Wahyu Dramastuti
http://www.sinarharapan.co.id/
SELAMAT pagi, Pak Gubernur! Mudah-mudahan pagi ini Anda sedang membaca cerita pendek saya sambil minum teh hangat di tengah kebun rindang dan rumput yang menghijau. Ini penting, supaya hati ini senantiasa hangat tapi pikiran tetap dingin. Ah.? maaf, Pak Gubernur, saya hanya ingin menyampaikan isi hati secara tulus.
Cerita ini tentang penjual ketoprak langganan saya, Kojak namanya. Cukup panggil Kojak, karena kepalanya lonjong tapi rambut plontos, hidungnya seperti hidung betet. Persis seperti ?Kojak? Telly Savalas yang terkenal di era 1970-an, saat saya dan teman-teman berebut kursi untuk menonton televisi di rumah tetangga.
Itulah makanya orang-orang satu RW memanggilnya Kojak, meski nama sesungguhnya Karyo Slamet. Cuma, tubuh Kojak tidak setinggi dan segagah ?Kojak? yang sesungguhnya, karena tubuh sang Kojak yang satu ini pendek dan gempal. Perutnya menonjol keluar, tapi ini justru memudahkan orang-orang dari kejauhan untuk langsung tahu bahwa Kojak sedang menjajakan dagangannya.
Kojak selalu mangkal di Gang Beceng, RT 09/RW 11. Biasanya ia melewati rumah saya sekitar jam 6 sore, persis saat saya sedang menyirami tanaman di halaman rumah. Ia mendorong gerobak tuanya pelan-pelan. Krieeet?. krieeet?. suara gerobaknya berderik-derik, membuat saya geregetan jika tidak menengok. Biasanya saya memandangi Kojak sampai menghilang di balik tembok Gang Beceng. Pantatnya yang terbungkus celana gombrong terlihat terguncang-guncang. Menggelikan.
Gang Beceng dipilihnya sebagai tempat untuk berjualan karena letaknya persis di bawah tiang listrik, sehingga tak perlu menyantol setrum secara ilegal. Penerangan listrik juga memungkinkan Kojak untuk mencuci piring dan gelas bekas hingga bersih.
Tepatnya, gerobak Kojak diparkir di sebuah gang berbentuk tusuk sate, sehingga setiap orang yang duduk di bangku kayu di sisi gerobaknya bisa memandang ke segala penjuru. Mau ke arah depan, ke arah kiri atau kanan. Tapi repotnya, kalau ada mobil yang lewat, maka lutut dan kaki terpaksa ditekuk, kalau tidak mau disenggol oleh moncong mobil. Kerepotan masih bertambah jika ada bajaj atau sepeda motor yang lewat sambil menggeber-geber gas, uuuhh?. hidung harus ditutup rapat-rapat.
Meski sering dibuat jengkel oleh ulah pengendara sepeda motor atau mobil, saya selalu menyempatkan diri mampir ke gerobak Kojak. Ketopraknya memang lezat. Tentu yang namanya ketoprak bahan bakunya sama: ada kacang tanah, gula merah, bawang putih, tahu goreng, kecambah, ketupat, bihun, lalu ditambah kecap manis dan kerupuk. Tetapi ketoprak Kojak lebih istimewa. Bawangnya diulek bulat utuh dan kacangnya tidak dicampuri tepung.
Kojak memang selalu memilih bahan baku yang terbaik. Ia punya prinsip tidak mau bekerja asal-asalan; asal jadi, asal dapat untung. Mungkin resep itulah yang membuat dagangan Kojak selalu laris manis antara jam 6.30 petang sampai jam 11 malam. Tentang resepnya itu, Kojak pernah bercerita pada saya, ?Kalau mau dapat langganan banyak harus memuaskan, jangan malah nguriki, mumpung lagi payu terus urik (mumpung sedang laku lantas curang).?
Itulah mungkin yang membuat pelanggan Kojak datang dari segala tempat, tidak hanya warga RT 09/RW 11 Gang Beceng, tapi juga dari Kecamatan Palagan yang jaraknya 30 kilometer. Sepulang dari kantor, mereka rela antre bersama para pembantu rumah tangga yang disuruh majikannya untuk membelikan ketoprak.
Sebungkus ketoprak harganya Rp 5.000. Pernah pada suatu hari saya menyodorkan uang Rp 10.000 lalu langsung pergi tanpa teringat akan uang kembalian. Namun 1,5 bulan kemudian ketika saya membeli ketoprak lagi, Kojak mengembalikan uang saya yang Rp 5.000 itu. Saya terkejut bukan main. Ketika saya bertanya mengapa ia masih teringat akan uang kembalian Rp 5.000 itu, Kojak menjawab dengan tenang, ?Dik, barang yang bukan milik kita harus dikembalikan kepada yang berhak?.
Mendengar jawaban itu, saya menarik napas panjang. Seketika malam itu terasa sangat indah. Bintang-bintang yang menggantung di langit tampak berkilauan, rembulan pun ikut tersenyum. Sudah sangat lama saya merindukan ucapan seperti Kojak itu. Sudah sangat lama saya tidak mendengar nasihat seperti itu dari pejabat pemerintah.
***
Bapak Gubernur, pada suatu sore saya kehilangan Kojak. Sudah dua minggu lamanya dia tidak berjualan ketoprak. Saya bertanya kepada semua tetangga, tetapi tak ada yang bisa menjawab. Semua mengatakan tidak tahu. Sejujurnya, saya tidak hanya kangen dengan bumbu kacang ulekan Kojak, tapi juga kangen ucapannya yang selalu menyejukkan hati. Setiap katanya senantiasa membesarkan hati dan membangkitkan optimisme, meski tidak dibuat-buat supaya memperoleh pujian.
Setelah satu bulan diliputi pertanyaan, akhirnya saya bertemu Kojak lagi di Gang Beceng. Seperti biasanya, raut wajahnya terlihat cerah, pipinya yang tambun semakin membundar tatkala mengembang. Maka saya tak percaya ketika diberi tahu bahwa Kojak baru saja kehilangan anak. Anaknya yang nomor 1 meninggal dunia di jalan raya ketika sedang naik sepeda motor. Ironisnya, dia tewas bukan karena tabrakan, tetapi karena terlalu banyak mengisap asap knalpot. Menurut dokter, penyakit asmanya kambuh pada saat tertekan asap timbal.
Sesungguhnya, Kojak sangat bersedih hati, tetapi ia tidak mau terus larut dalam kesedihan. Bahkan dengan tegar dia bercerita bahwa baru dua bulan lalu si anak nomor 1 dikreditkan sepeda motor. Pada awalnya Kojak tidak mau membelikan sepeda motor mengingat situasi jalanan sudah penuh dijejali mobil dan sepeda motor, sampai-sampai pejalan kaki kesulitan menyeberang.
Tetapi mengingat anak nomor 1 baru saja lulus SMA dan merengek minta dibelikan sepeda motor, akhirnya Kojak membelikannya sebagai hadiah lulus SMA. Saat saya tanya tentang musibah itu, Kojak justru menenangkan hati saya. ?Namanya juga musibah, Dik,? katanya dengan nada datar. Sama sekali tak terlihat ada kemarahan di wajahnya, meski anaknya menjadi korban kebijakan pemerintah membuka keran impor kendaraan bermotor.
Hari berganti hari, sampai akhirnya tiga bulan berikutnya, Kojak kembali tidak berdagang. Saya mencari-cari ke mana gerangan penjual ketoprak yang lembut hati itu. Sampai akhirnya sebuah kabar buruk kembali menyambar telinga saya. Ternyata anak Kojak yang nomor 2 tewas terjatuh dari kereta api listrik.
Menurut cerita beberapa tetangga, suatu siang si anak berdesak-desakan di dalam kereta api saat berangkat menuju sekolah. Seperti biasanya, ia tidak pernah mendapatkan tempat duduk, tetapi juga tidak pernah ikut-ikutan duduk di atas atap kereta. Kojak selalu menasihati anak-anaknya agar tetap bersikap santun meski tidak diperlakukan secara manusiawi. Tetapi siang itu anak nomor 2 terlempar keluar, gara-gara kereta api menabrak sebuah mikrolet yang sedang melewati lintasan kereta api tanpa palang pintu.
Setelah itu, baru sebulan berikutnya saya melihat Kojak kembali berdagang. Wajahnya terlihat kuyu walaupun tetap berusaha tersenyum. ?Namanya juga musibah, Dik,? begitu kata Kojak saat saya memperhatikan wajahnya. Air mukanya tetap tenang, tidak terlihat ada kemurkaan, walaupun ia sadar kalau anaknya mati gara-gara pemerintah tidak memperhatikan masalah transportasi untuk rakyat kecil.
Setelah dua minggu berdagang, lagi-lagi saya kehilangan Kojak. Ia absen selama 2 bulan, membuat saya penasaran. Mudah-mudahan tidak ada musibah lagi, begitu setiap kali saya memanjatkan doa. Tetapi rupanya doa saya belum dikabulkan oleh Yang Mahakuasa. Kabar buruk kembali menggelegar bagaikan petir. Kali ini nasib naas menimpa anaknya yang nomor 3. Ia tewas di dalam metromini setelah berkelahi dengan penodong. Penjahat mengira si anak nomor 3 membawa banyak uang karena tidak mau menyerahkan tasnya, padahal di dalam tas hanya ada ijazah SMP yang baru saja diambilnya dari sekolah.
Sudah sejak lama anak nomor 3 bercerita bahwa ulah pencopet di kendaraan umum semakin nekat. Tetapi Kojak tidak bisa berbuat apa-apa karena sadar aparat yang dilapori tidak akan berbuat banyak, atau kalau mengadu malah dipungut uang formulir pengaduan. Maka kepada anak-anaknya ia hanya berpesan agar hati-hati. ?Kalau kalian memang benar, harus membela diri. Tetapi kalau salah harus meminta maaf dan jangan mengulanginya lagi,? demikian pesan Kojak kepada anak-anaknya.
Hari-hari berikutnya keadaan sudah normal kembali. Kojak berjualan, dan saya kembali mendapatkan ketenangan lewat cerita-ceritanya yang menyejukkan hati. Rupanya musibah demi musibah yang datang beruntun justru membuatnya semakin bijaksana. Lelaki tua itu menjadi kian memahami arti kehidupan dan kematian, bahwa mati bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja. Ia berpesan agar sisa hidup ini dimanfaatkan untuk kebaikan agar saya siap mati sewaktu-waktu.
Pesan Kojak tentang kematian membangkitkan kesadaran saya. Betapa tidak, ia menyuruh saya untuk membayangkan seandainya esok pagi saya mati mendadak padahal saya adalah koruptor, pernah membunuh orang, dan sering membohongi rakyat dengan pembangunan kosmetik yang hanya indah di luar tetapi bopeng-bopeng di dalam.
***
Kojak, Kojak. Petuahmu selalu kurindukan. Tetapi lagi-lagi nasib buruk menimpamu. Pak RT yang sedang berjalan menuju pos ronda dan melintasi saya bercerita bahwa lima hari lalu anaknya yang nomor 4 tewas tenggelam saat banjir melanda rumahnya, padahal rumah Kojak berada di tengah kota Jakarta. Anak nomor 4 itu masih berumur 1,5 tahun, terlepas dari gendongan ibunya saat berusaha menyelamatkan diri.
Menurut Pak RT, Kojak tidak habis pikir mengapa di tengah kota besar ada banjir padahal rumahnya tidak terletak di bantaran kali melainkan di belakang gedung-gedung pencakar langit. Kojak juga tidak mengerti mengapa sarannya tidak pernah digubris oleh Pak Lurah, agar tumpukan sampah yang tersangkut di sungai dekat rumahnya segera diangkat ke darat untuk dipindahkan ke tempat pembuangan akhir (TPA), padahal ia rutin membayar iuran sampah dan kebersihan. Ia juga heran melihat orang-orang membuang sampah sembarangan termasuk yang mengendarai mobil pribadi. ?Hujan turun 15 menit saja jalanan sudah tergenang air lalu banjir,? demikian keluh-kesah Kojak.
Dia teringat tatkala masih hidup di pedesaan, setiap pohon berfungsi sebagai penyerap air dan penahan erosi. Maka ia heran bukan kepalang ketika melihat taman-taman indah di tengah kota dan di pinggiran kota diubah menjadi tembok supermal. Dia tidak tahu yang namanya komisi. Ia hanya tahu bahwa setiap keuntungan harus diperoleh secara wajar tanpa mengorbankan orang lain.
Cerita tentang kedukaan Kojak dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut, dari tingkat RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan. Semua orang menjadi merasa iba dan berlomba-lomba untuk memberi bantuan bagi Kojak. Karena simpatisan begitu banyak, akhirnya Pak RT mengkoordinasi sumbangan itu. Tetapi Kojak sendiri tidak pernah tahu kalau dirinya mendapat banyak sumbangan.
Kemudian suatu ketika, secara kebetulan saya kembali mendapati Kojak sedang mengulek bumbu ketoprak. Pembelinya antre berdiri bermeter-meter. Ada yang memang sudah tidak sabar mencicipi masakan Kojak, tapi ada juga yang hanya ingin ngerumpi, syukur-syukur mendengar cerita langsung dari Kojak. Tetapi Kojak sekarang sudah berubah menjadi pendiam, tidak lagi banyak bicara.
Selanjutnya hari berganti hari, bulan berganti bulan, awan gelap belum juga berlalu dari kehidupan Kojak. Kedukaan masih rajin menyambanginya, sampai suatu ketika Pak RT mengabarkan bahwa Sumiyati, istri Kojak, tewas terbakar bersama kiosnya di Pasar Lincak.
Berbeda dengan kabar duka sebelumnya di mana Kojak masih tegar, kali ini dia sangat shock. Kebakaran itu mengingatkan memorinya bahwa beberapa tahun lalu pemerintah daerah bertekad menyulap Pasar Lincak menjadi mal. Sudah berkali-kali Kojak meminta kepada pengurus Pasar Lincak agar pedagang kecil tidak digusur atau diperlakukan seenaknya. Tetapi rupanya, permintaan Kojak tidak pernah didengarkan oleh siapa pun.
Tiga minggu setelah kabar tentang kematian Sumiyati, saya berjumpa lagi dengan Kojak. Saya gembira melihatnya telah tertawa kembali.
Dia duduk sambil menatap air mancur di pusat kota. Saya tak berani mengusik keasyikannya. Lama saya memperhatikan, sepuluh menit, setengah jam, satu jam. Ternyata Kojak tertawa, lalu tertawa lagi, sendirian?. ***