Menggali Inspirasi dari Batu Permata

Wayan Sunarta

Beranda

ADA banyak cara menggali inspirasi. Yang sudah lumrah adalah berburu ke alam bebas, merenungi hakikat dan keindahan alam, lalu menuangkannya ke kanvas. Cara lainnya, menyelam ke alam batin (bawah sadar), sehingga memunculkan karya-karya berbau surealisme, simbolisme, atau abstrakisme.

Namun, Satar Tacik (41), pelukis dari Ampenan, Lombok, NTB, memiliki cara yang berbeda. Dia menyerap inspirasi dari keunikan batu-batu permata. Setiap malam dia tafakur dan meneropong batu-batu permata dengan bantuan cahaya lilin. Batu permata yang bening didekatkan ke mata, mirip posisi mengintip dari lubang kunci.

Dengan bantuan cahaya lilin dari arah depan, maka akan terlihat berbagai wujud aneh dan ajaib di dalam batu permata yang diteropong itu. Ada wujud samar manusia berkepala enam, manusia ditelan naga, burung berkepala kuda, raksasa, naga kepala tiga, dan sebagainya. Semua itu terbentuk karena serat dan urat alami batu permata ditambah kelincahan imajinasi peneropong.

Ini bukan klenik atau ilmu gaib. Semua orang bisa melihat wujud-wujud itu dengan meneropong batu permata. “Syaratnya, permata harus bening atau tembus cahaya,” tutur Tacik.

Sambil meneropong permata, dia membuat sketsa wujud-wujud aneh itu. Kemudian sketsa itu dipindahkannya ke kanvas melalui teknik melukis yang dikuasainya. Di dalam sebiji permata bisa ditemui banyak wujud, tergantung sudut pandang saat meneropongnya.

Ada sekitar 30 lukisan yang ditampilkan Satar Tacik dalam pameran tunggal perdananya ini. Pameran yang bertajuk “Menembus Cahaya” ini berlangsung di Taman Budaya Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 11-21 November 2009. Sebelumnya, dia telah beberapa kali menggelar pameran bersama. Tacik merupakan tamatan SMSR Denpasar. Selain melukis, kini dia bekerja sebagai staf fungsional di Taman Budaya Mataram.

Lukisan-lukisan Tacik terkesan seram dan magis, penuh wujud-wujud ganjil. Misalnya, sebuah lukisannya menggambarkan ular naga berkepala tiga dengan lidah menjulur-julur. Atau pada lukisan lain menggambarkan perempuan jelita yang bermesraan dengan raksasa. Pilihan warna yang dipakainya cenderung sama, yakni warna-warna suram penuh aroma kefanaan atau suasana asing yang tiada tara.

Di Mataram, NTB, Tacik dikenal sebagai pelukis yang eksentrik. Suka menyepi dan berburu batu hingga ke pelosok daerah terpencil. Rumahnya yang sederhana dipenuhi berbagai macam batu dan fosil kayu berbagai ukuran. Bahkan batu-batu itu ditanam layaknya menanam pohon sehingga terciptalah sebidang taman batu.

Memang, sejak lama aura batu telah menarik hatinya. Bahkan dia rela menjual sepeda motor demi mendapatkan batu yang diidamkannya. Dan, kini energi batu itu terpancar di dalam lukisan-lukisannya, menembus cahaya, merasuki jiwa apresian yang sempat menyaksikan karya-karyanya secara langsung.

Kecintaan Tacik pada batu dimulainya sejak 1990-an. Dia berburu batu hingga ke pelosok pedalaman. Batu-batu itu ditaruhnya dalam pot atau alas tertentu sehingga menjadi seni suezeki (bonsai batu). Bukan cuma batu alam. Tahun 2000-an dia mulai menggandrungi batu permata. Ada banyak permata yang telah dikoleksinya, seperti mirah, safir, mata kucing, jamrud, kristal, akik, hingga kecubung.

Menurut Tacik, setiap permata memiliki energi tertentu. Energi itu bisa sesuai untuk seseorang, namun belum tentu untuk orang lainnya. Jika sesuai dengan energi pemakainya, maka batu permata itu bisa memberikan kekuatan tertentu kepada pemakainya. Setiap permata mengandung misteri dan keajaiban yang mengundang penikmatnya hanyut di dalam keindahan dan misteri batu itu.

Dalam kaitannya dengan proses melukis, dia suka mengamati tekstur dan warna bebatuan dan kayu-kayu tua. Hal itu seringkali menjadi inspirasinya saat melukis. Lukisan-lukisan Tacik cenderung simbolis dan surealis. Dan, semua inspirasinya bersumber dari hasil peneropongannya terhadap batu permata. “Bukan dari imajinasi, konsep atau ide. Semua simbol yang saya lukiskan sudah ada di dalam batu yang saya teropong,” tuturnya.

Leave a Reply

Bahasa ยป