Pengemukaan Pelaku Budaya Urban

Sjifa Amori
http://www.jurnalnasional.com/

Semua orang adalah seniman. Semangat ini digaungkan sejak awal memasuki lingkup wilayah gedung Galeri Nasional Indonesia yang menjadi tempat dihelatnya Pameran Jakarta Art Movement bertajuk The Second God yang berlangsung mulai Minggu (21/2) hingga 28 Februari.

Dibuka dengan iringan musik elektronik, tampaklah sebentuk formasi tarian yang dilengkapi sorotan lampu warna warni. Beberapa model kemudian tampil memamerkan beberapa karya yang melibatkan unsur seni desain fashion, body painting, koreografi, dan unsur artistik pertunjukan lainnya.

Dengan sikap tubuh robotic, para model lantas berpose dengan wajah tanpa ekspresi dan gerak terpatah-patah yang diselaraskan dengan musik. Acara yang jadi bagian pembukaan pameran ini berlangsung cukup lama dalam rangka memamerkan karya berjudul KROZ-Forbidden The Second God yang dibuat oleh Kezia and Friends. Karya ini adalah rancangan busana daur ulang limbah logam, elektronik, dan plastik.

Menyaksikan pergelaran ini seperti terpapar proyeksi gaya hidup kaum urban. Lampu warna-warni khas klub malam berbaur dengan material sampah (dirangkai dalam desain fashion terkini) membungkus manusia-manusia urban yang trendi dengan sekujur tubuh penuh lukisan. Peragaan karya ini terbilang tidak terlalu menghadirkan kejutan baru dalam pengalaman visual, meskipun secara konseptual cukup layak dicermati, karena menempatkan ide Second God pada bingkai spiritualisme baru, dalam hal ini adalah sekte-sekte buatan manusia.

Karya lainnya, misalnya adalah Tuhan-Robot seksi berkepala televisi yang berdiri di salah satu ruang pamer. Bertemu Tuhan-Robot di ?rumah ibadah? yang dibuat oleh sang seniman mesti menyanggupi syarat-syarat ibadah yang ditentukan. Seperti menyumbang ke kotak amal, tidak merokok kecuali rokok yang sama dengan Tuhan-Robot, dan aturan lainnya yang sesuai ?agama? miliknya.

Cyborg Worship adalah nama dari Tuhan-Robot ini. Fisiknya merupakan hasil kerja proses teknologi (dengan tangan robot yang mampu mengayun sesuai dengan persendian manusia). Begitu juga kepalanya adalah televisi yang masih merupakan produk kecanggihan teknologi. Hanya saja televisi ini menghadirkan tampilan audio-video art.

Secara keseluruhan, Cyborg Worship adalah instalasi seni yang dibuat dengan pemikiran bahwa teknologi adalah salah satu faktor yang dituhankan manusia urban, sebagai korban globalisasi.

?Ini adalah karya visual yang mengkritik fenomena sosial. Manusia kini menyembah teknologi seperti TV dan ponsel begitu hebatnya hingga seluruh tujuan hidupnya adalah pencapaian maksimal terkait kepemilikan benda-benda itu. Tidak pernah jelas lagi pemfungsian dasar dari teknologi itu, kecuali hanya untuk mendapatkan kepuasan memilikinya,? kata desainer grafis dan pematung Ario Hendrasto yang membuat karya ini bersama Robotic Team UNTAR .

Jika Robotic Team UNTAR (Epriyanto Gunawan, Henry, Suwandy Wijaya, dan Indra Lesmana) adalah pekerja teknis karya ini -mungkin juga bisa disebut artisan- yang sama sekali tidak terlibat dalam wacana pemikiran Ario sebagai konseptor, maka menurut kurator pameran, Ilham Khoiri, mereka juga merupakan seniman yang menyumbang sama besarnya dalam penciptaan karya. Pada dasarnya, semua orang yang terlibat adalah seniman.

Memaknai wacana bahwa semua orang adalah seniman tentu bukan proses singkat. Belum tentu bisa diterima hanya dengan selesai membaca torehan kalimat ini di dinding ruang pamer. Bahkan mungkin juga belum bisa dipahami setelah selesai menyimak keseluruhan karya.

Paling tidak ini tercermin dari keberagaman latar belakang profesi dan dunia seluruh peserta pameran. The Second God diikuti oleh berbagai profesional, seperti pembuat film, pelukis, arsitek, desainer interior, pematung, perancang busana, desainer grafis, fotografer, seniman instalasi, eksekutif perusahaan, wartawan, bahkan mahasiswa laboratorium robot, yang ternyata berpotensi mengungkap keragaman masalah dan sudut pandang dalam bentuk ekspresi seni rupa.

Hal ini dikemukakan kurator dan Direktur Jakarta Art Movement Bambang Asrini Widjanarko dalam sambutan pembukaan pameran yang ia klaim sebagai sebuah tawaran penyegaran ini. Pameran The Second God merupakan respon seni rupa yang terkini atas progresivitas gagasan, tawaran bentuk seni baru dengan eksisnya teknologi visual yang makin canggih, dan berbagai tantangan peristiwa saat ini.

Tim kurator yang terdiri dari Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri, Seno Joko Suyono, dan Imam Muhtarom, kemudian mengerucutkan temanya tentang bagaimana seni memahami konsep tentang ketuhanan di tengah masyarakat.

Konsep ini diwujudkan dalam bentuk karya yang terbagi atas tiga zona, yaitu Ketuhanan terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Identitas dan Kemanusiaan, serta Spiritualisme Baru. Bentuk konkretnya sangat beragam, mulai dari patung, ukisan di atas kanvas, hingga berbagai instalasi, termasuk yang memanfaatkan mobil sebagai media instalasinya.

Kelompok Agus Budiyanto and Friends menggunakan mobil bekas sebagai objek seni yang mendapat sentuhan baru -yaitu diporakporandakan sehingga penyok di sana-sini. Menurut penciptanya, karya berjudul Kalathida ini menggambarkan keadaan segala sesuatu tidak pasti. Bunga raksasa (paper art medium) yang seolah tumbuh merekah dari ketidakpastian ini menguatkan kesan kontras akan harapan di tengah keterpurukan.

Kebaruan sepertinya bukanlah gagasan yang diusung dalam pameran ini. Makanya kemudian sebagian besar karya seperti berperan sebagai pengingat saja atas fenomena sosial masyarakat urban. Simbolisasi atau pun pendekatannya sangat sederhana sehingga mudah diterima publik. Di lain pihak, karya-karya ini dikemas sedemikian menarik secara visual sehingga kemungkinan besar wacana penting di baliknya (yang semestinya dieksplorasi dan direnungi publik) justru tidak terlalu mendapat perhatian.

Keakraban seni rupa dengan publik yang meniadakan eksklusivitas seni dan membuka ruang bagi publik untuk berkreasi atau menikmati, pada akhirnya bisa juga menjadi tantangan bagi Jakarta Art Movement untuk mengeksekusi nilai artistik dan estetika karya yang layak dipamerkan. Ujung-ujungnya tentu saja pada standarisasi karya.

Ilham menjelaskan bahwa setiap karya dikerjakan oleh sebuah kelompok. Anggotanya terdiri dari seniman dan juga pelaksana teknis sesuai keahlian masing-masing yang pada akhirnya memproduksi karya dalam keseimbangan artistik, estetik, serta konsep dan teknis yang matang.

Kalau pun pada akhirnya terasa sangat unsur urbannya, tentu karena dibuat oleh para pelaku budaya urban. Harapannya adalah karya seni rupa yang lahir dari budaya urban ini tidak sekadar mencomot elemen-elemen urban untuk ?dijahitkan? menjadi sebuah produk eksperimentatif dan kreatif. Melainkan menjadi sebuah karya yang benar-benar dilandasi konsep penciptaan.

Leave a Reply

Bahasa ยป