KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Paduka Ibunda Kanjeng Ratu Sepuh!
Ternyata, dorongan terbesar dari setiap anak untuk sanggup berbicara adalah merdekanya lahir dan batin, dan merdekanya nilai-nilai yang dapat digunakan selaras kehendak hati. Kita mustahil dapat melihat sangkar nan gumantung di pepohonan johar, serta tak mengetahui kapan diturunkan; dan isinya diberi kesempatan menjenguk dunia bebas. Kita takkan tahu, apakah sarang-sarang peksi ‘abur-gumelur’ yang tanpa kendali itu hadir kembali sebagai wadah dari sang pemilik kelanggengan, karena nyanyian-nyanyiannya. Manakala terdapat rasa sarujuk buat menegurnya, mereka bisa dipersilakan. Fitrah yang dihadapkan ke tengah tawar-menawar.
Paduka Ibu Ratu Sepuh!
Kiranya puteranda ini teramat lancang, bila menyampaikan atur-utama dalam warkah yang kusut-masai. Beribu-ribu ampun puteranda haturkan jika keberanian ini sampai membuat kemasygulan di hati Ibunda. Segalanya tiada lain untuk menguatkan andaran, bahwasanya Hidup teramat musykil untuk dinilai dengan tilik-sebelah. Lebih nihil lagi, jikalau Hidup dianggap menjadi reruntuk di bawah tebing berwarna kelam, karena para-kawula nan menyongsongnya telah khilaf. Puteranda beranggapan, musim gugur bukanlah sesuatu yang memedihkan, jikalau musim-musim selebihnya telah memberkahi diri kita dengan lindungan sayap malaikat. Kalau belum merasakannya dengan hati dan jantung, mungkin kita sanggup merekamnya dengan tali-tali sukmawi. Itu adalah lebih baik, katimbang kita menutup mata dan telinga selamanya.
Paduka Kanjeng Ibu Ratu Sepuh!
Sepekan silam, adinda bungsu, Raden Ajeng Retno Sumekar telah memberanikan diri untuk sowan-menghadap kepada duli Ibunda. Mungkin sekali, batinnya terkoyak. Saya belum tahu benar, apakah pengalaman tahun yang lalu membuatnya tabah, ataukah malahan lebih perih lagi. Akan halnya sekarang, jikalau koyaknya karena harus mempersembahkan ucapan yang lantang, yang tentunya bakal membuat murkanya Paduka Ayahanda dan Ibunda. Padahal, kami sekali-kali tak menghendaki hal itu terjadi. Dalam kesinambungan generasi terdapat beberapa perwajahan.
Kami sungguh tak ingin, bahwa dinasti dan rumpun keluarga kita menjadi bahan pembicaraan sana-sini, yang menyakitkan. Tatkala Paduka Kanjeng Ibu tak merestui hubung-jalinan kasih antara Diajeng Retno Sumekar dengan seorang pria dari kalangan rakyat-jelata, yakni Bagus Jumawal, dapat kita gambarkan sendiri, betapa jeritan batin Diajeng itu. Karena, mereka selama ini telah begitu karib, akrab dan seperti sudah sulit dipisahkan. Kendatipun, Bagus Jumawal hanyalah anak-angkat dari Mantri Kolektur Suwiryo Mangunpuspito di Kalijambe, dan banyak orang mengatakan, bahwa Bagus Jumawal adalah anak desa yang dipungutnya sedari umur tujuh tahun.
Tetapi, bakat dan kemampuan Bagus dapat diandalkan, bukan? Kanjeng Ibu tentunya pernah mendengar, bahwasanya ia lulus MULO dengan nilai-nilai bagus, dan masuk HIS Bangil dengan mudah, tanpa diuji lebih dahulu. Hanya anak-anak priyayi kota ini saja yang diterima. Kalau Bagus bisa, lantaran dia disebut sebagai “puteranya” Pakdhe Mantri Kolektur Mangunpuspito. Yang kami tekankan, kemampuan berjuang dan tekadnya untuk maju, sungguh luarbiasa, lebih daripada anak-anak priyayi sebaya. Apakah Kanjeng Ibu masih merasa malu bila bermenantukan Si Bagus?
Hamba lihat, wajahnya cukup tampan, tatakramanya memikat, penampilan bagus – sepadan bila bergandengan dengan Diajeng Retno Sumekar.
Sudah genap seribu hari yang silam atau tiga setengah tahun, semenjak Retno Sumekar menghentikan sekolahnya di kelas terakhir HIS, karena Paduka Kanjeng Ibu memerintahkan supaya dia dipingit. Pemberontakan pun terjadi, sengit dan mengecambah. Kami, putera kakung yang berjumlah empat orang, dan semua telah duduk di MULO, AMS, dan HBS, segera melakukan pemberontakan. Kanjeng Romo Adipati yang semula teguh pada pendiriannya, toh kemudian melunakkan kehendaknya sendiri. Beliau mengadakan pembicaraan empat mata dengan putra pambarep alias si sulung, Kangmas Raden Mas Hadikusumo, yang lulusan Bestuur Academie, dan kini menjabat Wedono Semugih, dan sedang dipromosikan sebagai Patih di Lumajang Tengah. Dia mati-matian menentang sikap Ibunda: “Jaman sudah banyak berubah, Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu,” tatkala dia sowan di Dalem Ageng. “Kini tahun 1933 – tiga puluh tahun sesudah zaman Raden Ajeng Kartini, putri Adipati Jepara; dan Ibu mesti menengok masa! Kasihan sekali Diajeng Retno. Ia cerdas dan progresif. Biarlah sekolahnya diteruskan ke MULO – dan karena itu bisa diasah buat menghadapi tantangan adat!”
“Akan tetapi, Buyung,” potong Ibunda. “Sekolah itu bebas sekali. Masakan putri-putri Jawa yang lembut harus berkawan-sekelas dengan para Sinyo Totok yang begitu keras. Tak bisa kubayangkan, adikmu itu …”
“Toh, bukan itu yang utama,” potong Kangmas Hadikusumo pula, lebih sengit. “Jikalau Ibunda berkeberatan, lebih baik Diajeng Retno masuk MULO partikelir, yang sore hari. Misalnya, milik Muhammadiyah, yang khusus untuk wanita dan kaum Pribumi Jawa. Yang wigati, sekolahnya lancar!”
Romo terdiam, dan manggut-manggut. Romo mengisap serutu, seraya sesekali meneguk unjukan anggurnya. Dari arah pringgitan, saya menatap lampu robyong yang nampak menyilaukan, karena sedompol melati wangi nan di-gerba dalam wujud kristal cilik-cilik itu seperti membuat kita saling kaku dan asing, satu sama lain. Mengapa Ibunda berpikiran yang terbelakang? Dan tatkala Diajeng sudah duduk di MULO, dan giat berlatih serimpi di Kepatihan – lantaran koordinasi tari ke-upacara-an diserahkan kepada Pamanda Patih – Ibunda cemas, kalau-kalau ada jejaka luar ‘nimbrung’ di kesempatan tersebut. Maka, Ibunda memerintahkan Bagus Jumawal untuk mengawal puteri ini, setiap Sabtu petang Diajeng berkereta bendi ke Dalem Kepatihan. Soalnya, menurut Ibunda, lelaki itu polos dan tak banyak tingkah. Lagipula, ayahnya – ayah angkatnya, maksud saya – adalah orang kepercayaan Romo. Apa boleh buat, bila sesuatu yang tanpa kita duga sebelumnya, terjadi kala itu. Witing tresno saka kulina, kasih nan terjalin dan terkembang, karena terbiasa bergaul.
Sayang seribu sayang, Kanjeng Ibu amat menentang. “Aku justru menugaskan Si Bagus sebagai pengawal Dhenok, bukan sebagai calon suami, tahu?! Kenapa lalu dipaksakan seperti itu?” Ibunda kemudian memerintahkan, agar supaya hubungan persahabatan nan meningkat jadi kasih sejati itu terputus. Sebagai hukumannya, Bagus dilarang berkunjung ke Kabupaten. Malahan Kanjeng Ibu bersikap lain terhadap keluarga Pakdhe Mantri Kolektur Mangunpuspito sekarang. Aneh, aneh!
Paduka Ibunda Kanjeng Ratu Sepuh!
Prahara nan dahsyat, bagaimana pun juga sanggup diredakan dari gempung-gempungan samudera, asalkan kita mampu menyimak jalannya iklim serta arah angin. Gelombang nan menghempas dapat ditaklukkan, tanpa menyebabkan anak-anak manusia gugur di kaki langit. Adab, susila, tatacara, kesemuanya merupakan pranata nan sengaja diciptakan oleh suatu generasi dan lembaga tertentu, untuk membangun jarak antara pribadi satu dengan yang lain. Apalagi bila sebuah dinasti menjadi kiblat dari pranata nan kokoh-kekar serta tak-tergulirkan, seraya menjadi jalanan berkerakal, berkerikil tajam. Mengapa putra-wayah mesti rela berkorban buat memuliakan nilai-nilai nan musykil ini? Kenapa jaman tak diakrabkan dengan siklus budaya nan ginelar, sehingga cara gaul dan tata rengkuh yang dijalinkan terasa tak sehat; bahkan kaku, getir, menimbulkan gerah, lalu menyebalkan!
Patut ditulis, Ibunda, bahwasanya Diajeng Retno keras hati. Kini dia telah duduk di kelas tiga MULO, dan kendati pun keluarga Kabupaten melarangnya bertemu dengan bagus Jumawal, toh mereka secara sembunyi-sembunyi melakukannya. Saya heran bercampur takut, karena Kanjeng Ibu memerintahkan diriku sebagai pengawal Diajeng, dan memata-matainya selalu. Sekali duakali saya sanggup melakukannya. Tetapi untuk seterusnya saya angkat tangan. Hatiku terharu, dan takkan tega menempuh cara ini. Terkadang, pertemuan diatur secara rempit dan njlimet, misalnya, bahwa pura-pura berbelanja, lantas ketemu di pusat perbelanjaan, seperti tanpa sengaja. Atau, justru Diajeng sowan ke Pakdhe Kolektur dan di sana mereka bisa bicara bebas. Tapi, ini, kuakui, teramat besar resikonya. Yang menegangkan, bila Diajeng kangen sekali pada kekasihnya, maka saya pun mencoba mengajaknya ke tebing Kali Cemara, di sebuah tempat tamasya umum yang indah, bernama Taman Windu Sari. Nah, ternyata jejaka itu sudah berada di situ, dan menunggunya dengan setia. Kudengar percakapan mereka, karena kuberi kebebasan buat bincang-bincang ini. Dengarlah, Ibunda…!
“Bahaya itu sudah kusadari, pasti ada, dan besar, Mas Bagus,” ujar Retno Sumekar dengan hati-hati. “Kangmas tahu, kalau aku berani melanggar larangan ini, maka aku seterusnya akan dilarang bergaul dengan siapapun. Dipingit keras! Kau tahu artinya itu? Aku terpenjara.”
“Mengapa tidak; aku sudah lama menginsyafi bahaya ini menghalangi kita. Tetapi, apakah kita menyerah begitu saja, Ndoro Ajeng?”
“Maksudmu bagaimana, Mas? Hendak menerjang arus?”
“Kalau perlu. Tahun ini sengit-sengitnya perjuangan para pemuda untuk merebut kemerdekaan dalam politik, perekonomian, kebudayaan. Mereka semakin terpacu, semakin menggebu. Masakan diriku terpenggal oleh peristiwa yang begini kecil dan nyaris tertindih ini. Harus dihentak. Sedayung Kasih, tonjolan sikap mandireng pribadi.”
“Kangmas berusaha merebut dan memenangkan juang ini? Tidak bersedia untuk berada dalam ketergantungan memedihkan ini?”
“Tentu saja, Ndoro Ajeng. Nyawaku pun kupertaruhkan, demi satu kemenangan. Kendati baru selangkah, dalam kehidupan muda ini. Tegasnya, baru dalam masalah perkawinan yang bebas, dan tiada campurtangan lain.” Keduanya nampak bersemangat ketika mengucapkan prasetya batin ini. Air kolam nan bening menjadi saksi. Perjalanan nan pendek-sejenak itu telah menegaskan, aku harus merestui mereka. Mereka adalah anak-anak Zamannya! Sanggup menjalin-anyam berbagai wawasan.
Ramanda Kanjeng Adipati Condrodiningrat di Besuki nampaknya bisa memahami wawasan-wawasan yang baru, yang bergelora dalam kalbu para muda. Tetapi beliau tetaplah seorang abdi tradisi, yang berpegang pada tatanilai klasika, katimbang denyutan kalam nan mengusik ketenangan pemerintahannya. Persoalan Diajeng Retno Sumekar tak bisa hanya disepelekan. Koran Muhammadiyah bahkan pekan ini menurunkan sebuah tulisan yang menyerang kebijaksanaan Paduka Kanjeng Ibu, karena melarang puterinda melanjutkan sekolah ke HBS, gara-gara “kekhawatiran akan adanya pergaulan bebas antara puterinya dengan anak-anak rakyat kecil.” Di bawah artikel berjudul “Menghadapi Semangat Masa Dinamis” yang ditulis oleh Rangkayo Ratna Sari Mantari, seorang guru Muhammadiyah di kota kita, persoalan Diajeng Retno dibawa ke permukaan. Dia seorang wanita Pariaman, yang sangat menentang tradisi Timur yang membatasi gerak-bebas kaumnya. “Kalau seorang puteri bangsawan melakukan tindakan yang kurang beralasan, dengan memandang anaknya sendiri sebagai Puteri Raja, sedangkan anak-anak lainnya sebagai kaum miskin nan hina-dina, kurasa Zaman akan menertawakannya. Apalagi, jika persoalan perjodohan dihubungkan dengan watas-watas nan dianggap tak sebanding atau njomplang ini.” Ah, ah, ah. Pena itu teramat tajam, dan ujungnya tertuju ke alamat Paduka Ibunda.
Tangis Diajeng pada tahun 1937 ini terasa menyesakkan jantungku, Ibunda. Jika perjuangan pertama dulu, hampir limatahun sebelumnya berhasil mematahkan belenggu, mendobrak Tradisi Pingitan yang menyedihkan kaum wanita remaja, maka kini pun juang hendak didentumkan lebih sengit. Diajeng akan memilih jalan lebih keras lagi. Bagaimana kalau sampai dia lari dari Dalem Kadipaten? Dewasa ini, Bagus Jumawal telah meneruskan studinya ke Bestuur Academie di Batavia. Dalam hal jarak, dia tak lagi dapat berhubungan dengan Diajeng. Tapi surat-surat terus mengalir, melalui orang-orang yang mereka percayai dapat menyimpan rahasia ini. Saya pun cemas, jangan-jangan Diajeng menyusul kekasihnya ke Batavia. Semua serba mungkin. Apalagi, Romo sudah memutuskan, agar puteri bungsunya ini tiada lagi bersekolah. Kalau demikian halnya, maka bahaya akan datang menyerbu keluarga kita. Saya mengajukan saran, agar Diajeng dikirimkan saja ke sebuah klooster, di mana dia dapat dididik di sebuah wadah calon bidan atau calon guru keputrian, agar dengan demikian batinnya tenang, tanpa tergoncangkan oleh peristiwa ini. Kepergian Bagus Jumawal teramat memukulnya. Dia jatuh sakit dan demamnya mengkhawatirkan kami semua. Obat mujarabnya tentu berasal dari Kanjeng Ibu, karena di situlah awal-muawal duka ini. Biarlah dia melanjutkan sekolah, dengan pengawasan lebih ketat. Atau, bagaimana kalau dia kita perbolehkan menikah dengan pria pilihan hati, yang dalam hal ini adalah Bagus Jumawal itu? Tolonglah, Ibu, tolonglah. Cobalah Paduka mempertimbangkan: mana lebih membahagiakan hati Retno? Terlebih sikap bersejarah yang menyelamatkan dunia ini.
Kemarin pagi, selepas sarapan, tatkala siap berangkat ke kantornya, kanjeng Romo Adipati memanggilku. Wajahnya diliputi awan kesedihan, dan katanya agak gemetar: “Anakku Wiryokusumo, kaulah satu-satunya yang kupercaya dapat menciptakan ketenangan dalam keluarga kita, yang selama ini kita anggap sepi. Bagaimana wawasan-wawasanmu, dapat kita jadikan bahan pertimbangan, Nak.” Maka, begitulah kanjeng Ibu – saya segera bertemu dengan Bibi Mujirah, selir ayahanda, yang adalah ibu-kandungku. Aku mencoba mencari titik-terang. Kumohonkan, kiranya Paduka Ibunda kanjeng Ratu Sepuh sebagai permaisuri tidak menganggap enteng persoalan ini. Biarlah semua pihak urun rembug dalam mencari kesetimbangan mantap, sehingga kesiur angin akan lebih menyejukkan sukma.
Janganlah Paduka Kanjeng Ibu menaruh prasangka kurang baik terhadap ibu kandungku, yang hanya seorang anak rakyat jelata ini. Bagaimana pun, dia dinikahi oleh Ramanda, jauh sebelum Paduka Kanjeng Ibu memasuki Dalem Kadipaten. Ia telah mendampingi Ayahanda, sedari tatkala Ayahanda menjabat Bupati Anom di Randukumala. Ia memang hanya seorang klangenan dalem, selir Ramanda Adipati yang kurang diperhitungkan. Tetapi Paduka Kanjeng Ibu ratu Sepuh, kendati Paduka memiliki kekuasaan sebagai pendamping utama Ramanda, Paduka belum sanggup memberikan asuhan dan kekuatan pada diri kami, terutama dalam tahun-tahun di mana kami teramat dahaga akan kasihsayang setulusnya. Kami mencoba, agar Diajeng Retno bisa kembali memperoleh kepercayaan diri. Izinkanlah pekan depan ini Ibuku: Bibi Mujirah, sowan dan merawat adikku tercinta di Keputren, untuk sementara waktu, hingga kesehatannya pulih seperti sediakala. Izinkanlah, wahai, Paduka Kanjeng Ratu Sepuh! Kepercayaan yang sejumput kiranya akan sanggup mengobati luka-luka berdarah, yang belum dibalut. Siapa tahu, dia akan menemukan sikap terbaik di jalan simpang meletihkan!
Paduka Ibu Kanjeng Ratu Sepuh Yang Mulia.
Pada ujung pertemuan kami dengan ibu-kandung, yang begitu berprihatin dalam ugahari hidupnya, kami bertiga meneteskan airmata haru. Bibi Mujirah berbisik seraya menundukkan kepala, dekat pembaringan Diajeng Sumekar, dan memandang tenang-tenang padaku. “Ndoro Mas, Biyung teramat sedih, bahwa agak terlambat menunggui sakitnya Ndoro Ajeng Retno. Biyung mendengar, Ndoro Ajeng mengalami goncangan batin teramat besar. Biyung begitu perih, andaikata Ndoro Ajeng harus dibawa ke pesanggrahan luar kota, untuk tetirah.” Maka aku tegakkan kepala, bersuara: “Biyung, Diajeng tidak sakit. Ia hanya terlampau letih. Perjuangannya masih panjang. Lautan menghadang di depan, dan gunung menjulang. Ia melawan tradisi pingitan, hampir berhasil gemilang. Ia berjalan seorang diri, selaku pejuang tunggal.” Lalu Bibi Mujirah bergumam: “Jikalau Raden Ajeng Kartini tiga dasawarsa silam gugur dalam pergulatan melawan istiadat priyayi yang membelenggu, janganlah kiranya puteri yang pernah kukandung dan kulahirkan ini mengalami bencana serupa. O, Ndoro Mas Wiryokusumo, biarkan dia babar-layar menuju Pulau Cita.”
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa (PUstaka puJAngga).