S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/
INI gaun terindah yang kumiliki. Kutisik dengan peniti hati, kusulam dengan benang jiwa. Setiap rendanya adalah tembang hatiku saat membayangkan malam yang agung bersamamu. Setiap rajutannya adalah senandung doa tentang masa yang akan kita jaga.
Kekasih, kau adalah lelaki pertama yang kupercaya menghantarkanku ke pesta. Padamu kupercayakan sebentuk hati yang kelak harus kau jaga.
Kubiarkan setiap mata mengejamu sebagai paro nyawaku. Sukma yang kelak memanjakan pada setiap keluh.
Engkau datang tepat saat gaun itu sempurna membalut tubuhku. Aku berkaca, keindahan bagai diturunkan dari ketinggian nirwana. Bukan karena gaun itu putih sempurna, tapi kilau hatiku yang melampaui awan tanpa mega. Bukan karena selendang keemasan yang melengkapi warnanya, tapi cahaya bahagia yang hanya bisa dirasai Kamaratih kala berjumpa Kamajaya.
Aku mengangguk takzim di hadapanmu. Ungkapan terima kasih atas kesabaranmu menungguku merapikan diri. Menata hati atas kegugupan saat hendak melangkah di sisimu. Di depan ribuan tatap mata di pesta itu. Tapi, tatap lembutmu menenangkanku. Dengan santun kau jaga aku meniti tapak demi tapak ke altar agung. Aku merasa nyaman, umpama tangkai tersemat di dahan. Aku bermantel damai, melebihi kedamaian yang dijanjikan puncak ketenangan.
Di antara jiwa-jiwa yang ria, aku merasa paling bahagia. Di antara gegap gempita pesta, aku hening, memaknai seluruhmu yang nyata di sampingku. Hingga pesta usai, hati kita tak masai.
Malam itu kita melangkah di atas nada jiwa. Suara menjadi kersik yang mengurangi makna. Kata menjadi penanda yang tak kita pilih untuk menyampaikan seluruh denting rasa. Diam menjadi lebih agung dari segala racikan doa. Tarikan napas menjadi ketuk dawai yang lebih lembut dari gamelan Jawa. Malam kita tutup tanpa pesan. Karena perpisahan menjadi hantu paling menakutkan bagi jiwa yang menabur pengharapan.
Esok adalah janji hati untuk semakin mengukuhkan panji. Kau hadapkan aku pada wanita agung yang membuatmu mengada di dunia. Kau kenalkan aku pada laki-laki yang kau sebut bapak. Kau sambangkan aku pada kerabatmu sebagai wanita pilihan yang akan kau satukan dengan empu kehidupanmu. Tak ada kata yang mewakili ungkapan bahagia, tak ada bahasa yang melampaui suka. Aku menunggu, di mana hari menjadi batas bagi jalan-jalan yang kita lempangkan. Aku tak meragukanmu!
Kemudian kita saling memanai waktu. Menghitung yang lalu dan tiba. Menjuntai yang mungkin dan yang musykil. Aku mendapatimu bagai petarung yang terluka. Aku ingin membalut setiap sayatan di tubuhmu, tapi carikku tak pernah sampai. Aku ingin mengeringkan setiap tetes darahmu, tapi tanganku telah lunglai. Kau diam laksana patung Brahmana tanpa dosa. Kau acuhkan aku yang menggapai hingga masai. Terbentur pada seluruh angkuh yang kau cipta.
Aku mengingatkanmu tentang jalan kita. Kau diam. Aku melangkah sendirian, mengungkai seluruh kenang yang memungkinkan kau kembali ke jalan itu. Tapi aku semakin limbung. Kutarik bongkahan masa lalu yang memberatkan seluruhku. Engkau diam di entah. Hingga aku hempaskan segala beban.
“Kekasih, akankan kita lanjutkan perjalanan. Atau kuhapus setiap tapak yang pernah kita jejak?”
Kau diam bagai gitar tanpa temali. Hatiku merasai beban batinmu.
“Jika kau tak sanggup lanjutkan, mari istirahat. Pohon rindang akan memulihkan tenagamu. Jika kau terluka, aku yang akan mengobati. Jika kau takut dengan masa depan, lihatlah, aku punya selaksa pengharapan untuk menegarkanmu. Aku siap memapahmu sampai di menara-menara suci. Apa yang kau ragukan pada seluruhku?”
Kau tetap diam menyamai kesunyian siksa.
“Kekasih, aku tak kan meminta yang tak kau beri. Aku tak kan mengharap yang tak kau punya. Aku ikhlas pada yang ada.”
“Ada yang tak kau ketahui.” Aku terkesima, suara itu seperti telah berabad kunantikan.
“Aku tak sebaik yang kau kira, aku tak sesuci yang kau sangka.”
“Adakah aku ingin dikhitbah malaikat. Apakah aku mendamba menikah dengan nabi? Aku juga manusia biasa. Aku tak menengok masa yang telah binasa. Esok adalah masa yang akan menyucikan kita. Menyepuh setiap dosa, sebelum kembali pada ridho-Nya. Apa lagi yang kau ragukan?”
Kembali kau diam, melebihi tapa gunung-gunung. Kulihat bimbang pada seluruhmu. Untuk pertama kali aku meragukanmu.
“Ada yang lain?”
Engkau tertunduk, melampaui kedalaman ceruk.
Kata-kataku habis. Hatiku lebih hening dari gugusan batu. Kita biarkan ombak mengamuk, halilintar bergemuruh, angin menggoyahkan semesta. Kabut turun, alam mulai menampakkan kengerian. Dalam getar kerapuhan, lirih aku mengeja….
“Kekasih……jika karena luka, aku masih sedia. Jika karena dosa, aku bisa terima. Tapi karena yang lain…aku tak punya kata.”
Kau menunduk tanpa daya.
“Jangan pergi,” ketakutanmu sebanding bayi merah kehilangan ibunya.
“Apa yang kau beratkan dariku?”
“Kau satu-satunya wanita yang pernah kuhadapkan pada empu kehidupanku.”
“Karena itu aku percaya, karena itu aku tak ragu. Tapi… pengkhianatan melebihi belati tajam yang mengoyak jantungku.”
“Bertahanlah.”
“Untuk apa?”
Tundukmu menembus pusat bumi. Terpekur pada geming sempurna.
“Aku bisa pahami kekhilafan, tapi aku tak bisa menyakiti hati lain, hati perempuanmu.”
Hening… tetes-tetes bening mewakili denting.
***
Sahara menuntunku merindukan oasis. Aku sisir hamparan pasir bersama kengerian angin gurun. Entah di mana tepi, di mana ujung. Kaki terus melangkah. Tapak-tapaknya dibimbing oleh arah yang belum pernah kujamah. Aku memandang sekeliling. Dari seluruh penjuru, tak kudapati penanda kehidupan. Hanya tebaran pasir diterpa percik-percik terik.
Aku menghela, kadang Tuhan menghendaki manusia benar-benar dalam kesendirian mengarungi padang hidup yang tepinya entah di mana. Tapi di sanalah kita benar-benar bersama-Nya. Keyakinan itu mengukuhkan kalbu untuk melanjutkan apa yang seharusnya. Aku bersimpuh, ingin menanggalkan apa-apa yang harus kutinggalkan.
Tundukku sebanding takzim para sufi.
“Roby…..aku bukan Siti Hajar. Yang begitu tulus melepas suami tercintanya dengan hati lain. Tapi beri aku kebesaran hati seperti yang Kau anugerahkan kepadanya.
Aku bukan Ibrahim, yang ikhlas menyerahkan kepada-Mu anak semata wayangnya. Tapi, beri aku keikhlasan serupa ketika Kau ambil apa-apa yang tak harus kujaga.
Aku bukan Nabi Isa, yang menyerahkan pipi kanannya ketika ditampar pipi kirinya. Tapi berikan aku percikan pemaafnya, untuk menerima setiap duka yang tak kuduga.
Kudongakkan kepala, menatap jauh cakrawala. Kudapati bersih sempurna, petanda hujan tak kan tiba. Kuteringat sehelai gaun pesta. Putih serupa. Kan kulipat dengan jemari jiwa. Kusimpan pada lemari hati yang mungkin tak kan kukenakan lagi.
Bandar Lampung, Ujung 2009
– Happy birthday my best friend Eli D., 25 Desember 2009
– Kado untuk telaga hatiku, 28 Desember 2009