Setelah 100 Hari

DTA Piliang
http://www.suarakarya-online.com/

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ekonomi secara nasional membaik. Lapangan kerja terbuka lebar. Kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi. Kondisi ekonomi secara nasional jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.”

Apa yang dikatakan Rosa dalam diskusi kali ini mengagetkan saya. Pendapatnya sangat bertolak belakang dibanding ketika kami baru kenal. Dulu dia begitu kritis, kerap mengkritik pemerintah, selalu mengklaim memperjuangkan nasib rakyat.

Jelas saya tak sependapat dengan omongannya. Setidaknya apa yang dia katakan bertolak belakang dengan apa yang saya alami. Perekonomian saya justru sedang merosot. Usaha beberapa teman juga mulai seret. Ibu-ibu rumah tangga makin sering mengeluh. Para kepala rumah tangga menyatakan gaji mereka tidak lagi memadai meski dalam hal jumlah tidak turun.

Tampaknya ada yang salah. Apa yang dikatakan Rosa-gadis bertubuh sintal-serta beberapa pengamat dan pakar ekonomi lainnya tak sesuai dengan kenyataan. Ekonomi yang mereka katakan membaik berlawanan dengan kondisi di lapangan. Nyatanya makin banyak orang ingkar janji.

Saya sulit mencerna keadaan yang berkembang. Orang yang tadinya jujur berubah jadi pembohong. Hal seperti itu beberapa kali saya alami dalam tiga bulan terakhir. Tidak hanya Rosa yang berubah, tetapi beberapa teman saya juga bertingkah, lain dari biasanya.

* * *

“Tolong ditalangi dulu, saya sedang di luar kota. Besok saya pulang dan saya akan mampir ke kantor Anda.”

Saya tidak bisa menolak permintaan kawan lama ini. Entah kenapa dia mengirim orang ke kantor, lalu minta saya memberi yang bersangkutan uang Rp 5 juta. Lagi pula, tak ada alasan menolaknya karena selama ini yang bersangkutan tidak pernah mengecewakan saya.

Tapi, entah apa sebabnya, sudah beberapa hari sejak dia menelepon, dia tak memberi kabar apa-apa. Sehari setelah waktu yang dijanjikannya berlalu, saya sempat mengirim pesan singkat via telepon genggam. Dia dengan cepat merespons.
“Oh, maafkan saya. Ada sesuatu, jadi saya tak bisa mampir. Tapi, besok tunggu saya.”

Namun, hari demi hari sudah berlalu, bahkan sudah berjalan seratus hari lebih. Jangankan sosoknya yang datang, pesan singkat pun tak lagi dijawab. Telepon genggamnya tak bisa dihubungi. Sahabat lama itu bagai hilang ditelan bumi.

Saya sebetulnya bisa saja menemui yang bersangkutan di kantornya. Sebab, dari seorang temannya, saya tahu dia masih aktif bekerja. Keheranan yang saya rasakan, perubahannya yang mendadak menjadi ingkar janji justru membuat saya tak bernafsu menemuinya.

Heran, karena saya yakin uang Rp 5 juta bagi dia tidak berarti apa-apa. Sebab, selain bekerja di sebuah perusahaan swasta ternama, dia juga memiliki sebuah usaha minitoserba dan beberapa petak rumah kontrakan. Lagi pula, selama ini dia saya kenal sebagai sosok yang jujur, berpendidikan, dan tahu agama. Mengapa dia berubah? Apalagi, selama ini saya tidak pernah berutang kepadanya, meski hanya sekadar berutang budi.

* * *

Sudah tiga bulan lebih saya mengalami berbagai kejadian di luar kebiasaan. Selain Rosa, beberapa sahabat, rekanan, juga mendadak berubah. Apabila dulu mereka ramah dan selalu menepati janji, akhir-akhir ini kerap mengulur-ulur, bahkan lebih sering melanggar janji.

Rekan usaha sampingan saya di sebuah kota di Kalimantan juga mendadak tak ada kabar. Kemudian teman yang ada di salah satu kota di Sumatera mulai mundur-mundur dari janji. Ada apa? Padahal, usaha sampingan saya, menyalurkan pakaian jadi-yang saya ambil di Solo, Jawa Tengah dan di Cipulir, Jakarta Selatan-untuk dikirim ke beberapa teman di beberapa kota, sangat membantu dalam menambah pendapatan saya.

Gaji di sebuah perusahaan ekspedisi tempat saya bekerja memang tidak berkurang. Tapi, karena pendapatan sampingan, yang jelas-jelas sangat halal, yang mulai mandek bahkan terancam merugi, membuat saya mulai khawatir.

“Jadi, saudara-saudara sekalian, tak ada yang perlu dirisaukan. Kesulitan ekonomi yang dialami beberapa negara tidak akan berdampak apa-apa kepada kita, bangsa Indonesia. Semua kebutuhan nasional terpenuhi. Kalaupun ada riak-riak, itu akan segera berlalu.”

Suara lantang Rosa sebagai pembicara utama pada diskusi itu membuyarkan lamunan saya. Wanita itu terlihat begitu bergairah, penuh sikap optimistis. Saya mengusap mata yang baru saja lepas dari kantuk. Wajah mulus dengan pipi berpupur kemerah-merahan, tubuh berisi, montok, membuat pikiran saya menjelajah ke mana-mana.

Dalam hati saya kemudian tebersit satu pertanyaan: “Kok, teman saya ini jadi berubah? Berapa dia dibayar untuk meyakinkan kami bahwa ekonomi kita tak ada masalah, pada saat saya dan banyak orang lain justru sedang bingung menghadapi masalah keuangan?”

“Laju inflasi tinggi yang pernah menjadi masalah perekonomian di Indonesia, saat ini dan ke depan tak akan pernah terjadi lagi. Laju inflasi di Indonesia tak mengkhawatirkan, lebih baik dibanding negara-negara lain,” kata Rosa.

Beberapa peserta diskusi menggerutu, tapi Rosa tak menggubrisnya. “Pengumuman BPS bahwa inflasi dalam batas sangat wajar serta ucapan beberapa menteri bahwa perekonomian kita membaik, itu benar adanya. Kita jangan hanya bisa mengkritik, tapi juga harus mengakui jika faktanya benar,” kata Rosa lagi.

“Harga barang kebutuhan pokok yang naik menjelang hari Natal dan Tahun Baru 2010 lalu, itu hanya kejadian sesaat. Tak membebani perekonomian masyarakat yang kini daya belinya terus membaik.”
Saya benar-benar sudah tidak tahan.

“Jadi, kalau ada yang tak sependapat, silakan minggir. Saya bahkan siap berdebat dengan siapa pun, juga siap berkorban, harus berpisah dengan seseorang yang tidak mendukung, misalnya,” katanya lantang.

Dada saya berdegup. Saya yakin, ucapan itu khusus diarahkan kepada saya. Begitu mudah dia berpaling serta berpindah posisi, dari yang tadinya selalu memosisikan diri sebagai pembela rakyat, kini berubah seratus delapan puluh derajat membela pemerintah. Hanya dalam seratus hari dia berubah total. Dia rela mengorbankan cinta kami yang belum genap empat bulan bersemi.

* * *

Rosa dan saya boleh dibilang tidak muda lagi, sama-sama sudah berusia menjelang 40 tahun. Kami saling mengenal ketika menghadiri diskusi sekitar empat bulan lalu. Dia tampil sebagai pembicara, saya sebagai salah seorang peserta. Entah kenapa, hanya karena saya beberapa kali bertanya, tiba-tiba saja seusai diskusi dia mendekati saya. Kami kemudian jadi akrab.

Karena merasa satu pandangan, kami kerap melanjutkan diskusi di beberapa tempat, di restoran, di kafe, atau tak jarang di atas kendaraan yang saya miliki. Saya juga sering mengantarnya ke kantornya, sebuah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengamati perekonomian negeri ini.

Saya sempat berpikir, mungkin sudah saatnya saya mengakhiri masa perjaka saya yang panjang. Rosa pun sepertinya berpikiran sama. Saya sudah dikenalkan kepada kedua orangtuanya, yang menurut saya sangat respek atas kehadiran saya. Kami sudah beberapa kali sempat membicarakan gedung yang kemungkinan jadi tempat resepsi pernikahan kami.

Tapi, semua rencana itu akhirnya menjadi masa lalu. Rosa tiba-tiba saja berubah total. Kegemaran baru saya, mengikuti diskusi dan seminar, mendadak hilang. Padahal, saya baru bisa menikmatinya, sesuatu yang dulu saya benci, tidak saya sukai, karena hanya menghabis-habiskan waktu. Diskusi dan seminar, dulu, bagi saya, terlalu bertele-tele. Saya lebih suka membaca beritanya saja di koran-koran esok harinya ketimbang jadi peserta aktif. Bagi saya, menghadiri diskusi dan seminar adalah tugas. Sebab, ditugasi mewakili perusahaan tempat saya bekerja yang bertindak sebagai salah satu sponsor.

Tapi, setelah mengenal Rosa, pandangan saya terhadap diskusi dan seminar berubah. Begitu menikmatinya, bahkan bisa aktif mengikutinya. Latar belakang saya yang sarjana ekonomi membuat saya mudah memahami. Apalagi, Rosa yang menjadi sahabat baru merupakan seorang wanita yang asyik diajak bicara soal perkembangan ekonomi. Statusnya sebagai pengamat, peneliti di bidang ekonomi, menjadikan pengetahuan saya berkembang.

Namun kini, setelah kami berkenalan 100 hari lebih, pandangan Rosa terhadap saya berubah drastis. Tak ada lagi senyumnya yang selalu membuat hati dan pikiran saya sampai membayangkan bagaimana bentuk dan rasanya apa yang ada di balik itu. Sepertinya kasih sayang yang sempat muncul telah berubah menjadi kebencian, setidaknya kejemuan.

Kami kini bagai bumi dan langit. Kemampuan ekonomi dia, begitu juga pandangannya terhadap perekonomian negeri ini, seperti dikatakannya, terus membaik. Sedangkan perekonomian saya, dan pandangan saya terhadap perkembangan ekonomi nasional, justru merosot.

Beberapa hari terakhir dia betul-betul memuakkan. Pandangan matanya yang sinis apabila kami kebetulan bertemu, serta ucapannya yang menganggap di negeri ini tak ada masalah, serta menilai rakyat terlalu manja dan selalu menuntut, membuat saya benar-benar sudah tak mengenal dirinya. Apalagi kini dia sudah dilayani bak seorang ratu, diantar seorang sopir merangkap ajudan dengan sebuah mobil bermerek ke mana saja dia mau.

Kami tampaknya memang harus berpisah. Rosa dengan jalannya sendiri, saya menempuh jalan lain. Harapan saya, mudah-mudahan pada hari-hari mendatang saya tak lagi ditugasi perusahaan tempat saya bekerja menghadiri berbagai diskusi dan seminar, setidaknya tidak ke diskusi dan seminar yang menampilkan Rosa sebagai salah seorang pembicara. Biarlah semua itu berlalu, meski dalam 100 hari lebih perkenalan kami, ada juga yang mengesankan. Harapan saya, mudah-mudahan saya tak menjadi bujang lapuak, membujang sampai akhir hayat, karena saya adalah laki-laki normal.***

* Bekasi, Desember 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *