Sakaw

Marniati Murtaba
kendaripos.co.id

Alam pikiranku dipenuhi kabut. Aku pun tak sanggup memastikan asal-muasal kehadirannya. Ia memenuhi ruang bawah sadarku. Kucoba menerjemahkan setiap kata yang terbesit dalam alam pikiranku. Coba-coba, ya? kata itulah yang selalu hadir di ruang hatiku.

Berita dari televisi tentang penangkapan korban sabu-sabu kemarin begitu menyita pikiranku. Setiap detik yang kulalui adalah gelisah dan penasaran yang meletup-letup. Kutatap dinding loteng yang juga dinding kamarku, kamar tempatku berbagi suka dan duka. Kamar yang menjadi saksi hitam putih kehidupanku dulu, kini, dan mungkin nanti. Aku membayangkan hidup yang telah kunikmati sejak dua puluh tahun yang lalu hingga saat ini. Dari segi materi, aku pun tak perlu memutar otak untuk hidup mandiri. Biaya kuliahku hingga semester tiga ini tak perlu melibatkan cucuran keringat ayah dan ibuku. Pak Haji dan Bu Haji, orang tua angkatku yang telah kuanggap seperti orang tua kandungku, tak pernah mengeluarkan keluh kesah meski hanya sepotong tentang biaya kuliahku. Biaya hidupku sehari-hari sudah bukan masalah. Cukup dengan mengisi bak mandi dua hari sekali, aku pun sudah membayar rasa malu, menumpang gratis di rumah orang lain.

Kasih sayang yang kuterima tak pernah habis. Sejak dari buaian hingga dewasaku, cinta mengalir makin bertambah deras, bahkan, kini semakin sempurna dengan hadirnya Bapak dan Ibu Haji di dalam ruang kehidupanku. Aku kadang merasa aku termasuk salah seorang yang paling beruntung di dunia.

Namun, sejak berita kemarin, aku merasa kehidupanku tidak lagi tenang. Ketenanganku terusik dengan hadirnya suatu gejolak yang pada suatu keadaan aku merasa kalau aku ini sudah gila. Tapi, pada keadaan lain, aku merasa betapa ini sangat aku butuhkan. Ah? aku menguap lebar.

Azan subuh berkumandang dari masjid kecil di belakang rumah disusul suara langkah kaki Pak Haji menuju kamar mandi. Pasti ia akan mandi, berwudhu, dan berangkat ke masjid. Sebelum berangkat, ia menyempatkan diri mengetuk pintu kamarku, mengingatkan untuk shalat berjamaah di masjid. Aku pun tahu, itu adalah ajaran bernilai sehingga aku pun tak pantas untuk membantahnya.

Sejujurnya, di subuh ini kurasa ada yang lain dari biasanya. Ada sesuatu yang kurang dalam diriku dan aku harus mencarinya, mencarinya hingga di ujung hayatku. Itu tekadku. Dengan langkah berat, aku bangkit dan menuruni tangga loteng satu per satu langsung menuju kamar mandi lalu membasuh wajah dan berwudhu. Kutarik sajadah dan kopiah dari dalam lemari dan segera aku menuju masjid. Shalat subuh berjamaah telah ditunaikan. Seusai shalat, Ustad Ridho, membawakan kultum dengan tema menyangkut tantangan generasi muda ke depan.

“Salah satu tantangan yang harus dihadapi generasi muda adalah menjauhkan diri dan memerangi perusak masa depan. Di antara perusak masa depan itu adalah narkoba. Narkoba adalah barang haram. Keberadaannya merusak jasad, ruh, dan pikiran manusia. Narkoba harus dimusnahkan, peran generasi muda sangat membantu usaha ini”. Demikian penutup kultum Sang Ustadz.

Aku diam seribu bahasa. Satu per satu jamaah sudah meninggalkan masjid. Aku termenung di tempatku sejak awal. Berdosakah jika aku mencoba? Bukankah niatku tak ingin merusak hanya ingin memperbaiki, apakah aku turut merusak moral bangsa? Apakah aku melawan aturan? Aku bimbang antara meneruskan ideku atau menghapusnya dari memori otakku.

Pikiranku memang aneh. Aku begitu penasaran untuk mencicipi benda maut yang telah menjadi musuh polisi, pemerintah, dan orang tua itu. Ribuan orang harus mendekam di hotel predeo ketika bersentuhan dengan barang ini. Bahkan, selebritas papan atas pun rela menggadaikan popularitas harus terkurung dalam tempat yang telah mereka sangka sebelumnya.

Ada apa sebenarnya dengan narkoba? Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu berkelebat. Ah, aku akan mencoba barang ini. Namun tak seorang pun boleh tahu.

Sebelumnya, aku harus tahu cara penanganan korbannya. Aku tak boleh mengalami ketergantungan padanya karena misiku hanyalah mencoba dan ingin tahu seperti apa daya pikatnya sehingga orang-oorang rela terjerumus memakainya. Setelah mencobanya, aku tentu bisa menolong orang yang jadi korbannya. Nah, bukankah maksudku sebenarnya mulia?

Kata-kata itu aku catat dengan tinta merah dalam buku harianku dan kuletakkan pada dasar lemari. Tekadku sudah bulat. Hari ini, rencana itu akan kumulai.

Pulang dari kampus aku tak langsung ke rumah. Langkahku kuayunkan menuju toko buku terbesar di kotaku. Kusisir setiap rak buku dan kutemukan pada rak buku kesehatan tulisan tentang penanganan korban narkoba. Aku harus mengetahui isinya. Aku mulai paham begitu banyak yang harus dilakukan untuk menyembuhkan para pecandu. Apalagi yang sudah sangat ketergantungan. Aku pun memilih buku yang berisi tentang upaya penyembuhan korban narkoba kelas ringan itu. Akulah calon korban narkoba kelas ringan itu.

Walaupun sudah bergeser dari waktu awal, aku tetap bersemangat. Tujuanku detik ini adalah menelusuri kota ini, mencari berita tentang keberadaan rumah sabu atau apa pun namanya. Ingat, hanya mencoba! itulah paragraf kedua yang sempat kutulis dalam buku harianku. Aku memakai baju, topi, dan sepatu kumal layaknya seorang pengemis. Langkahku pun mulai menuju ke arah selatan. Aku pernah mendengar dari teman kuliahku yang berasal dari desa itu bahwa ada bandar distributor terselubung di sana.

Di samping warung jagung bakar, aku berjalan mengendap-endap. Kudengar seseorang berkata, “Tenang, Bos. Di sini sudah ada pabriknya, semua aman terkendali”.
Hatiku berkata, ini bisa jadi petunjuk. Aku mendekat dan ada gejolak dahsyat yang memaksaku untuk berkata, “Di mana pabrik itu?” Aku tak tahu, ini awal yang baik ataukah buruk.

Lelaki itu terkejut. Seorang lelaki paruh baya sedang mengisap rokok. Asapnya dihembuskan ke udara, sebagian menghampiri wajahku. Aku tak peduli. Kepalaku kumiringkan. Kuberanikan diri untuk duduk di sampingnya. Rupanya ia tak sendirian. Di bawah kolong warung, seorang laki-laki perlente membakar jagung. Sang lelaki menatapku curiga. Lelaki berpakaian perlente itu mendongak.

“Kamu siapa?” Sepertinya ia penuh selidik dan curiga.
“Saya hanya seorang mahasiswa”.
“Sudahlah, kalian jangan sok suci. Ini kehidupan kami, tak usah saling mengganggu. Kami tak pernah menggantung hidup pada kalian,” lelaki paruh baya itu berkata dengan sengit. Aku tak mengerti.

“Apa maksud Bapak?” Aku bertanya dengan keheranan yang memuncak.
“Perlu anda ketahui, penduduk di sini hidup dalam kesejahteraan, keamanan, dan rasa saling memahami. Kami tidak senang jika ada orang lain yang merusak kehidupan kami.”

Kalimat itu lebih menggetarkan dada dibanding yang pertama. Sorot matanya begitu mengarah tajam padaku. Aku menggeleng-nggelengkan kepala tanda ketidakpahamanku semakin parah.

“Anda utusan petugas, kan” Anda ingin membongkar bisnis kami, memasukkan kami dalam penjara, dan membiarkan istri dan anak-anak kami terlantar? Bukankah kami mendapat izin atas hak kami untuk hidup layak??

Aku masih diam. Citraku di kampus sebagai orang yang pandai beretorika pudar di depan lelaki setengah baya ini. Aku yakin, dia bukan orang biasa.

“Aku ingin ikut kalian,” hanya itu kata yang mampu kuucapkan. Kata yang terlepas spontan seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Aku diseret segerombolan orang ke sebuah rumah kumuh di ujung desa. Kulihat ada orang yang mengisap darah dari kulit yang diirisnya, sebagian menyuntikkan jarum ke lengan temannya, sebagian tidur dalaam keadaan menjijikkan, pakaiannya compang-camping dan mulutnya berbusa.

“Kau pasti mata-mata. Jangan berpikir gila, tak ada coba-coba bagi kami. Kami bekerja professional,” lelaki perlente itu bergumam kasar, lebih kasar dari yang kuduga.

Ia menarik kerak bajuku dan membantingku di lantai. Kepalaku tertumbuk pada dinding.
“Jangan coba-coba menipu kami,” lelaki paruh baya itu angkat bicara lagi.

Dengan sangat bengis dan tanpa naluri, mereka memasukkan sesuatu ke dalam mulutku. Aku tak tahu apa itu. Aku merasa seperti biji-biji obat dicampur tepung. Aku berontak tapi tenagaku tak cukup ampuh mengimbangi jumlah mereka. Ternyata penghuni kamar lebih banyak dari perkiraanku. Mereka bermunculan dari segala pintu ruangan dan mengerumuniku, memegang tangan dan kakiku.

Mungkin inilah jalan kematianku. Dunia seketika berubah menjadi neraka. Sesal yang paling dalam menghantuiku. Aku hendak meneriakkan nama orang-orang yang kucintai tetapi itu sia-sia saja. Siapa yang peduli dan siapa yang bisa mendengarkan rintihan hatiku. Sebagian isi mulutku masuk dalam kerongkonganku. Air mataku mengalir deras menyatu dengan busa di bibirku. Kepasrahanku adalah dosa yang kuundang sendiri. Tak ada dayaku lagi. Entahlah, Tuhan masihkah akan menolongku?

Pada cengkraman mereka yang semakin kukuh, aku pun semakin yakin bahwa aku telah kalah. Terbersit dalam ingatanku yang telah makin rapuh bahwa kalau pun aku harus mati, aku telah menitipkan pesan bermakna dalam buku harianku:

“Untuk yang mau membaca, cukuplah diriku yang menjadi korban sebuah kedunguan. Janganlah mencoba benda larangan. Hilangkan prinsip coba-coba untuk sakaw. Bukankah diriku telah menjadi pelajaran yang patut disimak? Katakan tidak pada narkoba.”
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *