Novel Remaja Minus Cinta

Nur Aini, Angela
http://www.ruangbaca.com/

Rumah Tumbuh karya Farah Hidayati adalah contoh bagaimana sebuah novel remaja selayaknya dihidangkan. Novel tersebut memenangi penghargaan pertama dalam Sayembara Menulis Novel Remaja. Ini perhelatan pertama yang digelar Radio Nederland Seksi Indonesia dan Penerbit Grasindo.

Rumah Tumbuh memang tidak seperti kebanyakan novel remaja yang banyak menyuguhkan cerita cinta monyet anak remaja. Ia berkisah tentang Alysa, anak bungsu yang merasa terasing di tengah keluarganya karena merasa dia “tidak dianggap”.

Dia mencurahkan eksistensinya di majalah dinding sekolah dan berkembang menjadi sosok yang ambisius untuk membuktikan “keberadaannya” sebagai ketua mading.

Cerita berkembang pada hubungan antara dia dan teman-temannya. Interaksi itu menimbulkan masalah-masalah yang membantu dia memahami diri dan sekitarnya. Dalam novel ini juga terselip banyak penggalan puisi dari karakter-karakter utama yang mencerminkan kondisi psikologis tokoh-tokohnya.

Farah mengaku, ia tidak menemukan ilham khusus saat menulis cerita. “Inspirasinya datang dari mana saja,” katanya pada acara pengumuman yang berlangsung pekan silam di Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta. “Judulnya pun tidak saya siapkan, hanya mengambil dari salah satu subbab.”

Lajang berusia 24 tahun ini juga mengaku, ia tidak menyisihkan waktu khusus untuk menulis. “Saya bekerja, jadi tidak punya waktu kontinu menulis,” kata asisten arsitek di sebuah perusahaan di Jakarta ini.

Ia menghabiskan waktu kurang-lebih dua bulan untuk menyelesaikan novelnya. Biasanya, lulusan Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini meluangkan waktu di malam hari untuk menulis.

Keunikan novel Farah juga diakui oleh salah satu anggota dewan juri, Veven S.P Wardhana. “Eksplorasi tema dan bahasanya bagus,” kata penulis sekaligus pengamat media dan komunikasi ini. “Ini sudah memenuhi kriteria novel yang berkualitas.”

Dari kebanyakan novel remaja yang berkutat seputar percintaan, Veven menilai, novel Rumah Tumbuh sudah melengkapinya. “Di dalamnya ada percintaan, pencarian identitas, dan konflik psikologis,” kata Veven.

Kelebihan lainnya adalah penggambaran situasi, lokasi, dan konflik psikologis yang detail sekali. Dia menyebutkan, salah satunya adalah mengenai penjelasan detail sebuah jalan sehingga tergambar bahwa jalanan tersebut menurun dan ada gundukan-gundukannya.

Keistimewaan juga tergambar dari novel Alun Buluek karya Ayi Jufridar yang terpilih sebagai pemenang ketiga. Novel berlatar Aceh ini berkisah tentang korban bencana tsunami yang terdampar di Jakarta demi menemukan adiknya yang hilang.

Ayi, mantan jurnalis Harian Serambi Indonesia Aceh dan sejumlah kantor berita asing ini, menuturkan, ia memilih tema tersebut karena ingin menyampaikan pesan berharga bagi para pembacanya. “Masih banyak persoalan yang belum selesai setelah tsunami berlalu,” katanya.

Ayi mengaku ia tidak membayangkan novelnya bakal meraih kemenangan. “Diterbitkan jadi buku saja, saya sudah bersyukur,” katanya semringah.
Kepiawaian memilih tema dan meracik bahasa merupakan faktor penentu dalam memilih pemenang. Dewan juri yang diketuai Riris K. Toha Sarumpaet memilih 10 karya nominasi yang terjaring dari sekitar 600 naskah yang masuk.

Meski baru pertama kali diselenggarakan, jumlah peserta jauh melebihi perkiraan panitia. Niken Suryatmini, salah satu anggota panitia dari seksi acara, mengatakan awalnya diperkirakan hanya 130-an naskah yang akan masuk ke meja panitia. Membeludaknya jumlah peserta memaksa panitia mengundurkan jadwal pengumuman nominasi, dari Oktober menjadi November. “Ini sayembara yang luar biasa, baik dari segi kualitas maupun jumlah peserta,” kata Veven.

Ranesi dan Grasindo sebelumnya juga pernah bekerja sama menyelenggarakan sayembara penulisan sinopsis. Menurut Niken, tema remaja tengah diminati pencinta buku belakangan ini. Ini ditunjukkan dengan tumbuh suburnya sastra remaja (teenlit) dan sastra ringan (chicklit) di kalangan pembaca remaja.

Leave a Reply

Bahasa ยป