Puisi-Puisi Bustan Basir Maras

oase.kompas.com

Sujud Burung Camar

letih berkisar pada angin
pada lelah kepak sayap
berhari-hari terbang mengambang
mengejar ombak ke tepi nan sepi
hingga terbiar berbulir di pasir

aroma asin laut
dari pulau-pulau yang jauh
mengabarkan berita duka
ketika hujan merajam berkali
segala rasa ingin pergi
sujudkan cinta ke kedalaman laut dan karang

maka telah kutinggalkan
kota-kota yang riuh ramai
yang tak usai mendera diri dalam mimpi
kutuju hutan rimbun, dan juga
lautan teduh dan nyanyian angin,
setiap saat datang membisiki
bahwa aku harus kembali
sujudkan segala cinta
ke lubuk hati nan sepi

K.M. Kirana, 07

Annora Lelewali Al-Bustani

malam datang merajam hidupku
sayang, kau tiba, kau hadir, mengalir
menghanyutkan seluruh keluh dan kesahku
keluh yang hanya kaku bertahun-tahun.

sayang, akhirnya
segala rindu dendamku terhampar jua
hilang dalam desah rintih malam, merambat pergi,
perlahan mengurai lapis-lapis kegelapan
hingga lepas bebas segala beban hidupku
yang kian rapuh.

adakah ini dapat kucatatkan
dalam cawan-cawan hidupku lagi,
bangkit dari bayang-bayang diri
berlapis-lapis, hingga tak tahu lagi
beda antara rindu dan dendam,
antara tawa dan airmata.

Suryowijayan, 2008

Memandang Wajah Laut
: bagi Dewi

telah kita layarkan
perahu mungil ini, Dewi
kemarin. Sebelum fajar hening menyingsing
hingga ke batas hari yang kesekian

kita berlayar menuju samudera malam
mendayung hingga ke lautan teduh jiwa
mengejar ombak, memburu kesunyian
di wajah laut kita bercengkrama
seperti burung-burung camar: Terbang
searah gerak angin, setenang wajah laut

tapi Dewi, setiap kali kita berlayar
menuju samudera malam, hingga ke lautan teduh jiwa
kupandangi wajahmu dan wajah laut yang damai ini
kau ingatkan aku pada ibuku, yang letih dikumur peluh
:Wajah kekasihku yang telah lama
bersemayam dalam dada ini

Dewi, terus arahkan kemudi perahu ini
hingga ke batas tak terhingga
ke pantai tanpa rasa-resah dan prahara

Laut Jawa, 07

Pada Bola Matamu, Gadis Rembulan

Tak kutahu darimana datangmu
hai, gadis rembulan. Tiba-tiba saja,
di antara sesap senyap malam, kutemukan dirimu.
Pada bola matamu kulihat cinta
bermekaran bagai kupu-kupu kuning kemilau, menyeruak,
menyilaukan mata, mata hatiku. Oh, gadis rembulan
inikah lagi yang namanya cinta yang kau tuangkan
ke dalam cangkir dan gelas-gelas dahaga hidupku?
Uh?. tak kutahu mengapa aku jatuh lagi begini,
gadis rembulan dari mana datangmu, seketika saja
kau tikamkan cinta masa darah mebara
dan ingin kumiliki kau, meski hanya dalam jarak dan angka,
seperti katamu, meski kutahu lapis lampau sejarah hidupku,
menjauhkanku dari cintamu, tapi kan kutempuh, kan kurajam,
meski hanya sepi jua yang mewakiliku merasuk
hingga ke ranjang tidur dan jagamu.

Sayang, inilah kerapuhanku, hingga aku bertanya
:mungkinkah engkau ceceran tulang igaiku
yang berserak di surga dahulu dan kini tertambat padaku?
Datanglah sayang ! datanglah, kan kureguk cinta bersamamu.
Lihatlah, aku gila lagi, aku kanak lagi.

Solo-Jogja, 18 Mei 2008

Tersebab Ramadhan
: Bagi Husni Djamaluddin

Tersebab ramadhan
kuihlaskan kau pergi dari relung langit dan bumi.
Langkahmu pasti. Kutahu itu!
satu muaranya, kau haus rindu akan kekasih sejati.

Tersebab ramadhan
kudoakan kau selalu, lantaran kutahu pasti
kekasih sejatimu itu rindu kau
:lelaki pengagung siri? tanah Mandar
kau selalu setia pada garis rotasi-Nya,
agar kau rela dan direlakannya.

Tersebab ramadhan :kuulangi lagi kata-katamu itu:
“berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”

:kau larutkan di bawah langit yang senyap, untuk kekasihmu.
Katakan itu ! itulah mantra dan janji setiamu.
Seperti kau mengatakan:
“Qalu balaa syahidna!”

28 Ramadhan 1415 H.

Di Surabaya

apa lagi yang dapat kucatat di sini
Surabaya: bertahun-tahun
mengendap dan tidur pulas
di dalam buku-buku harianku
dan pena, kian hari berkarat di sisinya

di Surabaya, panas mengulum hari-hari
jika ke Perak pasti dikumur udara liar
dan jika ke terminal Bungosari
kau pasti tersengat harum keringat
dan sesekali anyir darah

Surabaya! apa lagi yang dapat kucatat di sini
apalagi jika aku sakit-sakit begini
panas dingin merambati tubuh
sesekali ditimpuk batuk darah
dan aku kembali lagi terkapar di sini

Surabaya-Perak,07

Pucuk Mamasa

Inilah Mamasa
tanah yang selalu basah dan ramah
tanah Ulunna Salu: Awal meleburnya tanah Mandar
sebagaimana sungai-sungainya,
tanah ini melebur menuju laut
hingga terbiar berbulir di pasir.

Inilah Mamasa
gunung-gunung dikejar kabut
merendah hingga ke sawah rawa payah
mendendangkan lagu: Sengo-sengo
lantaran pipit dan burung jalak
bisa hidup berdampingan di sini,
tanpa harus berebut makan,
atau tersebab ini dan itu.

Inilah Mamasa
:anak kecil yang bermain di kali waktu
pipinya memerah dirajam cuaca
namun mereka tak butuh api,
apalagi hanya untuk mengobarkan dendam,
apalagi hanya untuk waktu yang tersia.

04-07

Tersebab Puisi

Tersebab puisi, aku seperti kanak lagi
mengenal cinta tidak, apalagi mabuk anggurnya.

Tersebab puisi, aku seperti gadis perawan
didekati tak mau, jikalau pergi merindu akhirnya

Tersebab puisi, hidupku kian jelas,
segan pada angan-menghadang, mati tak rindu,
apalagi sekedar dendam.

Tersebab puisi, kutemui segala-galamu
kutandai setiap denting rindu
pada setiap lorong panjangku
dan aku hanya akan menatap kaku.

30/10/2007

Sujud Malam

luruh!
kumulai dari alif,
kusujudkan malam,
kusujudkan cinta, di muara,
aku lebur

luruh!
dari alif ke ba dan ta,
kusujudkan rindu,
hingga airmata jadi manik-manik tasbih
tak habis, tak pupus,
hingga ya, wassalam

luruh sujud pada malam
menepi! yang tersisa hanya
“keselamatan untukmu dan terimalah
keberkahan dari-Nya”

27 Ramadhan, 1415 H

Aralle, Tabulahang, Mambi (ATM)
: Paku hingga Suremana

“Kami tak butuh pedang dan api,
apalagi bedil dan peluru !”

Aralle, Tabulahang, Mambi
(dari Paku mengalir hingga Suremana)
inilah Tanah Mandar: Pantai, laut,
dan gunung-gunung membujur
melengkung bagai bibir gadis-gadis pantai
dari Paku hingga Suremana

Aralle, Tabulahang, Mambi,
apa bedanya inilah Ulu Salu
peleburan muasal Tanah Mandar
berhamburan menuju pantai
dan inilah Ba’ba Binanga
orang-orang pegunungan berhijrah ke pantai
menaburkan cahaya, benih kebenaran
walau sesekali tak lupa mencecap sesap jerami

Aralle, Tabulahang, Mambi,
tak perlu menangis -dekap. Dekaplah !
peluk erat sesama kita, sesama saudara
ini tanah milik kita. Air, air kita
lalu mengapa kita saling berebut?

Sulbar, 04-08


BUSTAN BASIR MARAS, lahir di Teluk Mandar (Mekkatta-Malunda) Majene, Sulawesi Barat. Sebelum “ngungsi” ke Yogyakarta, aktif dalam berbagai gerakan sosial budaya, di Mandar Sulawesi Barat. Pada tahun 1996, bersama kawan-kawannya mendirikan Sanggar Gedasi di Pon-Pes Ihyaul Ulum DDI Baruga-Majene dan terlibat beberapa kali dalam produksi serta tour dan syiar budaya. Sepulang “nyantri” dari Pon-Pes Ihyaul Ulum, sejak tahun 1998 memilih tinggal di Yogyakarta, lalu bergabung dengan Sanggar Studi Sastra dan Teater SILA (SSST Sila), sambil sekolah di Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Oxford Course, juga aktif ikut “mocopatan” di Kasihan, asuhan Emha Ainun Nadjib, serta “tidur” di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogya. Ia juga banyak menghabiskan waktunya di Keluarga Mahasiswa Pencinta Demokrasi (KMPD), Sanggar Suwung, Front Pemuda Perjuangan Indonesia (FPPI), Majalah Arena, Teater Eska, dan lain-lain. Sempat pula ia duduk di Dewan Pertimbangan Forum Pers Mahasiswa Yogyakarta (FORESMAYO) periode 2001-2002, sebelum akhirnya “membubarkan” dirinya sendiri. Pada tahun 1997 juara satu pada lomba penulisan naskah dan penyuluhan tentang “Peningkatan Hidup dan Kebudayaan Kaum Miskin” tingkat Kabupaten Majene dan juara dua tingkat Propinsi Sulawesi Selatan. Dan pada pertengahan Thn. 2002 terpilih sebagai salah satu nominator lomba penulisan karya sastra (selekda BSMI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lalu pada tahun yang sama (2002), kembali juara dua dalam lomba penulisan karya sastra (Puisi) pada Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (Peksiminas) ke VI (enam). Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media massa: Bernas Jogja, Minggu Pagi, Wawasan, Republika, Info Indonesia, SKH. Mimbar Karya Sul-Sel, Kompas, Harian Fajar Makassar, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka Semarang, Aktual, info Indonesia, Suara Pembaharuan, Majalah Arena, Majalah Sukma Banjarmasin, Solo Pos, Kuntum, Radar Sulbar, Suara Muhammadiyah, Media-media on line, dan lain sebagainya. Selain menulis di berbagai media, ia juga aktif memenuhi undangan berbicara dalam berbagai seminar, work shop teater, diklat jurnalistik, pengajian, penulisan sastra, yang datang dari berbagai kalangan, organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, lembaga kemahasiswaan sekaligus kelompok-kelompok pergerakan mahasiswa, organisasi etnis dan lain-lain semacamnya. Secuil pengalamannya antara lain: Jurnalis Majalah Arena, Tabloid Assalam, mendirikan Komunitas Rumah Kita, juga ikut mendirikan Teater Pasak, aktif di KMPD, FPPI, Pentas Lautan Jilbab-Karya Emha Ainun Nadjib, Penggali Kapur-Kirdjo Mulyo (Pentas Teater Eska), Ziarah Abadi-M. Iqbal (Tadarrus Puisi Teater Eska), Ziarah Tanah Mandar (Musik Puisi Komunitas Rumah Mandar Yogya) Pembacaan dan Musikalisasi Puisi (Kolaborasi Sanggar Suwung dan SSST Sila) pada malam Khairil Anwar dan HB. Jassin di Societet Militer Yogyakarta, Tour Pementasan bersama KRM, diundang dalam Tongue In Your Ear (Festival Puisi Nasional-FKY 2007), dan lain-lain. Saat ini, sedang menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana Jurusan Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, juga aktif di berbagai lembaga sosial-budaya, lembaga riset, ngurusi Annora Media (Publisher and Book Distributor), membina beberapa komunitas di Sulbar dan Yogyakarta, menulis di berbagai media, jurnal, dan sedang mempersiapkan beberapa bukunya yang akan terbit, antara lain: Spesies Bernama Indonesia (Puisi), Negara Ideal (Telaah Pemikiran Tjokroaminoto), serta Ladang Cinta Ke-sejati-an Diri (Langkah Proses Kreatif) dan lain-lain. Bukunya yang sudah terbit: Negeri Bersyair, Mata Air Mata Darah, Damarcinna, Ziarah Tanah Mandar, Tongue In Your Ear (Antologi Puisi 30 Penyair Indonesia), Negeri Anak Mandar, Carita (Carita Rakyat Sulbar) dan lain-lain. Saat ini tinggal di Suryowijayan MJ. 1 No. 469 Yogyakarta, 55142, atau di Gg. Mangga No.46 Sonosewu-Yogya, 55182. “Nongkrongnya”: di Teater Eska, di Annora Media, di Taman Budaya Yogya, atau di Komunitas Rumah Mandar: Jl. Golo Gg. Pulanggeni UH. 5/425 Yogyakarta. Email: bustannora@yahoo.co.id.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *