Sajak-Sajak Inggit Putria Marga

http://www.lampungpost.com/
Otak Kiri

air yang terjun menghempas diri ke batu-batu ketika kata-kata ini kukekalkan untukmu, takkan menyamai kudus bening nyanyian yang kau susupkan pertama kali ke telingaku. kidung yang membuat bumi, bagiku, menjadi sedikit longgar dan planet lain seolah berbercak ungu. tapi bebatu tempat air terjun itu terhempas, memulangkan ingatanku ke matamu yang suatu malam tak dapat terkatup pulas, bersinar rapuh dan emas. lantas kukenang engkau seperti pengkhayal mengenang masa lalu paling hulu. sesekali menangis haru, kadang-kadang mengerut malu. tapi air mata atau malu takkan pernah menjelma perahu (atau apa saja yang dapat membuat kita bertemu). maka kubertanya seakan padamu, masihkah perlu kulakukan itu?

2009

Golok Bapak

meski aku masih sakit, bagai nelayan memanen ikan
sebahagia itu dirimu kuharapkan
kepalaku jadi kebun penuh rumput
bukan kolam penuh gurame yang kau beri pakan tiap sore
aku gagal menemukan herbisida
yang dapat memperlambat pertumbuhannya
karena ahli gulma telah beralih jadi ahli agama
rumput juga ciptaan tuhan, kata mereka
saat wawancara di salah satu tv swasta
pada apa lagi aku berharap
bila obat yang dapat mencegah akar rumput merayap
kini langka bahkan lenyap
seperti api terinjak hujan berderap
meski belum tapi aku hampir gila
tentu bukan karena memikirkan masa depan dunia
tapi triliunan akar rumput yang menjalar dalam kepalaku
kini telah merayap dalam semua urat di tubuhku
mataku tak dapat melihat wajah sendiri di cermin
kulitku berhenti merasakan dingin angin
apalagi hatiku
sama bekunya dengan jalan yang membuatmu
sering jatuh sebab licin
lalu apa yang pantas kurasa selain nyaris gila?
aku tak dapat mencegah rumput keluar dari telinga
padahal kelak aku masih ingin dengar kau cerita
tentang juru selamat
yang akan tiba di salah satu sudut dunia
menyelamatkan alam semesta, mengajak kita masuk surga
dan macam-macam lagi cerita yang bagiku kini tinggal
angan muluk semata
bapak, jangan lupa
balas suratku saat tiga ayam jantanmu serentak berkokok
kirimkan bersama sebatang golok, barangkali
ia obat tercocok

2005-2009

Api Putih

sebenarnya aku tak pernah ingin memeram dendam padamu, tapi ulahmu lesapkan nyawa kawanku telah membuatku sepi dan sering bengong terpaku.

kerap teringat saat di suatu akhir pagi kami main jungkat-jungkit di pekarangan rumah gepi: teman yang sampai usia enam tahun belum bergigi. kau datang padahal entah siapa yang mengundang. langkah besarmu tenang mendekati kami yang seketika segemetar sapi di tepi jurang.

di hadapan kami, kau ceritakan hal-hal yang lebih indah dari mimpi-mimpi kami: kebun anggur di surga, hutan api di neraka, bidadari pemetik harpa di istana bunga, setan yang mendebu di kulit tubuh manusia. sembari bercerita kau belai kepala kami, matamu bercahaya seteduh suara manusia di pintu mati.

kami terpikat padamu, terpukau pada kisah yang bahkan tak pernah terucap dari mulut ibu. kawanku pasrah saat kau pangku. di telinganya kau berkata: ayo kita ke tempat-tempat itu. kawanku menatapmu, ia mengangguk, membiarkan kau menggendongnya ke jalan ke arah hutan. termangu aku pergi dari pekarangan, berharap tuhan tunjukkan jalan agar aku pun sampai di tempat yang terkisahkan.

saat matahari sore tak lagi bundar konde, terpencar kabar lelaki berumur enam tahun mati. perutnya bagai dikoyak belati. dialah gepi, temanku yang sampai usia enam tahun tak bergigi. tahukah kau, hatiku rumah sepi sewaktu tahu gepi mati.

aku lari ke rumah gepi. jejalan manusia bagai hutan bakteri. kata mereka, pantat gepi pun tertusuk kelamin laki-laki. aku tak mengerti. kupandang ibu gepi bentur-benturkan kepala di kursi. kulihat ayah gepi meraung berguling ke sana ke mari. aku menepi, pergi ke pekarangan, duduk tertunduk di jungkat-jungkit yang kami mainkan di akhir pagi.

sebenarnya aku tak pernah ingin menancapkan belati bapakku ke perutmu saat kau datangi aku lagi siang ini. tapi ketika kau ajak aku ke tempat-tempat yang kau kisahkan pada kami dua puluh tahun lalu, aku teringat: gepi lama lelap sendiri

di tempat yang lebih indah dari mimpi-mimpi kami.

2009

Suara Sahut-Menyahut, 5

hari ini, hamba, pohon kelapa, dengan sengaja menjatuhkan buah hamba di kepala
pendeta buta yang berjalan sendiri, yang menangis
meratapi kepergian tongkatnya
kemarin, kamu, pohon kelapa, dengan sadar telah melepaskan daunmu di tubuh
balita yang tersasar sendiri, yang terisak
mencari-cari botol susunya
besok, dia, pohon kelapa, dengan sepenuh hati akan merubuhkan batangnya di
mobil yang melaju sendiri, yang menggigil
memanggil-manggil pengemudinya

juli, 2007

Suara Sahut-Menyahut, 6

dengarlah!, ketika kami kabarkan padanya bahwa kaki matahari patah, ia malah menjejalkan sampah ke mulut kami, hingga kami pun muntah dan berangsur enyah
dengarlah!, saat mereka tunjukkan padanya dada matahari yang pecah
ia hanya memerah dan melemparkan ludah ke muka mereka yang merona bagai tomat mentah
dengarlah!, sewaktu kalian berikan padanya kepala matahari yang terbelah
ia cuma mendesah dan membalas kalian dengan serapah:
?memberi itu padaku sama dengan membakar kayu basah!?

Juli, 2007

Suara Sahut Menyahut, 7

apa yang muncul dari dupa yang akan kau bakar itu?
hamburan asap abu-abu atau pecahan kepala binatang yang dulu kamu buru?
siapa yang telah menyuruhmu membakar dupa itu?
sesosok dosa yang tak lelah-lelah mengejarmu atau sekelompok malu yang setiap hari bertelur dalam dadamu?
mengapa kamu membakar dupa itu?
agar mengapung aku yang terbenam di perutmu atau tenggelam kamu yang mengapung karena kutukanku?
kapan kamu akan membakar dupa itu?
saat tak ada lagi aroma yang ingin diserap oleh hidungmu atau
tak ada lagi udara yang ingin menyelinap ke dalam mulutmu?
di mana kamu akan membakar dupa itu?
di liang perawan yang kau gali dan tinggalkan itu atau di lubang perempuan yang dulu mengeluarkanmu?
bagaimana kamu akan membakar dupa itu?
dengan mengeluarkan air yang selalu tersimpan dalam mata kepalamu atau dengan menyemburkan darah yang kerap menetes dari mata kakimu?

Juli, 2007

*) Lahir di Tanjungkarang, Lampung, 25 Agustus 1981. Lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Berkesenian, khususnya teater dan sastra, di Komunitas Berkat Yakin, Lampung.

Leave a Reply

Bahasa ยป