Maghfur Saan
http://www.suarakarya-online.com/
Sungguh fantastis! Tiba-tiba pemahat yang biasa menjajakan hasil pahatannya ke segenap lorong dan jalan itu mendadak terkenal.
Hasil pahatannya diburu orang. Tiap hari ratusan bahkan ribuan orang datang ke rumahnya ingin mendapatkan hasil pahatannya itu. Tentu saja ia tak pernah lagi menjajakan ke mana-mana.
Anehnya berapapun banyak pesanannya selalu disanggupi. Semua pembeli juga merasa senang.
Padahal lelaki setengah baya itu tidak pernah kuliah di jurusan seni termasuk seni pahat. Ia hanya lulus SMP dan belajar memahat secara otodikdak.
Sejak ia terkenal, banyak para pengamat seni dan wartawan media cetak dan elektronika datang untuk mengadakan wawancara dan mencari tahu banyak hal tentang seni pahat, yang akan ditulis di koran atau ditayangkan di teve.
Tapi pemahat itu selalu diam. Ia selalu bilang tak tahu apa-apa dan tak bisa menjelaskan apa-apa tentang seni.
Dengan pemahat itu mengambil sikap diam, para pengamat dan wartawan malah lebih antusias mengorek keterangannya.
Kemudian banyak pendapat bermunculan. Ada yang beranggapan ia sengaja menyembunyikan teori dan keahliannya, ada yang beranggapan kekuatan rahasianya memang terpendam, ada juga yang berpendapat ia memperoleh wangsit.
Akhirnya para pengamat malah sibuk saling mempertahankan pendapatnya sendiri.
“Tak ada karya seni yang bebas dari teori dan keahlian,” ujar beberapa pengamat yang suka mendasarkan tulisannya pada teori dan kajian-kajian ilmiah.
“Seni itu bagaikan samodra. Ia menggelombang tapi menyimpan berbagai rahasia. Kekuatannya justru ada pada rahasianya itu sendiri. Ia bahkan bisa mengangkat tata praktis di atas tata rasio sebagaimana kata Friedrich von Schiller. Bisa menghaluskan budi pekerti,” ujar yang lain.
“Saya yakin wangsit ada di balik ketenarannya,” ujar yang lainnya lagi.
Pengamat dan wartawan menjadi sama sibuknya dengan para pembeli. Mereka betah berjam-jam menunggu kata-kata sang pemahat sambil diskusi sendiri-sendiri.
Mereka pun sibuk memasang tulisan-tulisannya yang dimuat di koran-koran pada dinding rumah sang pemahat.
Bagi para pengamat, ucapan sang pemahat menjadi sesuatu yang sangat penting. Melebihi hasil pahatannya itu sendiri.
Oleh sebab itu dengan berbagai cara mereka memancing agar pemahat itu bersedia mengeluarkan ucapan-ucapannya tentang hasil karyanya.
Tetapi pemahat itu tetap saja diam. Bahkan pembeli pun ikut diam. Setiap wartawan dan pengamat yang mau mengorek pendapat para pembeli misalnya tentang mutu dan keindahan serta motivasi mengapa membeli pahatan itu, selalu tak dijawab.
“Mungkin ini ada kaitannya dengan politik,” tiba-tiba celetuk seorang wartawan kepada temannya.
“Politik? Politik yang mana?” tanya teman-temannya.
“Ini kan menjelang Pemilu,”
“Nggak, nggak ada. Tak ada kaitannya sama sekali antara pahatan dan politik.”
Lantaran rumah dan pekarangan sang pemahat itu sempit, para pembeli berdesak-desakan.
Mereka banyak yang jatuh sakit. Untung belum sampai ada yang meninggal. Ketika polisi mencoba menertibkan para pembeli, sia-sia.
“Mungkin teman-teman wartawan bisa menulis semacam ajakan agar masyarakat bisa tertib atau bahkan menyadarkan mereka agar tak membeli pahatannya lagi,” ujar polisi kepada wartawan. “Bagaimana mungkin mereka mau disadarkan, ditanya mengapa membeli saja mereka tutup mulut,” kata para wartawan.
Kemudian polisi menemui seorang tokoh politik yang sedang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, minta agar tokoh politik itu menyadarkan masyarakat. “Ini sebuah fenomenon, jadi tidak bisa dicegah,” ujar tokoh politik itu. “Apa saja dan siapa saja bisa muncul menjadi fenomena.” “Apakah politik tidak bisa menjamah fenomena seperti itu?” “Tidak! Mungkin itu bagian dari tugas para ulama, sosiolog, atau antropolog.” “Tapi ini kan menyangkut masalah keamanan.”
“Kalau sampai terjadi kekacauan dan banyak yang mati, sedang polisi tidak bisa berbuat apa-apa, baru kami yang bicara bahwa polisi tidak profesional. Ha ha ha!”
“Mestinya semua lapisan bisa bekerja sama menciptakan ketertiban. Bukan seperti ini.
Para wartawan malah ikut-ikutan meramaikannya ke koran dan teve. Sudah tentu masyarakat yang tidak tahu jadi tahu dan berbondong-bondong kemari,” kata polisi itu lagi.
“Mengapa tidak Bapak tangkap saja mereka?”
“Mana mungkin polisi bisa menangkapnya sedang mereka selalu berdalih demi kebebasan informasi?”
“Bapak memang harus hati-hati tapi tegas dengan tetap mengedepankan hukum.”
“Saya memang heran, saat daerah lain ramai-ramai bicara tentang politik, ramai-ramai memasang bendera parpol, baliho, spanduk dan lain-lain, orang-orang sini malah tak mempedulikannya.”
“Ya, kembali tentang fenomena.”
“Oya, Bapak sendiri tidak tertarik untuk melibatkan diri memanfaatkan situasi ini untuk kampanye?”
“Maksudnya?”
“Biasanya politisi sangat cerdik memanfaatkan situasi.”
“Jadi saya harus masuk lalu menyebar pamflet, stiker, atau yang lainnya mumpung di sini berkumpul banyak orang?”
“Tepat sekali!”
“Maaf, saya bukan politisi murahan. Tak sedikit pun terlintas dalam pikiran saya untuk melakukan tindakan konyol seperti itu.
Saya selalu menggunakan kecerdasan bukan kelicikan.”
“Kalau begitu maafkan saya,” ujar polisi itu takut kalau politisi itu tersinggung.
Wartawan dan pengamat seni merasa gagal mendapatkan hal penting dari sang pemahat dan pembeli.
Sedang polisi semakin dihantui oleh kekhawatiran bakal terjadinya kekacauan. Jika hal itu terjadi, pasti polisi yang kena getahnya.
Mereka bingung sendiri.
Mau tegas jangan-jangan dituntut karena dianggap melanggar HAM, mau diam jangan-jangan dituduh tidak profesional. Padahal hari pencoblosan pemilu legislatif kian dekat.
Jika terjadi kekacauan polisi pasti ikut dituduh sabotase untuk menggagalkan pemilu. Tentunya sebuah pertaruhan yang harus dibayar sangat mahal.
Untung kekhawatiran itu tidak sampai terjadi. Beberapa hari menjelang pemilu legislatif suasananya mulai tenang. Para pembeli yang datang mulai sedikit. Sedang saat hari pemilihan bahkan tak ada sama sekali. Benar-benar sepi.
Tentu saja hal itu mengundang berbagai pertanyaan di kalangan wartawan. Sedang polisi justru merasa lega.
Tapi keanehan baru, muncul. Ketika rumah sang pemahat sudah sepi, rumah sang calon legislatif mendadak jadi ramai. Dua hari sejak pemilihan rumah sang caleg ramai didatangi ribuan orang. Kebetulan sang caleg itu jadi. Ia terpilih menjadi anggota dewan.
Polisi kembali sibuk.
Mereka kembali khawatir.
Kekhawatiran mereka malah lebih besar mengingat yang berdesak-desakan justru terjadi di rumah caleg jadi. Jika terjadi kekacauan dan caleg jadi itu meninggal, risiko yang ditanggung polisi menjadi sangat besar.
“Bapak tidak boleh main-main,” ujar wartawan kepada polisi.
“Harga nyawa seorang anggota dewan sangat mahal. Melebihi harga rakyat biasa termasuk kita ini.”
* * *
Polisi kian khawatir. Melebihi kekhawatiran saat terjadi keramaian di rumah sang pengamat.
Para wartawan pun ikut datang dan mewancarai sang caleg yang terpilih itu. Pertanyaan mereka bukan seputar program kerja atau misi dan visi tapi banyak seputar keajaiban yang terjadi.
“Ya, karena fenomena,” ujar sang caleg.
“Kalau begitu sungguh luar biasa fenomena yang ada pada masyarakat kita,” ujar salah seorang wartawan.
“Memang begitulah.”
“Tapi apakah mungkin sebuah fenomena datang dengan sendirinya tanpa rekasaya?”
“Maaf, pertanyaan Anda sepertinya menyudutkan saya. Saya punya hak untuk tidak menjawabnya.”
Para wartawan saling berbisik. Mereka merasa aneh atas respon sang caleg tersebut.
“Tidak seharusnya bakal anggota dewan cepat emosional seperti ini,” bisik-bisik mereka.
“Beberapa hari dan bulan kemudian, caleg itu tampak supel dan santun. Begitu terpilih sikapnya malah ikut berubah drastis,”
“Ini fenomena juga!” bisik yang lainnya lagi.
“Ketika para wartawan saling berbisik, datang sebuah tim ke rumah caleg jadi tersebut.
Mereka terdiri dari petinggi kepolisian, KPUD, Panwasda, dan beberapa tokoh parpol.
Bersama mereka datang juga sang pemahat yang baru saja didatangi ribuan orang. Sang caleg dan para wartawan kaget.
“Maaf, Anda terpaksa berurusan dengan kami. Anda dituduh memanipulasi massa dengan cara-cara sangat tidak biasa dan licik,” kata seorang petinggi kepolisian kepada sang caleg.
“Ada apa ini?” tanya caleg jadi tersebut. “Begini,” sela seorang anggota Panwasda, “Banyak laporan yang mengatakan bahwa Anda telah bersekongkol dengan sang pemahat untuk menciptakan opini sesat kepada masyarakat demi keuntungan Anda sebagai caleg.”
“Opini sesat?”
“Anda telah menyebar tim untuk menjerat ribuan orang membeli hasil pahatan sang pemahat ini dengan dalih untuk keselamatan.
Menurut laporan yang kami terima Anda telah menciptakan suasana ketakutan massa dengan mengatakan bakal terjadi bencana penyakit menular yang dahzat.
Barang siapa yang ingin selamat harus membeli hasil pahatan di rumah pemahat ini tapi harus tutup mulut.
Sedang saat memberi pahatan, pemahat ini berpesan agar pembeli harus memilih Anda. Itu pun harus tutup mulut.”
“Bagaimana mungkin Bapak-bapak percaya begitu saja pada kabar murahan seperti itu?”
“Kami sudah mengadakan pengecekan yang mendalam.”Para wartawan manggut-manggut lalu berebut bertanya kepada sang pemahat.
“Sekarang Sang Pemahat sudah mau menjawab, kan?”***
* Batang 2009.