Moh. Samsul Arifin*
http://www.jawapos.com/
HARI masih gelap, saat perempuan tua 50-an tahun itu melawan kantuknya. Ia bangun. Seperti biasa, pergi ke dapur, menyalakan kompor, menanak nasi, dan memasak sayur. Yang dimaksud dapur tak lain adalah ruang 3 x 3 meter -yang juga merupakan tempat tidur, ruang tamu, dan ruang makan keluarga tersebut. Berbilang tahun ia tak lagi ditemani suami tercinta yang sudah mangkat. Tinggal dia bersama dua anaknya, laki-laki dan wanita yang berangsur dewasa. Aktivitas mandi, cuci, dan kakus tentu saja di luar bilik sesak itu.
Rampung mengurus masalah domestik, Rimpiyati -perempuan tua itu- bergegas keluar rumah. Dengan angkutan umum ia tempuh puluhan kilometer menuju Muara Angke. Di situ ia mengais rezeki -menjadi buruh nelayan- demi menghidupi dua anaknya. Rimpiyati tak boleh sakit. Sehari saja ia sakit, terbang sudah mimpinya untuk bisa mengepulkan asap dapur. Jarak Tambora-Muara Angke harus dilakoninya agar membawa pulang Rp 20 ribu per hari.
Oh ya, dua anaknya itu bisa lulus SMA lantaran dibantu sebuah yayasan sosial di kawasan Tambora, Jakarta Barat, yang peduli dengan janda tua seperti Rimpiyati. Di kawasan padat penduduk Tambora yang persis berada di belakang sebuah pertokoan besar. Di sampingnya ada sungai dengan air hitam pekat menusuk hidung. Kadang tumpukan sampah menggenangi sungai hingga membuat aliran airnya enggan cepat sampai ke hilir, pantai utara Jakarta.
Rimpiyati tidak sendiri. Masih ada ribuan jiwa -mungkin juga ribuan mimpi- tinggal di Tambora. Lingkungan sehat jauh dari perkampungan itu.
Rumah petak berjejalan. Tak ada teras, apalagi halaman untuk menghirup udara segar. Rimpiyati dan dua anaknya harus pintar berbagi ruang untuk bisa melepas penat, selonjoran di lantai, atau meluruskan punggung. Mereka pun berbagi waktu agar enak sama enak.
Bila hujan tiba, atap rumah acap kali tak mampu menampung air. Beberapa sudut rumah basah. Bahkan, air bisa menggenang jika hujan deras. Inilah saat tersulit bagi Rimpiyati dan dua anaknya. Berdamai dengan air yang menggenang sama dengan mengundang penyakit. Sedangkan orang miskin seperti dia dilarang sakit. Sebab, itu sama dengan tak ada penghasilan. Lagi pula, adakah rumah sakit di negeri ini yang memberikan layanan gratis bagi orang semacam Rimpiyati?
Tentu kita maklum, ada selaksa orang senasib dengan Rimpiyati. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Maret 2009, masih ada 32,53 juta jiwa
penduduk kita yang hidup dalam kemiskinan. Masih sekitar 14,15 persen dari total penduduk Indonesia. Sebut BPS, antara Maret 2008 hingga Maret 2009, pemerintah berhasil mengurangi 2,43 juta jiwa orang miskin. Seandainya pola itu bertahan, dibutuhkan sekurangnya 13 tahun agar angka kemiskinan menjadi nol.
Pun begitu ketidakadilan karib di negeri Pancasila ini. Memang ada program bantuan langsung tunai (BLT) yang dikucurkan untuk warga miskin sebagai kompensasi kenaikan harga BBM mulai 2005. Tapi, di negeri ini masih kita saksikan begitu mudahnya sebuah lembaga mencairkan Rp 6,7 triliun untuk
menalangi sebuah bank yang divonis bank sentral (BI) sebagai ”bank gagal berdampak sistemik”. Andai tak ada vonis itu dari BI, dana tersebut bisa dipinjam pemerintah untuk diberikan kepada 5,58 juta keluarga setahun penuh. Bukan tiga bulanan seperti dilakukan pemerintah selama ini.
Tuan Presiden, saya pernah membaca cerpen Agus Noor bertajuk Cerita buat Bapak Presiden. Di cerpen itu dikisahkan seorang tokoh bernama Kadosta, seorang penjual duku keliling yang bijaksana. Kadosta sangat pintar mendengar, penyakit komunal yang diderita kampung tempat Kadosta biasa berdagang. Jadilah Kadosta tempat warga kampung itu curhat.
Awalnya, Kadosta sangat terbuka. Itu mengantar Kadosta jadi pemimpin di kota tempat kampung itu berada. Di ujung cerita, Kadosta kewalahan waktu untuk mendengarkan. Bahkan, Kadosta menganggap konyol aktivitas mendengarkan keluhan warga. ”Bagaimana saya bisa bekerja kalau sepanjang hari saya hanya mendengarkan omongan dan cerita kalian?!” teriak Kadosta. Akhirnya, Kadosta memaklumkan ini ”agar seluruh warga
kota mendengarkan apa saja yang dikatakannya.”
Agus Noor sang perangkai cerita itu berujar, dirinya diilhami berita ihwal Tuan di harian ibu kota (27 Januari 2005). Di halaman delapan koran itu terpampang berita Melihat Perubahan dari Beranda Rumah Pak Manyar. Katanya, di rumah Pak Manyar, Tuan dan rombongan tim sukses semasa Pemilu Presiden 2004 mendeklarasikan Koalisi Kerakyatan. Pokok kata, Agus Noor ingin berkata: Kisah sukses Tuan menuju Istana Negara berawal dari mendengarkan! Ia belum lagi menulis apa kunci sukses Tuan mempertahankan jabatan presiden.
Tuan Presiden, MPR sudah melantik Tuan dan Wapres untuk periode kedua ini. Tuan memilih nama-nama ini di jajaran tim ekonomi: Hatta Rajasa, Sri Mulyani Indrawati, Mari Elka Pangestu, M.S. Hidayat, Mustafa Abubakar, hingga Suswono. Bolehkah kami berharap dan menitipkan masa depan di pundak Hatta cs?
Para menteri itu pasti tahu angkatan kerja di negeri ini terus bertambah setiap tahun. Per Februari 2009 ada 113,74 juta angkatan kerja atau bertambah 2,26 juta bila dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu. Adapun angka pengangguran masih 8,14 persen atau sekitar 9,25 juta. Tergolong besar bukan! Apalagi jika geliat pemutusan hubungan kerja (PHK) tak bisa diredam.
Kami pun mendengar jika Tuan menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen per tahun (belakangan direvisi jadi 7-8 persen). Tidak terlalu muluk. Tuan realistis. Namun, benarkah Tuan jika pertumbuhan sebesar itu bisa menyediakan lapangan kerja bagi anak bangsa?
Dulu, asumsi tersebut dipegang kuat. Setiap pertumbuhan 1 persen akan membuka 400 ribu lapangan kerja. Asumsi itu kini direvisi, 1 persen
pertumbuhan ekonomi ditaksir hanya akan menyerap 375 ribu lapangan kerja baru. Dengan target 5 persen pada 2010, berarti hanya 1,875 juta lapangan kerja baru yang bisa diserap. Malah, sebagian ekonom memprediksi harga 1 persen pertumbuhan hanya sanggup menampung 300 ribu lapangan kerja.
Duhai, padahal BPS menyebut setiap tahun ada 2-2,4 juta angkatan kerja baru. Cekak bukan? Padahal, per Februari saja, sudah 113,74 juta angkatan kerja yang butuh pekerjaan untuk bisa hidup dan produktif sebagai manusia. Bagaimana pemerintah menjawab tantangan ini? Apakah tak ada opsi untuk mendongkrak mesin pertumbuhan, Tuan? Apa Tuan berpikir hal ini sebaiknya diserahkan kepada pasar dan swasta? Pasar bukan dewa kan?
Bukankah negara direpresentasikan oleh pemerintah, boleh turun tangan agar ekonomi tumbuh subur, pasar bergeliat bahkan hingga sektor-sektor riil yang terhubung dengan rakyat kecil (pedagang kelontong atau pedagang kaki lima)? Sektor ekonomi yang sejak 1997-1998 diakui paling lentur dan tangguh menghadapi krisis.
Saat dilantik, Tuan berjanji meningkatkan kesejahteraan, membangun demokrasi, dan menegakkan keadilan. Itu tiga hal yang merangkum kerja besar Tuan sebagai presiden. Tuan punya lima tahun lagi untuk ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Selamat bekerja dan biarlah
suara-suara bising bak lebah itu mengikuti langkah Tuan. Tidakkah Tuan tak pernah mau kerja dalam sepi? (*)
*) Penulis buku Perempuan Punya Pilihan!