Puisi-Puisi Didik Komaidi

http://sastrakarta.multiply.com/
Elegi Kota Sunyi

Kota ini selalu menyimpan kenangan
Kereta api yang selalu datang di senja hari
Rangkaian gerbong yang mengusung kecemasan waktu
Rel-rel menggigil dalam kebekuan
Kursi-kursi kosong yang mencatat kesepian
Jeritan kereta api merobek malam

Jalanan membujur kaku
Lampu-lampu redup dalam keletihan jiwa
Sementara pedagang kaki lima termangu dalam lamunan
Seorang pengemis memelas dengan kaki terluka
Kerindangan pohonan menjelema mall-mall
Orang-orang hidup berhias gengsi dan harga diri
Melupakan riwayat leluhur

Hamparan alun-alun menampung kegelisahan manusia
Beringin tua tumbang karena terlalu berat menangung beban sejarah
Sementara pengamen selalu menghampiri tiap pembeli
Juga pelacur yang sabar menunggu tamunya
mempersembahkan cinta bagai seorang permasuri
dan seorang penyair yang selalu gelisah dengan zaman
menapaki waktu yang terus melaju
memaknai hari mengaji sunyi

ah, kota ini selalu menyimpan kenangan
yang tercatat dalam buku harian

Yogyakarta, 2000-2007

Petani Tua di Pinggir Kota

Seorang petani tua dengan sepeda tua
Membawa cangkul
Melihat sawah yang tinggal sepetak

Persawahan yang barangkali
Beberapa tahun lagi sudah tergusur
Oleh gedung-gedung perkantoran dan real estate
Padi-padi menghijau pun tinggal cerita buat anak cucu

Miliran-Yogya, Juli 2002

Monolog Sunyi

Setelah menziarahi kota demi kota
Aku jadi limbung menatap segala peristiwa termasuk dirimu
Kota-kota jadi menggelinding liar penuh api dendam
umpatan jorok, perselingkuhan dan persekongkolan

aku jadi diam membatu di bawah pohon perdu
menatap burung-burung yang meneriakkan keletihan jiwa
karena semua tempat menjelma rimba beton
dan anak-anak kehilangan tempat bermain

menjelang malam selalu saja dihantui teror demi teror, jam malam dan mimpi buruk
angin jadi mendesis membisikkan kematian yang datang dengan jubah darah
kata-kata jadi tak berguna antara kebenaran dan kebohongan
seperti buih-buih yang ditinggalkan gelombang
selalu saja meninggalkan rahasia yang digenggam di dasar samudera

Magetan, Agustus 1997

Anak Jalanan

Entah datang dari mana mereka
Tiba-tiba sudah berada di kota ini
Mungkinkah mereka jatuh dari langit
Atau bermunculan dari gorong-gorong kota
Menyingkirkan penutup besi dengan lumuran darah, lumpur dan daki
Rambutnya baju lusuh dan bolong-bolong

Barangkali mereka lahir bukan dari seorang ibu
Tetapi lahir dari rahim kemiskinan
Dengan tangan-tangan menengadah di jendela-jendela mobil
Di dalamnya orang dengan wajah klimis membawa Economist
Namun ketika lampu hijau harapan pun lenyap
Kemiskinan macam apa ini?
Dan kekayaan macam apa yang mampu merubahnya

Djogdja, Juli 2002

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *