Tagore di Gianyar

Ketajaman, Keluasan, Kedalaman…

IBM. Dharma Palguna
balipost.com

PADA akhir dekade kedua abad 20, seorang Rabindranath Tagore berkunjung ke Gianyar. Sebagai orang yang sangat didengarkan oleh dunia ketika itu, pujangga besar dunia itu tidak berbicara banyak tentang apa yang dilihatnya, tentang apa yang didengarnya, dirasakannya, termasuk apa yang barangkali dicemaskannya.

Ia memang tidak berbicara. Tapi ia menulis tentang semua itu, walau pun tidak banyak. Tulisannya tidak banyak yang kita ketahui. Kebanyakan orang juga tidak tahu menahu tentang itu.

Dari sedikit yang kita ketahui itu, isi tulisannya ternyata sangat menyanjung orang-orang Bali. Tulisannya penuh dengan pujian dan apresiasi yang sangat tinggi tentang kebudayaan Hindu yang konon tidak dilihatnya di India, tapi justru di Bali, atau persisnya di Gianyar itu. Lama setelah tulisan itu terbit (dalam bahasa Inggris), dan lama setelah Rabindranath Tagore meninggal dunia, dan bahkan lama setelah dunia mengalami banyak perubahan (termasuk Bali dan terutama Gianyar), tulisan-tulisannya tentang Bali itu masih tetap dirujuk oleh orang-orang yang ingin melihat Bali seperti dulu (bukan seperti apa adanya sekarang). Sebagai pembaca yang sedang berlajar kritis, kita berusaha mengerti dengan benar apa yang dikatakannya, dan memahami dengan bijaksana apa yang dimaksudkannya. Pendek kata, waspadailah setiap pujian, walaupun pujian itu datangnya dari seorang pengarang besar dunia.

Lalu apa masalahnya? Kunjungan Rabindranath Tagore di Bali sangat singkat. Kunjungan itu hanya dalam hitungan hari. Dan dari kunjungan singkat itu, sangat wajar bila ia sejatiya melihat sedikit dari apa yang ada. Kita pun sangat paham bahwa apa yang dilihatnya itu adalah tontonan yang dengan khusus disajikan kepada seorang tamu istimewa seperti dirinya. Sebaliknya, apa yang ditulisnya kemudian ternyata sangatlah dalam dan luas. Di sinilah letak pertanyaannya.

BAGI SEORANG pembaca yang hidup di jaman yang berbeda dengannya, saya melihat ada sesuatu yang belum pas hubungannya antara kunjungan singkat tamu istimewa dengan isi tulisan yang luas dan dalam itu. Bagaimana mungkin dengan paket kunjungan singkat ia bisa melihat banyak dan mendalam?

Memang tidak mudah menjadi seorang pembaca yang adil terhadap sebuah atau beberapa buah tulisan, terutama jika pembaca itu adalah orang yang hidup dari jaman yang tidak sama jiwa dan isi pikirannya. Karena berbeda udara yang dihirup. Berbeda air yang diminum. Berbeda makanan yang dimakan. Berbeda Buku Alam yang dibaca. Untuk bisa menjadi pembaca yang adil, kita coba memahaminya dari dua kemungkinan.

PERTAMA, mungkin saja ia melihat banyak dan mendalam karena ia adalah seorang pujangga besar. Karena bukankah kita sepakat bahwa pujangga besar umumnya memiliki ketajaman dan keluasan penglihatan dan kemampuan untuk merumuskan dan menuliskannya. Soal benar tidaknya isi tulisan itu adalah masalah lain lagi. Karena bukankah kita sepakat bahwa seorang pujangga lebih melihat sesuatu dengan perasaannya, dengan intuisinya, dan tidak selalu mudah dinilai oleh logika biasa. Apalagi pujangga tidak melulu menulis tentang apa yang dilihatnya, tapi terkadang apa yang ingin dilihatnya. Jadi kebenaran wacana seorang pujangga haruslah kita tempatkan pada porsinya. Dengan argumentasi ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa hubungan antara kunjungan singkat dengan isi tulisan yang luas dan mendalam bukan sesuatu yang tidak bisa dipahami.

KEDUA, mungkin saja ia melihat banyak dan mendalam karena sebelum datang ke Bali (Gianyar) ia telah mengetahui keadaan Bali dari sumber-sumber tertulis. Pada masa itu telah terbit sangat banyak buku tentang Bali, terutama yang ditulis oleh orang-orang Eropa.

BUKU-BUKU itu secara bersama-sama berhasil membangun Bali Dalam Kata, sehingga membuat Bali menjadi sebuah pulau kecil dengan kebudayaan besar. Buku-buku seperti itu menjadi referensi utama bagi orang yang ingin tahu tentang Bali pada masa itu. Referensi tandingan ketika itu belum banyak jumlahnya, kecuali laporan-laporan pemerintah kolonial tentang pembakaran hidup-hidup janda-janda raja (masatya), jual-beli budak lelaki dan perempuan, jual beli pusaka dan lontar, dan sebagainya. Laporan seperti itu belum banyak diangkat ke permukaan sehingga jarang diketahui oleh publik.

JADI, ada kemungkinan bahwa Bali Dalam Kata seperti itu telah ada di kepala Tagore. Sehingga kunjungannya ke Bali bisa dikatakan semacam stempel atas sejumlah informasi yang telah diketahuinya. Dengan demikian memang sangat mungkin bahwa kunjungan singkat itu menghasilkan tulisan yang luas dan mendalam, seakan penulisnya telah tinggal lama di Bali dan benar-benar mengetahui seluk-beluk kejiwaannya.

Sekarang romantisme tentang Bali seperti Bali Dalam Kata itu sudah nyaris berlalu. Buku-buku tentang Bali yang terbit belakangan tidak melulu berisi kebudayaan besar dan luhung itu, tapi Bali Apa Adanya.

PENILAIAN tentang Bali sangat tergantung pada referensi yang dipergunakan. Dan referensi yang melatarbelakangi pandangan seorang Rabindranath Tagore tentang Bali sudah sangat jelas, yaitu romantisme tentang Bali. Bedanya, romantisme itu ditulis oleh seorang pujangga yang dari tulisan-tulisannya nampak sangat paham tattwa, budaya, agama, bahkan jiwa dan roh kebudayaan. Sehingga jangankan kita, dunia pun seakan tersihir olehnya pada masanya. Tak salah ketika dunia kemudian menyebutnya Bapak Romantisme Dari Timur.

Lalu apa? Tidak ada apa-apa, selain tentang sebuah Jaman yang punya jiwa dan punya kehendak sendiri. Tagore dan pikirannya adalah salah satu produk terbagus dari zamannya.

PRODUK zaman apakah kita ini? Kita akan tahu segera setelah jaman kita ini berlalu. Artinya, identitas kita akan ditemukan oleh generasi zaman mendatang.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *