A.S. Laksana *
jawapos.co.id
Di lampu lalu lintas yang menyertakan penanda waktu, Anda bisa belajar memahami sesuatu, yakni bahwa Anda bisa menunggu dengan perasaan lebih nyaman ketika waktunya pasti. Misalnya lampu merah menyala dan penanda waktu menunjukkan angka 120, maka Anda memiliki waktu kurang lebih 120 detik untuk menunggu angka itu turun menjadi nol. Pada saat nol itulah lampu hijau ganti menyala dan silakan Anda melanjutkan perjalanan. Selama menunggu angka menjadi nol, Anda bisa mulat-mulet di sadel kendaraan, melakukan peregangan otot seperlunya, minum air mineral barang seteguk, atau apa pun yang bisa Anda lakukan dalam rentang waktu tersebut.
Itu semua tak bisa Anda lakukan dengan nyaman di lampu lalu lintas model lama yang tak menyertakan penanda waktu. Anda tak tahu akan berapa lama Anda harus berhenti ketika lampu merah menyala. Ketika Anda merasa nyala merahnya terlalu lama, Anda mungkin dirundung ketidaksabaran untuk menunggu kapan giliran lampu hijau. Dan ketika Anda sangat tidak sabar, kemungkinan terbesarnya cuma satu: Anda akan menyerobot jalan tanpa menunggu lampu hijau menyala. Ini banyak dilakukan oleh pengendara motor atau, kalau di Jakarta, oleh sopir Metromini dan kerabatnya sesama angkutan umum.
Saya iseng memikirkan lampu lalu lintas karena tiba-tiba kebosanan menyerang saya pada hari di mana seharusnya saya antusias. Selasa (24/2/2010) lalu fraksi-fraksi di DPR menyampaikan pendapat mereka soal pengguyuran dana untuk Bank Century. Mestinya ini peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu setelah berlangsungnya pertunjukan riuh di ruang pansus (kadang tampak seperti atraksi debus, kadang seperti ketoprak, kadang seperti ludruk). Tetapi justru sekarang saya kehilangan hasrat membicarakan itu. Saya kira karena reaksi para menteri, terutama dari kalangan partai-partai koalisi yang bersuara sengit, terlampau mudah diduga.
Anda tahu, tak ada satu pun dari mereka memiliki nyali untuk menyatakan mundur. Yang bisa kita dengar dari mereka hanyalah pernyataan-pernyataan sangat normatif: ”Jika presiden menghendaki, saya siap diganti,” atau ”Saya ditugasi oleh partai untuk membantu presiden,” atau ”Saya menjalankan amanat partai untuk loyal kepada presiden.” Berlawanan dengan sikap fraksi masing-masing, para menteri itu menunjukkan bahwa mereka adalah kelinci-kelinci jinak yang memiliki kesediaan untuk diperlakukan apa saja.
Fakta tersebut memberi kesempatan kepada Ruhut Sitompul, pemain sinetron yang mengumbar akting di sembarang forum, untuk meledek mereka sebagai orang-orang yang tidak tahu malu dan tidak tahu berterima kasih. ”Golkar sudah kita kasih tiga menteri meski pada pilpres kemarin mereka punya capres dan kalah,” kata Ruhut. ”Kalau PKS memang kelakuannya dari dulu begitu, sudah dikasih empat menteri nggak berterima kasih.”
Dan, dalam kesempatan lain keadaannya berbalik. Itu terjadi pada rapat kerja Komisi III (Hukum) DPR dengan Kapolri, di mana Ruhut meminta agar Kapolri mempermudah seleksi terhadap polisi kenalannya. ”Tolong dibantu ya, Pak. Kalau nggak, habislah kariernya,” katanya. Apa-apaan orang ini? Dengan tindakan itu, maka ganti Ruhut yang sekarang memberi kesempatan kepada koleganya sesama anggota Komisi III untuk menyebutnya sebagai pelaku mafia jabatan. Dan ada saran agar si tukang akting ini dilaporkan ke Badan Kehormatan DPR.
Masalahnya, apakah yang dilakukan oleh Ruhut itu juga tergolong tidak tahu malu? Bagi Ruhut mungkin itu tindakan terpuji dan amat santun –ia memperjuangkan nasib sesama jemaat yang ia temui di gereja– meski bagi Anda itu mungkin tindakan jorok dan tak patut. Tapi kita tidak bisa apa-apa karena menurut cara berpikir Ahmad Mubarok, salah satu ketua Partai Demokrat, kehadiran Ruhut di DPR adalah mewakili dirinya sendiri. Saya pernah menyampaikan pendapat alangkah ajaibnya orang yang mewakili dirinya sendiri dibiarkan saja menyandang predikat wakil rakyat. Kenapa Partai Demokrat tidak me-recall dia jika pendapat Mubarok benar?
Tabiat-tabiat seperti itulah yang membuat saya terserang kebosanan. Karena itu, sekarang saya lebih suka membicarakan urusan lain, misalnya, apakah presiden yakin akan bisa memberantas makelar kasus atau makelar apa pun yang layak diberantas. Saya menyinggung-nyinggung soal ini sebab tampaknya aparat hukum masih ogah-ogahan mendukung program pemberantasan makelar kasus –sekiranya program itu benar-benar ada. Saya khawatir bahwa mereka ogah-ogahan karena, bagi aparat hukum, menjalankan program itu berarti akan mengganggu sandang pangan mereka sendiri. Bagaimana mereka harus memberantas praktik makelaran yang merupakan sumber penghasilan besar bagi mereka sendiri?
Jaksa Urip Tri Gunawan, Anda tahu, bisa mendapatkan Rp 6 miliar dari Artalyta Suryani hanya dengan menjadi kurir yang ”wira-wiri” mengawal kasus BLBI Sjamsul Nursalim. Jasa apa di negeri ini yang bisa menjanjikan rezeki kakap selain menjadi makelar kasus?
Jika presiden bersungguh-sungguh memberantas makelar kasus, saya kira yang dibutuhkan adalah kebijakan keras di level pemerintah pusat yang bisa menjangkau hingga tingkat terbawah birokrasi. Tetapi rupanya presiden lebih suka membentuk satgas yang beranggotakan beberapa orang. Saya kira terlalu muluk-muluk menyerahkan urusan pemberantasan mafia hukum hanya kepada satgas (namanya terdengar agak mirip-mirip dengan satpam). Saya akan bisa memahami jika muncul suara bahwa presiden selalu mendahulukan pencitraan: yakni bahwa ia sudah melakukan sesuatu untuk membenahi hukum; buktinya ia membentuk satgas mafia hukum. Tetapi bukankah itu mengesankan bahwa presiden sedang mengangkat para Superman untuk menegakkan hukum yang bobroknya sudah kebablasan?
Jika kita bicara soal makelar secara umum dan tidak hanya makelar kasus, sebetulnya saya membayangkan langkah-langkah pemberantasan yang melibatkan partisipasi publik dan masuk akal untuk dijalankan. Di tingkat yang paling sepele, kita bisa mengambil contoh pembuatan KTP di kantor kelurahan. Untuk menghilangkan praktik makelaran di sana, kita memerlukan sebuah kebijakan tentang jangka waktu pembuatan KTP, misalnya, paling lama seminggu. Lebih dari itu, warga berhak mengadukan aparat kelurahan ke kepolisian. Tempelkan pengumumannya di dinding kelurahan: ”Seluruh persyaratan Anda lengkap, urusan Anda akan beres paling lambat seminggu. Lebih lama dari itu, laporkan kami ke kepolisian.”
Sekiranya kebijakan semacam ini diberlakukan untuk seluruh urusan kita dengan birokrasi, saya yakin para makelar akan menyingkir dengan sendirinya. Urusan yang tidak jelas kapan rampungnya akan memberi celah bagi berlangsungnya transaksi dan permakelaran. Sebaliknya, jika setiap orang bisa memastikan kapan urusannya selesai, ia tidak perlu menyewa makelar atau membayar petugas agar didahulukan.
Saya benar-benar mendapatkan pelajaran ini dari lampu merah di perempatan jalan. Di lampu merah yang menyediakan petunjuk waktu saya melihat jumlah penyerobot sangat berkurang. Jadi, pelajaran terpenting di sini adalah bahwa untuk tertib memerlukan adanya kepastian. Dan kepastian dengan sendirinya akan mengurangi, kalau bukan menyingkirkan sama sekali, praktik gelap permakelaran.
Hal yang sama saya kira berlaku juga di medan politik. Jika Anda tidak tahu berapa lama harus menunggu presiden buka suara untuk sebuah keputusan krusial, maka Anda akan menunggu dengan gelisah. Dan orang-orang yang gelisah, ketika berhimpun dalam jumlah sangat banyak, bisa melakukan gerakan turun ke jalan sambil menuntun kerbau atau membawa atribut apa pun sebab mereka menginginkan kepastian dan mereka ingin suara mereka didengar.
***
*) Beralamat di aslaksana@yahoo.com