Yetti A KA
suaramerdeka.com
KALI pertama kami berjanji di sebuah bangku panjang di taman kota, memandang lampu taman putih susu yang berdiri tegak di dekat serumpun palem, lama-lama, sambil duduk bersisian, dan ia berkata: Lampu itu mengingatkanku pada kepala ayah.
Kalimat pertama darinya, dan aku tidak dapat menghapus satu kata saja.
Setelah itu memang selalu ada cerita panjang lebar tentang kepala ayah yang botak. Kira-kira begini ia mengawali cerita panjangnya: Dari kecil aku menyukai kepala ayah. Ayah sering menggosokkan kepalanya ke pipiku. Aku tergelak-gelak, merasakan sisa akar rambut di kepala ayah yang kasar, sampai air terbit dari mataku. Pokoknya, dari aku bisa mengingat hingga ayah pergi secara tiba-tiba menjelang matahari naik, kepala ayah tetap botak dan aku selalu menyukainya. (Apa mungkin dua hari sekali ayah pergi ke tukang cukur. Lelaki itu tidak menjelaskan sama sekali. Tapi dugaanku memang begitu).
Tiap kali habis pertemuan, biasanya kami berjanji pada akhir pekan, sudah hampir sebulan ini, aku selalu membawa pulang kesan pada lampu taman yang mirip kepala ayah. Kadang untuk meyakinkan diri, aku mesti menelepon lelaki itu, menanyakan: Apa benar kepala ayah sebulat lampu taman itu.
Lelaki itu balas bertanya: Apa setiap kali melihat lampu taman dan bercerita tentang ayah, membuatmu setiap kali pula menelepon malam-malam. Akhir pekan depan kita tidak usah bertemu.
Ia mengancam. Kalimatnya bagai selembar daun ilalang. Tidak setajam pedang, tapi tetap dapat melukai.
Aku mengintip keluar. Langit tampak mengerikan, sekumpulan awan hitam bergerak cepat, searah. Namun aku tetap ingin sekali ke taman. Melihat lampu taman bercahaya lembut. Membayangkan kepala ayah tegak di hadapanku. Aku ingin bergetar. Mungkin berteriak, jika tidak tahan.
Aku berkata lagi: Temani aku ke taman malam ini. Tolonglah.
Kudengar suara mengerang. Sesuatu dibanting. Telepon putus.
Sering begitu.
***
AKU duduk bersisian dengannya, posisi yang itu-itu juga setiap kali kami bertemu. Ia tampak mengantuk. Aku memasang wajah menyesal. Kami banyak diam. Bahkan kami belum berkata apa-apa sejak satu jam lalu. Paling, ia menggerutu, dan itu tidak secara langsung ia tujukan padaku. Mungkin untuk menjaga perasaanku. Aku berdehem beberapa kali, dan tidak pula kutujukan secara langsung padanya, sebab kerongkonganku memang sedikit gatal.
Lampu taman di depan kami. Barangkali itu yang membuat kami sama-sama merasa ada alasan duduk bersisian, berdekatan, tengah malam. Berlama-lama, hanya diam. Jangan-jangan karena lampu taman itu pula yang membuat kami jadi malas bicara. Lampu taman yang menyihir habis-habisan, membuatku terkena insomnia secara mendadak.
“Kepala ayah pasti lucu,” tiba-tiba aku tertawa.
Tertawa bagai anak kecil melihat gerobak di pinggir jalan yang penuh mainan lucu sampai berjuntaian keluar.
Lelaki itu diam. Ia beku. Dingin. Wajahnya tambah kelam di bawah langit hitam (lelaki yang cukup gagah dan tampan). Ia tidak berminat menanggapi tawaku yang bening sekali. Polos tanpa maksud menggoda.
“Kepala ayah…”
“Sudahlah. Melulu kepala ayah dari kemarin-kemarin.”
Ia membuang napas. Terasa hangat di dekat telingaku. Matanya masih terlihat mengantuk. Bola mata yang sangat lelah dalam kelopak cembung. Sesekali mata itu terpejam. Ia masih marah, aku tahu. Selanjutnya aku memutuskan tidak peduli. Aku masih ingin di taman. Berdua saja, ditemani kenangan ayah.
Kami kembali diam. Aku masih ingin tertawa beberapa panjang lagi. Kutahan.
Angin menggoyang dahan-dahan pohon di atas kepala kami. Tanganku sibuk memegangi rambut agar tidak menutup mata. Aku benci rambut terlepas dan berserakan di wajah saat angin bersikap nakal. Bikin jengkel. Aku mengomel sendiri. Dan tangan lelaki itu merengkuh bahuku. Melindungi. Di depan kami lampu taman putih susu menyala redup. Di antara kami seperti bunyi ombak di tepi lautan. Gemuruh.
Ibu, inikah laut. Aku ingin lihat garis laut yang melukis garis wajah ayah. Aku ingin mencium garam laut yang menyimpan bau kelahiran ayah. Ibu, apa aku harus berlari-lari sepanjang tepi ini untuk bertemu ayah. Ibu, kira-kira bagaimana wajah ayah. Selembut pasir atau bergelombang lautan.
Hara. Berlarilah sepanjang tepi. Berlarilah.
Ibu, seberapa perih lagi kakiku untuk sampai ke tepian itu.
Berlarilah sampai rasa perih bisa membuatmu tertawa.
“Beberapa jam aku berlari sepanjang tepi laut. Aku ingin tahu seperti apa ayah. Kata ibu, ayah hilang tiba-tiba tengah malam. Kata ibu, mungkin ke laut, kembali ke masa kecil aroma garam. Aku tahu ibu bohong. Tapi aku pernah benar-benar menikmati perih di telapak kakiku, dan aku terus berlari, terus berlari, sambil berharap ayah muncul tiba-tiba seperti nenek sihir yang datang dengan tongkat sapunya dalam komik yang sering kubaca berulang-ulang. Sekali itu rasanya aku paling bahagia.
“Betapa menyenangkan saat aku dibiarkan berharap dengan sepenuh-penuhnya. Puas sekali. Hanya aku dan ibu, pasir-pasir, ombak, gelombang, dan bau garam yang berkumpul penuh di hidungku. Walau kemudian aku kembali lagi ke tanah darat, bertemu anak-anak yang selalu berteriak-teriak, ‘Hara anak PKI’ sebelum kakiku menginjak tangga pertama rumahku. Aku kembali takut. Pucat seluruhku. Sama gugup saat bertemu pelajaran sejarah di sekolah, satu kali dalam seminggu.”
Aku menatap buntalan daun-daun yang hitam, yang bergerak-gerak seperti hantu “Sungguh aku tidak mengira jika ayah memiliki kepala botak lucu yang bisa membuatku tertawa jika membayangkannya. Kukira cerita tentang ayah hanya kesedihan yang tragis dan ketakutan saja.” Aku kembali tertawa. Aku juga nangis.
Tangan lelaki itu makin erat melingkar di pundakku. Kukuh. Tangan yang dulu kuinginkan dapat mengambilku tiba-tiba ketika aku kecil terjebak dalam lingkaran anak-anak nakal. Tangan yang kuimpikan, tempat aku bergayut sambil bernyanyi, bagai dahan rambutan di samping rumah di tanah darat. Dahan yang gemuk, tidak mudah patah. Aku jatuhkan kepala di tangan yang kuat serupa dahan rambutan itu. Tiba-tiba aku mengantuk. Aku mau tidur beberapa menit di sana.
“Ayah memiliki tangan yang kuat juga,” tanyaku setengah mengingau.
“Tentu saja. Ayah sering mengangkatku tinggi-tinggi dengan tangannya. Ibu berteriak-teriak dan memukul perut ayah agar menurunkanku.”
“Kepala ayah….”
“Sebulat lampu taman itu. Botak dan lucu.”
Aku tertawa. Ia tertawa. Aku nangis. Ia tidak. Ia lelaki. Malu kalau menangis, begitu kata ibu, beda perempuan dan laki-laki. Aku menghargai pendapat ibu. Ibu memang tidak banyak membaca buku, tapi ia membaca kehidupan. Sesuatu yang lebih besar dari buku, lebih luas.
“Sudah. Tidur saja kalau mau.”
“Ayah PKI ya?”
“Sudah. Sssttt…tidur saja.”
Aku terbang. Aku benar-benar tertidur. Aku bahkan tidak bermimpi.
***
NAMAKU Hara. Nama yang pendek, seolah-olah diberikan oleh seseorang yang terburu-buru. Benar, kata ibu. Ayah sangat tergesa ketika membisikkan nama itu. Tahun 1965, ketika itu. Masa bergolak. Tahun yang gemetar. Ayah dibawa orang-orang berseragam. Kata mereka, ayah terlibat PKI. Padahal tidak benar, bela ibu. Ayah hanya pemimpin OPR masa PRRI. Politik susah dimengerti, sulit ditebak, sesal ibu. Aku lihat mata ibu mendung. Aku menyesal mendesak ibu bercerita setelah puluhan tahun kubiarkan ibu mengarang kisah tentang lelaki laut yang pulang ke laut.
Hara (kukira ayah bermaksud memberiku nama Harapan jika ia punya kesempatan lebih). Dengan nama Hara atau barangkali Harapan, aku berperang untuk tetap berani hidup. Tidak terlalu berhasil, memang. Aku melangkah terseok, tumbuh penakut, dan sakit. Mataku yang bulat cepat sekali menangis jika berhadapan dengan anak-anak yang suka menganggu. Masa kecil yang sulit. Aku masih ingat betul, rasanya. Hingga aku pernah berani satu kali saja, kuhadapi mata ibu, bertanya, di mana ayah setelah sekian tahun hilang pada tengah malam, sebab aku tahu ayah tidak pulang ke tanah laut.
Ibu tidak terkejut. Ibu tidak menangis. Aku ingat tangannya yang kasar membelai rambutku sambil bercerita: Ayah memang tidak ke tanah laut. Setelah ditangkap malam itu, ia dikurung dalam sel tahanan beberapa lama. Lalu seseorang yang berpengaruh mengeluarkannya. Teman lama, barangkali. Tapi ayah tidak bisa kembali. Ini soal harga diri. Bisakah kau bayangkan, Hara, laki-laki seperti ayahmu disembunyikan bersama ratusan laki-laki lain dengan alasan gotong royong yang begitu mendadak di luar kampung saat pejabat melakukan kunjungan atau sekadar lewat saja di tanah darat, jika saja waktu itu ia memilih kembali. Ibu tidak ingin ia tampak terpuruk di hadapan orang lain. Ibu tidak akan tahan.
Lalu…Ayah pergi ke Bengkulu, kemudian ke pulau Jawa. Menikah lagi dengan perempuan Sunda. Punya anak. Lelaki. Lima tahun lebih kecil darimu.
Ibu tidak terluka?
Terluka. Hanya beberapa saat. Ada alasan yang lebih kuat untuk membuat ibu berhenti merasa terluka. Luka hanya persoalan ingin tidaknya kita sembuh. Ibu memilih sembuh.
Dan aku…Hara… Pernahkah ibu merasa aku ingin ayah saat aku tidak bisa lagi menangis bila berhadapan dengan anak-anak yang selalu bilang aku anak PKI. Di halaman rumah, di halaman sekolah, di dalam kelas saat belajar sejarah. Orang-orang bersorak nyaring sekali. Aku tumbuh begitu penakut.
Ibu paham sekali, Hara.
Aku marah, Ibu. Kesal sekali. Aku ingin nangis.
Nangis saja Hara. Kau perempuan, bukan laki-laki.
***
AKU dan lelaki itu bertatapan, suatu sore, di bangku panjang yang sama di taman kota, di hadapan kami lampu taman belum menyala.
Selembar daun beringin tua jatuh di depan kami, tepat di antara aku dan dia, angin yang membawa (aku menoleh, mencari-cari di mana gerangan pohon beringin itu). Ia pungut daun itu. “Apa arti jatuh,” tiba-tiba ia memberiku pertanyaan yang bisa saja kujawab dengan tertawa pendek, tanpa panjang lebar dan menganggapnya penting. Kenyataannya aku berkata: jatuh itu luka. Akhir kebahagiaan yang sakit dan sulit dilupakan. Luka bisa sembuh jika diobati, tapi tetap akan berbekas. Betapa jeleknya suatu bekas. Warna hitam, cokelat, atau kemerahan yang mengganggu. Umumnya, perempuan benci bekas luka. Secara pasti dapat mengurangi kecantikan, membuat seseorang tidak percaya diri.
Lelaki itu menatapku lebih serius. Tangannya mempermainkan daun beringin tua itu, “sepertinya kau suka menyimpan sesuatu. Berbahaya sekali jika yang kau simpan itu luka,” katanya.
Di mataku melintas bayangan ayah. Kepala botak yang lucu, bisa membuat seseorang tertawa, bahkan dengan hanya membayangkan. Namun di kehidupannya yang lain juga ada cerita pahit yang ia tinggalkan untuk ibu, untuk aku: Hara. Apa itu yang dimaksudkan luka? Aku menggeleng lemah. Jika saja aku bisa seperti ibu, maka aku ingin sekali memilih untuk sembuh tanpa bekas. Sebab siapa yang bisa disalahkan dari sebuah kekeliruan atau kepicikan pada suatu masa, dulu, atau nanti. Permainan. Ya. Hanya itu. Selamanya demikian.
“Kau tidak akan mengerti jika kau melihatnya hanya dari sudut lelaki,” aku berkilah. Mencoba bertahan.
Ia tampak tidak ingin melanjutkan. Aku memilih menunggu.
“Ayah keras kepala sepertimu,” ia memperhatikan bola mataku. Aku tahu itu kalimat iseng. Mencoba lari saja. Aku menahan napas. “Mata tajammu dari ayah, sementara rahang ayah yang keras ia berikan padaku.” Ia tertawa lebar. Aku masih menahan napas.
Kami memang mencoba tidak terharu, sudah sejak awal (meski beberapa kali aku malah menangis). Pertemuan kami kali pertama sebagai anak ayah, kami sepakati sebagai perjumpaan dua sahabat. Lebih baik begitu, katanya, biar kami bisa lebih dekat, tanpa sungkan atau sakit hati. Persahabatan, terkadang, bisa lebih toleransi daripada hubungan darah. Kami ingin demikian. Bercerita tanpa beban.
Mulanya, ia datang mencari ibu. Aku kira ia pasti telah menemukan sejumlah surat ibu di kotak surat ayah, hingga ia tahu ke kota mana harus mencari ibu. Ia tidak tahu kalau ibu meninggal beberapa tahun lalu. Alih-alih mencari ibu, ia bertemu aku. Kami segera menjadi sahabat. Aku bahkan sangat menyukai tangannya yang kuat bagai dahan rambutan. Aku merasa aman tidur di sana. Beberapa menit, tidak apa.
Aku perempuan yang begitu penakut sepanjang hidup, hingga aku kepala empat. Aku merasa terancam setiap saat. Melihat seekor serangga terjebak di kamar mandi saja, aku mau pingsan. Ini memalukan, tentu. Aku takut disengat, takut disakiti. Kemudian ia datang, dan aku menerima dia dengan dada yang lapang, tidak gemetar. Sebelumnya, aku tidak berani menatap mata lelaki, walau diam-diam atau secara sembunyi. Ini aneh atau keajaiban.
Mungkin dua-duanya. Aku berkata dalam hati. Jika tidak, apa mungkin setelah empat puluh satu tahun yang lengang, aku bertemu seseorang yang mampu kutatap matanya, dan ia seorang laki-laki. Terlepas kami dua saudara, ia sahabat yang hangat. Aku malah berharap, ia tidak pergi lagi membuat jarak. Tetap di sisiku; perempuan kesepian, sejak lama, lalu memilih hidup sendiri. Memang tidak ada yang bisa kujanjikan untuknya, selain aku akan terus memberinya cerita lain tentang ayah, juga sebaliknya. Itu pasti menarik, jika ia benar-benar ingin mengumpulkan pecahan sejarah yang terabaikan. Bisa menjadi tulisan panjang (lelaki itu pernah mengaku, ia seorang penulis). Tapi mau apa lagi ketika ia sudah memilih jam penerbangan pukul tujuh malam nanti. Anak-anak kangen padanya, ia beralasan. Anak-anak. Aku tidak boleh terharu mendengarnya, sudah sejak awal, tidak boleh.
“Ketika aku ingin melihat mata ayah, aku pasti segera mencarimu,” janjinya. Aku hanya bisa mengangguk.
Ah, pada saat sedih aku hanya bisa ingat ibu. Aku sering rindu tiba-tiba cerita ibu tentang suara perang di hutan-hutan dekat kampung. Bunyi peluru berhamburan yang meninggalkan bebunyian di udara.
Cak tum pik tang. Cak tum pik tang. Cak tum pik tang.
Cak tum pik tang, bisik ibu, itulah bunyi perang. Ramai sekali. Memenuhi rongga telinga. Namun lelaki itu berpesan, lupakan suara perang yang ramai, lupakan dongeng itu, jika kau ingin menghapus luka tanpa bekas.
Aku lihat lampu taman, nyala. Aku bayangkan kepala ayah.
Sesuatu mendesak di mataku. Mengalir lambat-lambat.
Padang, 2006.