Kegetiran di Balik Teater “Burung Merak”

S. Jai *

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
ia telah membunuh bapaknya
(Dari Sajak Rendra, Balada Terbunuhnya Atmo Karpo)

SAJAK yang hampir surealis dan fantastis ini lengkap dibacakan dengan memikat oleh sutradara dan pimpinan Komunitas Celah Celah Langit, Iman Soleh. Sajak ini pula yang menginspirasi Putu Wijaya menebar spirit WS Rendra (alm) untuk -memilih sudut pandang baru- dalam monolog Burung Merak di Universitas Airlangga, Selasa (17/11) malam. Putu mengeksplorasi dialognya “mengapa anak bersedia membunuh bapaknya?” “Kenapa bapak bisa terbunuh oleh anaknya?”

Memang dari rangkaian tour-nya di beberapa kota di Jawa, memperingati 100 hari wafatnya WS Rendra, monolog Putu Wijaya menyebarkan kembali ajakan penyair dan budayawan besar itu untuk “berani melawan kekuasaan yang mencengkeram kebebasan berekspresi,” “kembali mempertimbangkan tradisi” dan “gagah dalam kemiskinan.”

Bermula dari balik layar putih belakang panggung, separuhnya memerah oleh semburan cahaya, muncul lelaki mengenakan sarung, kemeja, kopiah serba hitam, dan selembar syal melilit leher. Selanjutnya aktor dan sutradara Teater Mandiri itu menyampaikan dialog-dialognya di panggung hampir dua jam lamanya. Seringnya bayangan tubuh aktor yang jatuh di layar, sungguh di luar dugaan saya sebagai penonton, diam-diam bayang-bayang Putu Wijaya sebagai awal monolog Burung Merak selanjutnya menyulut hebat kegetiran saya.

Sesungguhnya kegetiran ini sudah menyusup ketika menyaksikan penonton yang malam itu menyesaki gedung pertunjukkan. Bisa jadi membludaknya penonton ini di luar dugaan Fakultas Ilmu Budaya Unair selaku Tuan Rumah. Betapa antusiasme teater Surabaya luar biasa. Mereka rela antre puluhan meter sebelum di pintu ruang pertunjukkan. Penonton pun tumpah di mulut gedung yang memang tak memadai untuk pagelaran teater ini.

Yang menggelikan sebetulnya adalah pertanyaan mengapa ini terjadi di Surabaya selaku tuan rumah. Mungkin di antara ratusan penonton ada yang tidak mengenal Putu Wijaya, belum mendengar WS Rendra. Barangkali pula tersihir nama besar WS Rendra, selain tentu terdorong rasa ingin tahu perihal Putu Wijaya. Meski tentu saja tak sedikit dari mereka memang punya pengetahuan teater dan karena itu menguji pengetahuannya atas karya Putu Wijaya dan gagasan-gagasan WS Rendra.

Kegetiran di balik layar monolog Burung Merak bukanlah perihal penonton seperti ini. Kegetiran lebih pada rasa cemas dengan teater itu sendiri: di kota ini, Surabaya dan juga perihal Jawa Timur. Kiranya, diantara kita utamanya penonton yang cukup punya pengetahuan tentang Putu Wijaya dan WS Rendra menyadari betul bahwa tidak satupun seniman-seniman teater di kota ini, bahkan di negeri ini yang tidak pernah belajar pada dua suhu drama yang dikenal bahkan sampai luar negeri. Keduanya seorang yang gigih memperjuangkan kebudayaan tidak saja di bidang teater melainkan juga sastra dan gagasan-gagasan kebudayaannya.

Dengan kata lain, kegigihannya jelas tak cukup apalagi hanya untuk menjadikan keduanya monumen. Baik monumen hidup maupun monumen setelah meninggal. Karena setiap monumen nyata seringkali hanyalah suatu cara lain untuk membunuh spirit kegigihan suatu perjuangan dalam hal ini kebudayaan. Monumen hanyalah bukti ketidakmampuan kita untuk mempelajari, mewarisi, menyemangati, dan menjadikan spirit hidup menyongsong kebudayaan masa depan. Karena itu dibutuhkan suatu atau sebuah monumen untuk menghibur diri, menipu diri atau lebih tepatnya mengakui keberadaan puncak masa lalu tapi tak pernah bisa menghadapi masa depan dengan kegagahan.

Inilah kegetiran di balik pertunjukkan monolog Burung Merak Putu Wijaya, yang tidak semua menyadarinya. Atau mungkin sebagian telah mengetahui tetapi tidak merasakan. Atau sebaliknya, telah cukup banyak yang tahu tapi enggan mengakui, alias tak punya kejujuran menyatakannya. Meskipun bukan mustahil lebih banyak yang tidak tahu dan cukup merasa bangga menyediakan diri menjadi penonton teater bagi tokoh teater hebat sekaliber Putu Wijaya.

Saya sendiri berdecak kagum dan mengakui Putu Wijaya adalah inspirasi dunia teater kita. Betapa dalam usia yang hampir kepala tujuh (66) ia masih energik membawakan lakon Burung Merak dalam durasi hampir dua jam. Apalagi, ini hanya monolog yang dalam rumus proses kreatif Putu Wijaya sebagaimana kita tahu, monolog menurutnya adalah cara enteng, murah, cepat untuk menghidupkan teater. Puncak-puncak pencapaian teaternya justru pada gagasan penyutradaraannya pada Teater Mandiri dalam “Teater Tontonan” (Temu Teater 1984, Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Cipta) dan “Teater Terror” yang saya kira ini spirit baru dari Teater Kejam-nya, Antonin Artaud. Putu Wijaya kelahiran Tabanan Bali dan Antonin Artaud menggali spirit teaternya dari Teater Bali. Seperti diketahui, selain juga puncak pencapaian estetikanya Putu Wijaya dalam arus kesadaran baru (stream of consciousness) dalam karya-karya sastra novel dan cerpen-cerpennya.

Miskin Sejarah dan Kritik Teater

Kegetiran ini terang sekali terjadi atas nasib teater di Surabaya -juga Jawa Timur. Ada monumen hidup. Ada monumen mati. Yang pertama jelas lebih banyak tak berarti ketimbang yang kedua. Yang pertama boleh dikata lebih banyak menganggu bakal munculnya gagasan-gagasan teater ketimbang yang kedua. Yang pertama bisa saja disebut nama Akhudiat. Dan yang Kedua Basuki Rachmat. Dua nama ini pantas disebut karena sejarah dan kritik teater mengungkap dua-duanya “sekaliber” Putu Wijaya atau WS Rendra.

Perlu ada tanda petik pada kata sekaliber untuk menghindari polemik yang bisa melantur tak berguna. Nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan orisinalitas kentrung rock dan mendunianya ludruk (Istilah alm Profesor Umar Kayam). Melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat teater ludruk campur kentrung mendunia berkat lakon-lakon Bertold Brecht, semacam Darmi-Darmo dan Lingkaran Keadilan dan dipentaskan keliling Indonesia. Estetika teater Surabaya mampu menembus khazanah “Teater Indonesia.”

Bahkan mencuatnya Teater Sampakan di Surabaya sempat mempengaruhi gaya teater Yogyakarta yang kiranya perlu dicatat pencapaiannya dan penting bagi sejarah teater Surabaya. Melalui Emha Ainun Nadjib yang memang pernah bergaul dengan anak-anak Bengkel Muda Surabaya (BMS -tempat Akhudiat dan Basuki Rachmat besar dan membesarkan teater), pada saat Yogya dikuasai gaya Mataraman Bengkel Teater Rendra, gaya sampakan merasuk dan diproses Teater Dinasti yang berlanjut Teater Gandrik, Teater Paku sebelum akhirnya menjadi semacam aliran yang mewabah dan dianut oleh sebagian besar grup teater di seluruh Indonesia.

Boleh dikata BMS ketika itu menjadi kelompok teater yang kaya eksperimen?sebagai proses berkesenian yang memang mutlak menjadi spiritnya. Sebagai penulis naskah, nama Akhudiat semakin menanjak jauh. Beberapa naskah eksperimentalnya memenangi Lomba Penulisan Naskah yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Menulis lakon sejak tahun 70-an, antara lain Graffito (1972), Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975), Re (1977), dan kesemuanya memenangkan sayembara penulisan lakon versi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Yang menggelitik beberapa seniman teater, adalah ketika dianggapnya Akhudiat sebagai monumen hidup teater Surabaya sebagaimana diungkapkan sutradara Zaenuri usai pertunjukkan “Burung Merak.” Bahwa selama Akhudiat masih ada, Surabaya tidak bakal ada sutradara yang muncul ke pentas teater nasional, karena selalu di bawah bayang-bayangnya, sekalipun pencarian idiom teater oleh dramawan-drawaman muda menemukan orisinalitas bahasa.

Mungkin kenyataan itu tidak selamanya benar, kendati tak berarti salah. Setelah Akhudiat betul-betul tak ada nama dramawan yang tampil di pentas nasional. Meskipun sederet nama sebetulnya telah ada dalam baying-bayang Akhudiat. Sebut saja beberapa misal, Meimura, Amir Kiah, Luhur Kayungga, Zaenuri, Rachmat Giryadi dan masih bisa ditambah beberapa lagi juga dari daerah seperti Malang, Sumenep, Jember dan lain sebagainya.

Kenyataannya memang Akhudiat masih hidup, dan sepanjang dia hidup, utamanya bagi pengamat-pengamat teater dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Makasar, Padang dansebagainya, dramawan Surabaya hanyalah Akhudiat. Barangkali pula ini pernyataan yang perlu direnungkan Akhudiat, ketika Rendra (alm), Putu Wijaya, Arifin C Noer (alm), Landung Simatupang, Riantiarno, Teguh Karya (alm), Slamet Raharjo, Suyatna Anirun (alm) bersemangat mentransfer spirit teaternya pada anak-anak didiknya, lantas apakah Akhudiat tidak mengalami kegetiran melihat teater Surabaya sedemikian nelangsa?

Di tahun 1990 sejarah teater sebagai tontonan pun menempatkan kelompok-kelompok seperti Teater Ragilnya Meimura dan Teater API cukup disegani, setidaknya juga dalam hal keras kepalanya pada proses berteater. Pada era-era itu sebetulnya banyak orang berharap pada sosok sutradara muda yang gemilang Zaenuri, ketika drama Nyai Adipati memukau para kritikus teater dalam ajang bergengsi Temu Teater Indonesia 1993. Belum lagi, puluhan komunitas teater lain di luar daerah terus mencari diri dalam setiap pertunjukkannya, keras kepala menemukan estetika dan bentuk pengucapan bahasa-bahasa teaternya sendiri pula.

Teater di Jogjakarta munculnya teater Garasi yang dipelopori Yudi Ahmad Tajudin, bermula dari kampus UGM menarik untuk disimak sebagai teater yang “sangat modern” meninggalkan jauh kelompok-kelompok teater “modern” yang marak sisa peninggalan gaya Mataram dari Teater Dinasti dan Bengkel Teater Rendra dan sebagian lagi teater sampakan yang “diimpor” dari Surabaya. Solo saya kira tidak banyak yang bisa saya catat selain belum bergesernya dari puncak pencapaian estetika Teater Gapitnya almarhum Bambang Widoyo SP, meski perlu Teater Ruangnya Joko Bibit terus mengekplorasi diri.

Jelas, kegetiran ini bukan mustahil nantinya bakal jatuh pada usaha-usaha pencapaian Putu Wijaya juga WS Rendra sebagai monumen -hal yang amat menakutkan dan menjadi bencana dari proses pemahaman dan proses kebudayaan bangsa ini. Yaitu, miskinnya memahami, mengetahui, menggali dan mengembangkan puncak orisinalitas gagasan tokoh semacam Putu Wijaya dan juga Rendra. Kiranya, kegelisahan Putu Wijaya atas generasi masa kini atas WS Rendra juga demikian dalam monolog Burung Merak ini. Betapa Putu ingin menebar dan menyebar seluas-luasnya gagasan kebudayaan maestro dunia teater yang bukan kebetulan lahir dan besar di negeri ini -meskipun negeri ini kiranya lebih banyak membonsai hidup Rendra ketimbang mengukuhkannya. Setidaknya terungkap dari pengakuan Putu Wijaya dari pernyataan Hardi dan Adnan Buyung Nasution atas nasib pahit yang di alami WS Rendra. Dari balik jeruji sel zaman Orde Baru, Rendra pernah berkirim surat agar Hardi, Buyung Nasution, dan Ajip Rosidi membantu kesejahteraan keluarganya. Rendra pun mengajukan diri menjual lukisan Hardi agar berbalas komisi.

Karena itu, lebih bijak bagi kita untuk tidak menjadikan Putu Wijaya, WS Rendra atau siapapun menjadi monumen teater atau kebudayaan bila telah tahu hanyalah menjadikan kegetiran kita berlarut-larut, berlarat-larat. Punya semangat tapi justru mengebirinya. Punya spirit dan potensi namun malah membunuhnya. Fatalnya, tidak semua diantara kita ini yang menyadari hal ini. Yang terjadi malah sebaliknya, justru merasa senang manakala sesuatu telah menjadikan diri kita ini sebagai monumen hidup, sebelum kematiannya. Hidup yang tidak melakukan apapun demi kualitas hidup lebih baik atas spirit yang sebetulnya ia punya. Hidup yang telah dimatikan, juga oleh dirinya sendiri- satu hal yang jelas dari pertunjukan Burung Merak, tengah berusaha diperangi oleh Putu Wijaya.

Menonton pertunjukkan besar dari maesenas teater Putu Wijaya sungguh diliputi suatu kegaguman. Sekaligus menahan kegetiran yang dari tahun demi tahun terus terjadi dan berlalu begitu saja. Betapa Surabaya tetap menjadi penonton yang dahsyat bagi Teater Indonesia dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Hanya sebagai penonton. []

*) Penulis adalah pengarang, Pimpinan Komunitas Teater Keluarga?Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga–. Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach,The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya. http://ahmad-sujai.blogspot.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *