur novel atau puisi. Sementara pakar mekanik menyiapkan alat-alatnya. Sehingga kini segala unsur-unsur pembentuk karya sastra, bisa didekati dengan ukuran, sebagaimana pakar fisika mengukur menyempalnya ion dari jumlah wajar proton dan electron. Siapa yang tahu? Seperti novelis eka kurniawan bercerita kepada saya, bahwa kini ada mesin yang bisa membuat skenario tiap-tiap kalimat, membentukkan jaringan-jaringan ceritanya dengan pelbagai kombinasi cerita.

Tetapi sementara ini kita tahu, bahwa pendekatan karya sastra adalah intrinsik, dengan menyorot peristiwa di dalam alur dalam teks naratif misalnya. Atau secara ekstrinsik segala ide-ide yang berkembang, yang mungkin ditautkan pada dunia sastra. Atau ide itu sendiri yang dicangkokkan ke dalam dunia sastra, misalnya posmodernisme yang berkembang di dalam dunia filsafat, sebagai pelawan filsafat era modernisme. Menetap dalam dunia sastra sebagai prosedur kritik sastra misalnya. Karena mesin semacam itu belum tercipta, dan haruslah segera tercipta agar kontroversi tiap pembagian hadiah sastra bisa dihilangkan, kita hanya tahu esai atau kritik sastra yang bagus membuat kita bergetar saat membacanya. Di mana unsur-unsur novel nampak datang bersamaan dengan esai atau kritik sastra itu sendiri. Bergabung menjalar ke dalam pikiran kita dan ke dalam perasaan kita. Adakah ia mengabarkan kebenaran, atau kepastian sebuah kesedihan dalam hati, dalam sebuah ukuran yang bisa ditetapkan oleh bilangan?

Lagi pula urusan seni – seni sastra – bukanlah urusan kebenaran. Apalagi kebenaran yang di atau hendak, kita cangkokkan dari dunia moral formal. Seni tidak berurusan dengan kebenaran semacam itu. Seni berurusan dengan permainan bentuk dan ide – bentuk dan ide yang telah tersedia di dunia, sebagai bentuk fisik alam maupun bentuk turunannya, di dalam segala macam bentuk dan lambang yang ada dan berkembang dalam alam manusia.

Saya kira istilah kritik sastra dalam sains sastra, keketatannya harus direnungkan kembali di dalam pemakaian konsep kritik, sebagai cara mendekati suatu karya sastra. Kalau kita kembalikan kepada mula respon manusia kepada gejala alam, alam fisik atau alam dalam dirinya sendiri, maka yang pertama-tama, dia bukanlah tampil sebagai pengkritik alam, tapi sebagai penikmat alam dengan segenap keheranan dan ketakjuban. Demikian juga dengan mula pertumbuhan manusia terhadap perasaan keindahan dalam memandang alam, yang kemudian dilekatkan oleh manusia itu ke dalam dirinya sendiri, mulai membentukkan pengalaman keindahannya ke dalam bentuk seni. Bahwa apresiasi semacam itu melibatkan unsur-unsur sastra yang dilihat melalui konsep-konsep sastra, dia mula pertamanya bukanlah hendak membuat suatu kritik, tapi sebuah apresiasi. Di mana sang pengarang bertemu dengan sang pembaca dalam resepsi pembaca yang menggunakan pelbagai perangkat sastra.

Atau biarkanlah ilmuwan sastra bermain dalam ranah kritik sastra dengan prosedur kerja kritik sastra yang ketat dalam sebuah sains sastra (sebuah kehendak yang harus kita hormati), sementara kita membiarkan tumbuhnya apresiasi sastra dengan pelibatan pendekatan terhadap sastra dari jurusan-jurusan manapun. Keduanya akan bertemu dalam satu titik garis singgung: ekpresi manusia dalam ranah bahasa, lebih sempit lagi dalam ranah sastra.

Tapi filsafat ilmu yang paling mutakhir menggemakan suara kepada kita, bahwa kita membutuhkan mesin seismograf hati, untuk dan agar sains sastra bisa mengatasi sains fisika.

ih asiknya hehe
beginilah nasib seekor hh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *