“Simpan Golokmu, Asah Penamu”

Sukar
radarbanten.com

Toto ST Radik tak hendak berpuisi. Tapi, rangkaian kata-kata itu ia jadikan simbol gerakan membangun budaya literasi di Banten. Kini telah lahir penulis-penulis muda dengan segudang karya dan prestasi. Kebangkitan budaya literasi di Banten?
***

Budaya literasi di Banten sebenarnya memiliki sejarah panjang. Di era Kesultanan Banten, Desa Kasunyatan pernah menjadi pusat pengajian (sekaligus pengkajian) bagi para ulama dalam membedah kitab-kitab agama. Dan puncak kejayaan budaya literasi di ranah Banten terlihat dari produktivitas Syekh Nawawi Tanara yang menghasilkan ratusan kitab, yang hingga kini menjadi rujukan kaum santri, pelajar, dan mahasiswa di berbagai negara.

Di era 80-an, budaya literasi di Banten ditandai dengan munculnya penulis-penulis muda dari Banten, seperti Gola Gong (fiksi), Toto St Radik (puisi), almarhum Rys Revolta (puisi), dan Wowok Hesti Prabowo (puisi). Tulisan tiga serangkai itu banyak menghiasi majalah-majalah remaja nasional.

Di era 90-an, dunia kepenulisan di Banten terus menggeliat. Nama-nama seperti Asep GP, Rubby Achmad Baedhawi, Abdul Malik, Purwo Rubiono, Dian Faradisa, Husnul Khuluqi, Tyas Tatanka, cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis. Pada era ini terbit sebuah buku kumpulan puisi “Bebegig” yang diterbitkan Lingkaran Sastra dan Teater (List) Serang.

Dunia kepenulisan di Banten semakin menggeliat pada dekade 2000-an ini. Di era ini muncul nama Qizink La Aziva, Ibnu Adam Aviciena, Endang Rukmana, Adkhilni MS, Firman Venayaksa, Najwa Fadia, RG Kedung Kaban, Wangsa Nestapa, Muhzen Den, Mahdiduri, Aris Kurniawan, Sulaiman Djaya, serta penulis muda lainnya. Para “penulis lapis kedua” ini istilah yang dikenalkan Gola Gong – lahir dari sejumlah komunitas sastra di Banten, seperti Sanggar Sastra Serang (S3) yang dibina Toto St Radik, Komunitas Kebon Nanas (KKN) binaan Wowok Hesti Prabowo, dan Kelas Menulis Rumah Dunia asuhan Gola Gong.

Karya penulis muda ini kini tidak hanya menghiasi media massa lokal, tapi juga sudah merambah hingga media nasional, termasuk buku-bukunya diterbikan oleh penerbit nasional seperti Mizan, Gramedia dan Senayan Abadi, di samping penerbit lokal Suhud Sentrautama, satu-satunya penerbit di Banten yang telah menjadi anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).

Di antara mereka bahkan telah menggondol beragam penghargaan kepenulisan di tingkat lokal maupun nasional. Penghargaan Writer Young Unicef Award diraih dua penulis muda Banten, yakni Endang Rukmana (alumni SMAN 1 Serang) pada 2004 dengan tulisannya yang berjudul Siapa Pemilik Sah Republik Ini serta Yuanita Utami (siswi kelas III SMAN 1 Cilegon) pada 2006 dengan essay berjudul Dicari: Televisi Ramah Keluarga.

Geliat budaya literasi di kalangan pemuda ini seiring dengan kemunculan sejumlah komunitas kepenulisan. Untuk mengintensifkan semangat kepenulisan, di Banten juga sudah terbentuk Forum Lingkar Pena (FLP) Banten yang kemudian diikuti dengan FLP di kabupaten/kota di Banten. Forum ini juga cukup aktif menggelar berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia kepenulisan, mulai dari pelatihan menulis bagi pemula hingga bedah buku dengan mendatangkan sejumlah penulis dari luar Banten.

Sementara majalah sastra Horizon bekerjasama dengan Ford Foundation, kini melebarkan sayapnya untuk menumbuhkan budaya literasi di Banten, dengan membuka Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) di Kecamatan Labuan, Pandeglang. Sebelumnya, SSRI telah berhasil didirikan di Kabupaten Serang di bawah binaan Toto ST Radik. SSRI Serang telah menerbitkan sejumlah buku, seperti kumpulan essay Adkhilni MS dan Endang Rukmana berjudul Dari Donat Sampai Presiden dan kumpulan puisi Sembunyi Sampai Mati. Selain itu, SSRI Serang juga cukup aktif menerbitkan jurnal sastra ?Ketika?, yang disebarkan ke sejumlah sanggar sastra di nusantara. Dalam setahun terakhir, sanggar ini telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisi, melalui program Proyek 3/3 Puisi.

Fenomena munculnya penulis muda ini menarik perhatian Gola Gong. Menurutnya, fenomena ini merupakan salah satu langkah munculnya generasi muda Banten yang lebih maju, cerdas dan kreatif. Menurutnya, para penulis muda ini kelak akan menjadi generasi kritis yang mengedepankan kekuatan otak dibandingkan ototnya. “Saya yakin, penulis muda ini akan menjadi generasi muda baru di Banten yang cerdas dan kritis,” ungkapnya.

Keyakinan serupa juga diungkapkan Firman Vanayaksa, dosen Untirta yang kini diangkat sebagai Ketua Rumah Dunia. Menurutnya, kemunculan penulisan muda ini merupakan pertanda baik dalam pembentukan generasi muda Banten ke depan. “Budaya literasi di Banten kini sedang berkembang,” tambahnya.

Muncul Individual

Selain dengan “gerakan sistematis” melalui komunitas-komunitas tadi, kegiatan literasi juga muncul secara individual dan melahirkan nama-nama seperti Khatib Mansur, Agus Sutisna, Gandung Ismanto, Dibyo Sumantri, dan beberapa nama yang lain. Secara individu juga mereka aktif meneyebarkan “virus” literasi.

Khatib Mansur, misalnya, mantan wartawan yang kini aktif mengurus yayasan bernama yayasan ShengPo, telah menulis beberapa buku. Kini, selain menerbitkan majalah berbahasa Jawa-Banten, Banten Seniki, Khatib tengah menyelesaikan sebuah kamus bahasa Jawa-Banten. Sedangkan Agus Sutisna, selain rajin menulis artikel di koran lokal seperti Radar Banten, akademisi STIE La Tansa Lebak, ini beberapa kali juga menulis buku. Begitupun dengan Gandung Ismanto. Mantan ketua Panwaslu ini, selain dikenal sebagai akademisi Untirta juga aktif menghasilkan berbagai kajian dan beberapa kali menulis maupun editor buku.

Yang menarik adalah munculnya penulis dari perusahaan semacam PT Krakatau Steel Cilegon, yakni Dibyo Sumantri. Selain dikenal sebagai psikolog dan menulis di beberapa media, juga menerbitkan buku berjudul Kang Sastro dengan pengantar mantan Menkopolkam yang kini menjadi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono.

Di luar itu, masih ada sejumlah nama yang ikut menyemarakkan dunia kepenulisan di Banten dengan menghasilkan karya dalam bentuk buku, seperti Muhammad Wahyuni Nafis (intelektual Universitas Paramadina dan anggota KPU Banten), Entus Sukria (PNS Pemprov Banten), Suhada (aktivis LSM), Ali Nurdin (politisi/akademisi UNMA), Anis Fauzi (akademisi IAIN SMHB), Samson Rahman (penerjemah buku best seller La Tahzan), Suryana Sudrajat (kolumnis/wartawan), Mohammad Ali Fadhillah (kini PNS di Disbudpar Banten) yang aktif memasyarakatkan bahasa Sunda-Banten melalui majalah Damar-nya, Herwan FR dan Wan Anwar (akademisi FKIP Untirta). Nama terakhir ini, selain produktif menulis puisi, juga aktif mengisi berbagai seminar maupun diskusi tentang sastra, serta banyak membina mahasiswa di bidang kesusasteraan, termasuk teater.

Di atas angkatan mereka, muncul nama-nama seperti almarhum Halwani Michrob bersama Mudjahid Chudori (mantan anggota DPRD) yang konsen dengan buku-buku Banten masa lalu, Djoewisno dan Lukman Hakim (wartawan senior), di samping dari kalangan akademisi seperti Prof Dr Wahab Afif, Prof Dr Suparman Usman, dan Dr Fauzul Iman, dengan buku-bukunya yang menjadi bahan ajar khususnya di lingkungan IAIN SMHB. Dan tentu masih ada yang lain baik yang berkiprah di Banten maupun di luar Banten.
***

Banyaknya penulis baik yang lahir karena buah dari “gerakan sistematis” sejumlah komunitas maupun yang muncul secara individual, membuktikan semangat membangun budaya literasi di Banten saat ini sedang tumbuh. Hanya sayang, gerakan ini belum didukung secara penuh oleh pemerintah. Pembangunan gedung perpustakaan yang ditunda adalah bukti minimnya dukungan itu!(fau/dul)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *