Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah
: buat Rosadi
mungkin aku lupa menghitung kisah
menjadi sejarah pada awal perjalananmu
aku mengiris sungai dan batubatu hitam
yang semaikan suka duka pada akhir
malam sesak kelam
“hujan pun mengantarkan kepulanganmu
dalam kamar gelisahku,” sapamu sesaat
ketika malam merayap gigir di ujung jalan
yang laju tembus halimun pada gelap jalan berbatu
tapi matahari lindapkan kisah pada
lelaki dan segurit puisi
ada sebaris kenangan kausulam
pada punggung kesunyian akhir cerita
pun selayar pesan pejalan yang berangkat
pagi buta kepergiaan
bahkan tak ada janji pertemuan pada episode
tak sempat ditamatkan
waktu kelak bersumpah memberi ruang
untukmu menyapa perempuan yang sampai
di persimpangan
“titipkan sebait puisi untukku,” katamu
embun makin bekukan ujung jarijariku
memahat lekuk kata pada telapak tanganmu
kini aku hanya mampu mengenang
kisah malam lelaki kesah di persimpangan
semusim di rahim kotamu
purnama tak lagi telanjang
saat kepulangan di teras rumah,
hujan telah uraikan gelisah
dari awal cerita di bumi singgah
pada kota laluku
bumi singgah, 2005
Aku yang Tak Pernah Menjumpaimu di Stasiun Kota Kuno
: eko budihardjo 9 juni
Gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih, karena riwayat cahaya
telah dicuri usia, dan trotoar menuju kota kuno
telah lama melumut.
Aku menghentak bunyi pedati
di jalan-jalan punah, ketika kau mengirim mimpi
senja hari tentang bangunan penjajah; atap rapuh.
Seperti aku yang tak pernah mampu menerjemahkanmu
di rusuk-rusuk pendopo yang bisu kuasa
nun terhunus matahari di peta lingkar matamu
Aku yang tiba-tiba disadap wahyu malaikat
tanpa rupa tanpa suara dan tanpa pengertian
yang tidak pernah aku tahu bahwa itu datang
darimu di pagi buta.
Entah apa yang sanggup aku gumamkan
dalam cuaca gasal petang itu
saat sebuah cerita cinta selesai di selasar peron
begitu pula yang kau katakan tentang kehidupan,
yang tidak pernah menjumpaimu sebagai hitungan
melainkan dalam sesak ingatan
serupa laju gerombol asap kereta api yang memacumu
pada rel-rel memoar kota kuno
kau yang mencintai sejarah dan jendela-jendela kayu jati
di gerbong-gerbong tunggu tanpa sesenti menemukan apa-apa
sepandang cerobong kelelangan dihujani bayu pana
selain gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih?karena riwayat cahaya
telah dicuri usia,
aku tak pernah menjumpaimu
di stasiun kota kuno.
bumi singgah,
2009
Sajak Sepotong Bibir
tuhan mungkin sibuk mempertemukan kita kembali
masih ada segelas anggur yang tersisa malam ini
tak perlu cemas, sayang
kita masih punya angan
dan selintas memoar yang tersangkut di ranjang
angin pun masih lewat
sekedar membasuh kenangan yang tak henti memanjang
kau senang mencumbu langit dan gemulai bukit-bukit
padang sabana di persimpangan
pun seikat ranum bibirmu di peraduan
lelakiku, perempuanku
kekasihku dalam sepi
aku menulismu dengan bibir yang bergetar
pada catatan-catatan tua yang tersimpan rapi
di almari
kisahmu adalah petualangan sunyi
yang menari menggelandang hasrat sendiri
rumah sunyi
suara bumi
sepotong sajak ini bukan dukamu
dan melulu menyabit ruhmu
menampung ciuman kepedihanmu
tidak, kekasih
selembar cahaya tersangkut di celanaku
mewujud air mata
yang lupa bagai pertapa
bermain cinta
bumi singgah,
2005
Tak Pernah Kutemukan Wujudmu dalam Riuh
buat Wayan Sunarta
aku tak mengenalmu di Parangtritis atau Tanah Lot
tapi dari potret diri
yang bercerita tentang
sajak-sajak yang menuai sepi
kisahmu
tak pernah kutemukan wujudmu dalam riuh
pada kabut atau hiruk pikuk mimpi
yang menuai arak-arak malam
tapi dari hutan cemara dan
notasi pantai
yang melantunkan musik ombak anak-anak pasir
dan tarian kaki-kaki telanjang para gadis di tepian
seusai tarian laut itu aku hanya menyapamu
dalam kata-kata pada sebuah puisi
tentang ingatan
ihwal seorang perempuan
bukan dongeng si penjaga cahaya
hanya memainkan serenade untukku
menjumpaimu dalam sapa
pada sajak-sajak sendu
tak berwarta
bumi singgah,
2005
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.