INDIA

Djadjat Sudradjat
lampungpost.com

KEKERASAN bukanlah sesuatu yang jauh dari India. Ia negeri dengan takdir betapa konflik dan kekerasan seperti tidak bisa menjauh. Ia kerap dan dengan korban yang menciptakan horor. Di negeri ini, sejarah memang telah menulis jejak yang tidak enak bahwa kekerasan seperti spirit yang diwariskan turun-temurun. Seperti “cerita bersambung”. Sejak Mahatma Gandhi dibunuh seorang Hindu fanatik pada 1948.

Serangan teroris terhadap 10 tempat di Mumbai, Rabu (26-11) malam itu, kian meneguhkan negeri dengan kekerasan yang tidak pernah usai. Hotel, stasiun kereta api, bandar udara, restoran, rumah sakit, menjadi target serangan yang menewaskan lebih dari 160 orang.

Dan, seperti biasa, selain menimbulkan kepanikan serangan teroris juga menimbulkan prasangka. Meskipun kelompok Deccan Mujahedeen mengaku bertanggung jawab, India menuduh Pakistan berada di belakang serangan itu. Bukankah serangan 9/11 terhadap World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, juga melahirkan prasangka terhadap Irak? Negeri itu akhirnya diserbu dan Saddam Hussein dihukum gantung. Dan, di Irak, kekerasan kian subur.

India mestinya menjadi basis multikulturisme yang amat kuat. Tetapi, negeri berpenduduk 1,1 miliar manusia itu belum bisa menegakkan keberagaman menjadi kekuatan. Agama, etnis, politik, budaya, dan perbatasan, bisa menjadi sumber saling menghabisi. Di negeri itu, sejak enam tahun terakhir, terorisme telah meregangkan 600 nyawa manusia.

Seperti juga serangan terhadap WTC, serangan terhadap Mumbai juga dengan sekejap menjadi peristiwa global. Televisi dan internet, dengan cepat “menahbiskan” peristiwa lokal di India itu menjadi peristiwa global. Media massa, memang punya kekuatan melipatgandakan persepsi–juga trauma–erhadap peristiwa duka.

Para pemimpin dunia pun segera berlomba mengutuk serangan biadab itu. Tetapi, yang terkeras memang dari Amerika. “Amerika akan bekerja sama dengan India dan negara-negara lain untuk membabat habis dan menghancurkan jaringan teroris. Saya mengikuti perkembangan konflik di sana, salah satunya lewat intelijen AS,” tegas Presiden kulit hitam pertama Amerika itu, Barack Hussein Obama.

Tetapi, siapa sesungguhnya teroris itu? Berkaca pada tragedi 9/11, kata filsuf Jerman, Jurgen Habermas, ia khawatir reaksi berlebihan terhadap bahaya terorisme. Sebab, ia musuh yang tidak jelas dan tidak dikenal. Reaksi berlebihan justru menjadi tujuan pelaku teror.

Filfuf Prancis, Jacques Derrida, juga mempunyai pandangan sama dengan Habermas. Mereka sepakat bahwa terorisme adalah sebuah konsep yang sulit ditangkap. Ia bukan entitas politik. Sebab itu, ia mempertanyakan, apakah negara atau koalisi negara bisa memaklumatkan perang terhadap sesuatu yang bukan entitas politik?

“Fenomena sulitnya menuangkan konsep terorisme ini terlalu sering luput dari pemahaman media Barat dan Departemen Luar negeri Amerika Serikat. Mereka menggunakan istilah terorisme seolah-olah itu suatu konsep yang jelas dan gamblang dengan sendirinya,” tulis Giovanna Borradori dalam Philoshophy in A Time of Terror.

Habermas dan Derrida hadir di New York beberapa waktu setelah tragedi 9/11. Keduanya menyaksikan Amerika, bangsa yang amat terbuka dan percaya diri itu, tiba-tiba menjadi amat paranoid. Mereka seperti kehilangan seluruh kepercayaan diri untuk menghadapi masalah. Solusi Presiden George Bush menjadi amat fatal, menyerang Irak. Pilihan ini ternyata justru kian menyuburkan terorisme.

Pastilah tidak secara kebetulan jika Prancis dan Jerman lebih jernih dibanding dengan Inggris dan Australia dalam mendukung Amerika untuk menggempur Irak. Kedua negara itu bahkan dalam beberapa hal berselisih pendapat dengan Amerika. Pandangan-pandangan Habermas dan Derrida pastilah menjadi masukan berharga kepada pemerintahan negeri masing-masing.

Mereka menyadari betapa terorisme memang menimbulkan horor yang luar biasa. Tetapi, begaimana perang melawan musuh yang tidak jelas itu? Derrida bahkan memberi warning di masa mendatang bisa saja serangan-serangan terjadi dengan senjata kimiawi dan biologis. Atau perusakan sistem komunikasi digital secara diam-diam.

Meskipun India negeri yang akrab dengan kekerasan, serangan Mumbai, sebagai pusat dagang tersibuk di India, tetap akan menjadi trauma yang tidak tertahankan. Rumah sakit, hotel, restoran, bukan menjadi tempat “nikmat” lagi bagi segala urusan privat, melainkan bisa berubah menjadi horor.

Berbagai analis memang meramalkan India hanya akan sedikit terguncang. Keajaiban ekonomi di negeri itu, yang rata-rata tumbuh 9%, tidak akan terganggu. Lembah Silikon akan tetap menjadi pesona dunia dengan inovasi-inovasi para ahli teknologi informasi terbaik.

India akan tetap menjadi negeri penuh paradoks. Di negeri ini lahir tokoh agung Gandhi yang mengajarkan kesederhaan dan spirit hidup tanpa kekerasan (ahimsa). Tetapi, di negeri ini kekerasan justru seperti menjadi tradisi. Di negeri ini, kemewahan bertumbuh dan didampingkan dengan kemiskinan yang memedihkan. Ini juga potensi menjadi bibit konflik.

Terorisme memang menimbulkan horor yang tidak tertahankan. Tetapi siapa mereka? Dan, dengan cara apa kita bisa mengalahkan? Sebab, makin dikutuk dan diburu, ia makin mengancam. Juga di India.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *