Di Jarwal, Kutunggu Kematianku

Shoim Anwar*
http://www.jawapos.co.id/

JARWAL masih menyisakan bagian dari kota tua. Gedung-gedung bertingkat terlihat digerogoti usia. Dinding-dindingnya kusam, melepuh seperti kulit terbakar. Di ujung Jalan Al-Sadah, kulihat puncak gunung yang gersang di sebelah barat. Aku terus menapak, belok ke timur lewat Jalan Al-Mahakem hingga tembus ke Jalan Al-Tayssir. Di Jarwal, kulihat langit memucat seperti kain kafan terbentang. Sesekali terlihat burung elang berputar-putar, mencari anak-anak merpati yang bergerak-gerak di sarang ketika minta disuapi induknya.

Aku datang ke kota ini untuk membersihkan diri dari debu-debu dan kotoran hati. Pada akhir sisa hidup, seperti tak ada jalan lain, kota ini menjadi tumpuan pengakuan. Ratusan, bahkan ribuan perkara yang pernah kutangani, pada akhir sisa hidup ini berubah jadi duri. Aku sengaja menghilangkan diri dari rombongan. Aku sembunyi menjelang rombongan kembali ke tanah air. Biarlah aku mati di sini. Jarwal barangkali masih menyisakan ruang untuk lelaki tua yang kehabisan masa jayanya.

Seseorang tiba-tiba menyapaku. Dia menyeruak dari mobil-mobil bekas di Qishla Parking. Meski berpakaian serbahitam, melihat wajahnya yang terbuka, aku langsung menduga bahwa dia bukan warga asli. Beberapa saat dia menoleh kembali ke belakang karena ujung rok panjangnya kecantol di bumper mobil yang ringsek. Dia seperti memberi isyarat agar aku menunggu. Begitu ujung rok dapat dilepas, dia bergegas mendekat. Ujung roknya bagian belakang terseret di permukaan tanah ketika jalan agak menanjak.

”Bapak dari Indonesia?”

”Ya.”

Perempuan muda itu menoleh ke kiri kanan, seperti kadal mencari serangga, entah apa yang dicari. Tampak bintik-bintik keringat di hidungnya yang agak pesek. Alis dan pangkal bulu matanya ditebalkan dengan pewarna. Dia kemudian mengajakku salaman. Aku ragu-ragu, tak dapat menolak ulurannya.

”Situ dari mana?” aku ganti mengorek.

”Sama dengan Bapak.”

Ekspresi perempuan itu semakin tenang. Dia tersenyum tipis, setipis kain cadar. Sesaat aku menunduk. Tampak ujung jempol kakinya dicat warna merah tua seperti buah kurma. Selanjutnya kami saling melontarkan pertanyaan. Akhirnya dia bertanya alamatku. Kukatakan bahwa aku sendirian, tak punya tempat tinggal tetap. Sementara waktu aku tidur di sisa bilik yang kotor tempat pondokan rombongan dulu, deretan nomor 1028 dan jarang diurusi pemiliknya. Aku sudah kenal dengan sang penjaga, Ismail, lelaki asal Mesir. Di bilik yang pengap dan sempit, di lantai paling bawah dekat gudang, di situlah aku bisa menidurkan diri.

”Ini untuk Bapak,” perempuan tadi mengulurkan sesuatu.

”Apa?”

”Sekadar untuk beli minum,” jawabnya. Dan aku menerima pemberian itu sebagai rezeki yang tak terduga.

”Suatu saat saya minta tolong Bapak bisa? Cuma dua atau tiga menit.”

”Apa itu?” aku mengejar.

Dia tetap tak mau berterus terang. Aku penasaran. Kami pun berpisah. Perempuan yang mengaku bernama Ina itu masuk kembali ke lapangan parkir, dia berjalan melewati celah-celah mobil rusak, seperti kadal melewati semak-semak belukar, terus menjauh ke arah timur hingga di belakang sekolahan dan menghilang.

***

Aku sudah terbiasa berpisah dengan anak dan istri hingga menjelang pensiun. Selama tiga puluh tujuh tahun bertugas, sudah delapan kali aku dimutasi ke berbagai kota dan pulau, tanpa membawa anak dan istri. Akulah lelaki yang sering diranjam kesepian. Kau pasti dapat menduga, cara apakah yang sering kulakukan untuk membunuh kesepian itu. Gaji resmi tentu saja tak mencukupi. Sementara tiap bulan istri dan lima anak minta kiriman. Secara jujur, gajiku sebenarnya habis untuk beli rokok. Aku memang perokok berat. Tapi nyatanya, kami semua bisa hidup serba berkecukupan. Kau pasti bisa menebak, jalan apakah yang aku tempuh dahulu.

Lima anakku sudah berumah tangga, kini tidak lagi menjadi tanggunganku. Sejak aku pensiun dan ibunya meninggal, kehidupan anak-anakku ikut meredup. Seperti laut yang pasang saat pagi dan siang, lalu pelahan surut saat sore menjelang. Ibarat buah rambutan yang manis, menjelang habis tiba-tiba pahit karena bijinya ikut tergigit.

Cuaca di Jarwal ternyata berubah. Langit memburam. Pertengahan bulan Desember, mungkin musim dingin segera tiba. Kota jadi sepi. Aku masuk ke bilik. Kepala menjadi tidak nyaman karena pilek. Kuminumi obat sakit kepala. Tiba-tiba pintu bilikku diketuk. Ternyata Ina. Cuaca memburuk dan hujan turun. Bunyi geluduk seperti batu besar yang menggelinding di langit.

Ina kupersilakan duduk di gelaran selimut motif kembang-kembang warna cokelat. Perempuan itu memperhatikan selimut yang diduduki.

”Ini selimut Bapak?”

”Ya,” jawabku.

Kuingat bahwa selimut itu pemberian Aba Mistiaji Sumo. Kami berbasa-basi beberapa saat.

”Begini, Pak,” Ina tampak mulai serius, ”Dulu saya pernah minta tolong Bapak. Saya mohon Bapak mau membantu saya.”

”Apa itu?”

”Ee…Bapak mau menikahkan saya?”

Aku terkejut. Aneh mendengar kata-kata itu.

”Saya bukan penghulu.”

”Katanya Bapak orang hukum? Saya sangat berharap pada Bapak. Saya punya uang seratus untuk biayanya.”

”Bukan soal biaya. Mengapa tidak ke penghulu di sini saja?”

”Saya orang asing, Pak. Tidak bisa!”

”Terus calon suamimu?”

”Orang Bangladesh.”

Aku terdiam beberapa saat. Wajah Ina terlihat penuh harap, bahkan ekspresinya tambah memelas.

”Saya sudah telanjur kontrak kerja di sini, Pak. Mau pulang nggak mungkin. Paspor saya ditahan. Hanya Bapak yang bisa membebaskan saya dari Tuan Abu Jahal.”

”Memangnya kamu diapakan?” aku mengejar.

”Saya kerja di rumah Tuan Abu Jahal. Saya dipaksa terus-terusan. Tak bisa menolak.”

”Maksudmu?”

”Disuruh melayani tiap malam.”

Aku terguncang. Ina mungkin mengetahui perubahan raut wajahku. Urat-urat leher dan mukaku terasa menegang. Terdengar geluduk di luar.

”Susah kalau di sini tak punya suami.”

”Kalau sudah punya?”

”Mereka nggak berani, Pak.”

Aku terdiam. Rasanya seperti terkena bom dingin. Aku ke sini untuk menunggu kematian. Berharap pada tanah ini agar membersihkanku dari segala dosa. Tapi di sini malah dapat cerita dosa. Kutanyakan tempat tinggal Abu Jahal. Perempuan itu menyebut alamat beserta nomornya. Mudah dicari karena gedung bertingkat itu terletak di dekat sekolahan.

”Sekarang kamu kok bisa kemari?”

”Saya sembunyi-sembunyi, Pak. Jam segini juragan belum pulang. Saya menyesal ada di sini. Jangan sampai ada perempuan ke negeri ini tanpa suami. Kami dibayar paling murah dibanding pekerja dari negeri lain. Kami disamakan dengan budak, dianggap sah untuk diperlakukan apa saja oleh tuannya.”

Wajah Ina tampak memelas dan kecut, lembek seperti daun pembungkus kue lemper. Dulu waktu berdinas aku tak pernah merasa terharu terhadap orang-orang yang berperkara. Tapi, sekarang, Ina seperti bersimpuh di hadapanku untuk minta diselamatkan. Aku memang bukan penghulu, tapi apakah tak ada cara lain untuk menikahkannya?

”Bapak mau menikahkan saya kan?”

”Terus calon suamimu mana?”

”Kalau begitu saya akan mengajaknya kemari secepatnya. Terima kasih sebelumnya, Pak. Maaf, saya pamit dulu.”

Ada perubahan wajah pada Ina. Ina seperti telah kehabisan waktu. Cepat-cepat dia bangkit dan menyalami saya. Kali ini terasa lebih kuat genggamannya. Hujan masih rintik-rintik. Ina menerobosnya dengan langkah tergesa. Kulihat titik-titik air berjatuhan di punggungnya. Di depan pintu, aku melihat perempuan itu semakin jauh. Mungkin dia akan menyelinap di lapangan parkir, melewati mobil-mobil ringsek dan berkarat, tua seperti diriku.

Jam sudah menunjukkan hampir tengah hari. Sudah waktunya aku pergi ke Tempat Suci. Selama ini aku selalu berada di tempat tersebut ketika malam hari. Aku terus beribadah, berdoa, minta ampun atas segala dosa untuk mempersiapkan kematianku. Semoga ia datang ketika persiapanku telah paripurna.

Esoknya, sekitar pukul sepuluh pagi, Ina datang lagi. Kali ini dengan seorang lelaki tinggi besar, berkulit gelap, dan agak berkilat. Rambutnya bergelombang, dipotong pendek, berkumis, dan berjambang. Ina memperkenalkan nama lelaki itu, tapi aku lebih suka menyebutnya dengan si Bangladesh. Dia menyodorkan selembar kertas yang di situ sudah terketik beberapa pernyataan dan kolom untuk diisi, mirip formulir. Dia juga membawa foto dirinya dan si Bangladesh. Dia kembali minta dinikahkan.

”Sudah saya katakan, saya bukan penghulu. Ini juga tidak patut disebut surat nikah.”

Raut muka Ina mendadak kecut. Sekali lagi dia menyatakan minta tolong dengan nada memelas. Sementara si Bangladesh hanya terdiam tanpa ekspresi karena tidak paham maksud pembicaraan kami.

”Sekarang jujur saja, ini yang paling penting, kamu di sini punya wali?”

”Tidak.” Ina menggeleng pelan.

”Nah…apalagi begitu. Jangan-jangan di tanah air kamu sudah punya suami?”

Ina tak menjawab, menunduk. Si Bangladesh meliriknya. Lelaki itu tampaknya merasa tidak nyaman ketika melihat ekspresi Ina. Aku mendesaknya dengan pertanyaan yang sama. Dengan suara hampir tak terdengar Ina akhirnya mengangguk.

”Berapa anakmu?” aku mengejarnya.

”Dua.”

Aku mendesah. Beberapa saat tak ada yang berbicara. Bilik ini terasa makin sumpek. Kulihat si Bangladesh menggigit-gigit kuku jari kanannya. Tak ada jalan lain. Aku tak sanggup.

Sepeninggal Ina dan si Bangladesh, pikiranku melompat ke Abu Jahal. Mendengar namanya, yang muncul dalam bayanganku adalah seekor gorila raksasa, tubuh tinggi besar, tangan dan kakinya kekar, bulu-bulu di sekujur tubuhnya lebat, serta ekspresinya menyeramkam. Dia siap menerkam kapan saja.

Beberapa hari kemudian, Ina datang lagi. Kupikir sudah patah arang. Kali ini tidak lagi dengan si Bangladesh. Setelah berbasa-basi dengan beberapa pertanyaan, Ina segera mengutarakan maksudnya.

”Kalau Bapak tidak mau menikahkan saya dengan orang lain, sekarang saya minta Bapak untuk menikahi saya.”

Aku benar-benar terhenyak. Sebuah permintaan yang aneh.

”Itu tidak mungkin! Kamu masih punya suami!”

”Saya tidak menuntut macam-macam, Bapak. Ini cuma pernikahan di atas kertas. Saya hanya ingin menunjukkan surat nikah itu ke Tuan Abu Jahal biar tidak mengganggu saya lagi.”

”Saya tak berani!”

”Tolonglah saya, Pak. Dengan menikah berarti saya bisa tinggal di luar.”

”Tinggal serumah dengan saya?”

”Terserah, Bapak.”

”Maaf,” aku menggeleng-geleng.

”Saya bisa tinggal di tempat lain, Bapak.”

Aliran darahku terasa lebih kencang. Sebuah permintaan yang aneh. Sekali lagi, aku ke sini untuk mati, bukan untuk menikmati kehidupan duniawi. Nasib yang dialami Ina mungkin benar adanya, tapi permintaannya untuk menikah dengan aku jelas tidak mungkin. Ina dengan si Bangladesh tentu sudah bergaul akrab. Bahkan, andai aku mau menikahi dan Ina tidak tinggal serumah denganku, aku yakin dia akan tidur dengan si Bangladesh.

Ina meninggalkanku dengan tangan hampa. Dia menunduk, seperti kehabisan harapan. Langkahnya diseret, meninggalkan jejak memanjang di halaman.

***

Serangan cuaca menggila. Dingin bukan main. Darah membeku hingga ke tulang sumsum. Aku menggigil. Kematianku mungkin sudah dekat. Malaikat pencabut nyawa barangkali telah menjelmakan diri sebagai cuaca yang menusuk hingga ke tulang. Tapi aku tak boleh mati di bilik yang sempit dan kotor ini. Aku ingin mati di Tempat Suci.

Selimut pemberian Aba Mistiaji Sumo kubalutkan ke seluruh tubuh. Dengan langkah menggigil aku menuju ke Tempat Suci.

Di perempatan, seorang perempuan berpakaian hitam-hitam, muka terbuka, tubuh agak tinggi, berkulit sawo matang, serta berhidung agak pesek, berjalan ke arahku. Aku terkejut. Aku agak yakin dia adalah Ina. Jangan-jangan dia memang mengetahuiku lantaran selimut yang kukenakan. Langkah kupercepat. Perempuan itu mengikuti. Aku menyeberang agar jauh dengannya. Ternyata dia juga ikut menyeberang.

Aku melewati wilayah Al-Naga. Ketika aku menoleh ke belakang, dia masih di belakangku. Aku mempercepat langkah. Ternyata dia juga. Detak jantungku semakin kerap. Aku semakin memacu. Ternyata dia pun memacu. Jangan-jangan dia malaikat yang diutus Tuhan untuk mengintai diriku. Aku menggumamkan doa-doa. Belok ke arah selatan, jalan agak sempit tapi dapat tembus ke Tempat Suci.

Klakson tiba-tiba menyentak. Mobil barang menyerempetku. Aku terdepak ke teras toko. Aku sempoyongan dan mencoba berjalan lagi. Perempuan tadi masih saja membuntuti. Langkahku melambat karena lemas dan linu. Ternyata dia juga melambatkan langkahnya. Ini kesempatan untuk lolos. Aku masuk ke sebuah gang sempit dan menanjak. Kakiku makin linu. Gerimis sedingin es. Mungkin sebentar lagi malaikat yang membuntutiku itu segera membetot nyawaku. Aku sudah tak sanggup lagi berjalan. Napasku terengah-engah dan pandangan berkunang-kunang. Aku limbung. Aku masuk ke sebuah ceruk sempit dan pura-pura kencing. Aku takut, jangan-jangan sebentar lagi malaikat tadi menjambak kain selimut di tengkukku dan dengan cepat membalikkan wajahku ke arahnya. Saat itulah dia menyelesaikan tugasnya atas diriku.

Entah berapa lama aku terpuruk di ceruk sempit itu. Selimut di badan terasa basah. Aku menggigil. Malaikat pengintai yang berwujud perempuan tadi telah menghilang. Meski begitu, bayangannya masih menempel di ceruk-ceruk gedung. Aku harus sampai di Tempat Suci. Aku ingin mati di tempat terhormat itu. Aku ingin nyawaku diarak oleh sejuta malaikat untuk dipersembahkan kepada sang Pencipta. Aku pun ingin jasadku beraroma kasturi dan dikebumikan di sekitar Tempat Suci.

Sejak diikuti malaikat yang menyerupai Ina, tiga hari penuh aku berada di Tempat Suci. Kematian ternyata belum menjemputku. Cuaca makin tak bersahabat. Aku kembali ke bilik penginapan untuk ganti baju. Jalanan tambah sepi. Di perbatasan wilayah Jarwal Tayssir dan Jarwal Gasylah, ada mobil ambulans meraung-raung dan berhenti di belakang lapangan parkir Qishlah dekat sekolahan.

Karena naluri ingin tahu, dari pertigaan Jalan Al-Mahakem aku menerobos lapangan parkir. Terlihat beberapa orang polisi membuat coretan-coretan di tanah, lalu melihat ke atas gedung bertingkat. Melihat nomornya, gedung bertingkat itu adalah tempat tinggal Abu Jahal. Aku tiba-tiba teringat pada Ina. Aku mencermati coretan-coretan di tanah yang dibuat polisi. Ternyata bentuknya seperti orang telentang. Jantungku tiba-tiba bergetar.

Kulihat pintu ambulans tertutup. Beberapa orang yang kutanya memberi isyarat bahwa ada orang yang terjatuh dari lantai atas. Jantungku seperti dibetot. Ina? Apakah dia baru saja melompat dari atas sana karena menghindari terkaman si Gorila Abu Jahal? Apakah dia bunuh diri atau sengaja dilemparkan oleh si Gorila? Ada penyesalan dalam diriku. Mengapa aku tak mau menikahi Ina? Tapi, andai dulu aku bersedia menikahinya, mungkin sekarang aku akan lebih menyesal lagi.

”Indon…Indon…,” suara orang terdengar. Aku makin cemas. Tentu aku berharap yang ada dalam ambulans itu bukan Ina. Aku minta ampun atas segala dosa. Aku menatap ke kaca ambulans. Wajahku terpantul di sana: tua, kurus, kering, dan keriput. Kehadiranku ke sini, tak lain hanya untuk mati! Maka, perkenankan aku menunggunya di sini, di Jarwal ini…

Jarwal – Surabaya, Akhir 2009

*) Cerpenis dan guru di Surabaya

Leave a Reply

Bahasa ยป